zwani.com
apa kabar kamu hari ini
salam hangat buat faithfredoom.org semoga bermanfaat bagi anda dan untuk non muslim ma’af bila ada kata-kata kurang berkenan Cintailah kekasihmu sekedarnya saja, siapa tahu nanti akan jadi musuhmu. Dan bencilah musuhmu sekedarnya saja, siapa tahu nanti akan jadi kekasihmu semoga allah swt membuka mata hati faithfreedom terhadap islam.
Image by Anime Myspace Comments
MyNiceProfile.com

Rabu, 13 Oktober 2010

Solusi Menghadapi Terorisme

Kategori Terorisme
=======================================
Berikut ini, kami akan mengetengahkan kepada para pembaca, beberapa solusi yang merupakan dasar-dasar penting dalam menanggulangi masalah terorisme dan bagaimana cara menjaga negara dan masyarakat dari bahaya terorisme tersebut.
Satu : Menyeru kaum muslimin untuk berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah dan kembali kepada keduanya dalam segala perkara.
Tidak diragukan bahwa kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah kesejahteraan dan kemulian umat,
“Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thoha : 123-124)
Dan berpegang teguh kepadanya adalah tonggak keselamatan dan benteng dari kehancuran,
“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (QS. Ali ‘Imran : 103)
Dan segala masalah yang dihadapi oleh umat akan bisa terselesaikan dengan merujuk kepada Al-Qur‘an dan As-Sunnah,
“Tentang sesuatu apapun kalian berselisih maka putusannya kembali kepada Allah.” (QS. Asy-Syûra : 10)
Al-Qur‘an dan As-Sunnah adalah kebenaran mutlak yang merupakan rahmat dan kebaikan untuk seluruh manusia. Segala kebaikan telah dijelaskan dalam Al-Qur‘an dan As-Sunnah, demikian pula segala kejelekan diterangkan obat dan penyelesaiannya dalam Al-Qur‘an dan As-Sunnah. Siapa-siapa yang berpegang dengannya, maka merekalah yang akan dijayakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dalam hadits ‘Umar bin Khaththôb radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لَيَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ
“Sesungguhnya Allah mengangkat (derajat) suatu kaum karena kitab ini dan merendahkan yang lainnya karenanya.” [1]
Dua : Penegasan wajibnya memahami Al-Qur‘an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaf Shôlih.
Para shahabat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik mereka itulah yang disebut Salaf Shôlih. Para shahabat adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk mendampingi Rasul-Nya dalam menyebarkan dan memperjuangkan agama ini. Mereka adalah orang-orang yang paling memahami Al-Qur‘an dan As-Sunnah; kandungan, maksud, penafsiran, penempatan dan pendalilannya. Karena itu telah datang nash-nash yang sangat banyak menjelaskan kewajiban mengikuti jalan mereka dan menempuh agama di atas cahaya mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa keridhaan dan sorga hanyalah didapatkan oleh orang-orang yang mengikuti jalan mereka dengan baik,
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka sorga-sorga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah : 100)
Dan Allah menjadikan keimanan para shohabat sebagai lambang kebenaran dan petunjuk,
“Maka jika mereka beriman seperti apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kalian). Maka Allah akan memelihara kalian dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqorah : 137)
Bahkan Allah ‘Azza Dzikruhu mengancam orang-orang yang menyelisihi jalan para salaf dalam firman-Nya,
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, Kami biarkan ia larut dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa` : 115)
Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memuji tiga generasi pertama umat ini dalam sabdanya,
خَيْرُ النَاسِ قَرْنِي ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya”. [2]
Bahkan lebih dari itu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyatakan,
النُّجُوْمُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتْ النُجُوْمُ أَتَى السَّمَاءُ مَا تُوْعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِيْ مَا يُوْعَدُوْنَ وَأَصْحَابِيْ أَمَنَةٌ لأُمَّتِيْ فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِيْ أَتَى أُمَّتِيْ مَا يُوْعَدُوْنَ
“Bintang-bintang adalah kepercayaan bagi langit, bila bintang telah lenyap maka akan datang kepada langit apa yang diancamkan terhadapnya. Dan saya adalah kepercayaan bagi shahabatku, jika saya telah pergi maka akan datang kepada shahabatku apa yang diancamkan terhadapnya. Dan para shahabatku adalah kepercayaan umatku, bila para shahabatku telah pergi, maka akan datang kepada umatku apa yang diancamkan terhadapnya.” [3]
Dan kita diperintah untuk merujuk kepada pemahaman mereka pada saat terjadi perselisihan atau fitnah, sebagaimana dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,
وَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرِفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوْبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُوْلُ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهُدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى الله وَالسَّمْعَ وَالطَّاعَةَ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ المَهْدِيْيِنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“(Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam) menasehati kami dengan suatu nasehat yang sangat mendalam sehingga membuat air mata kami berlinang dan hati-hati kami bergetar. Maka seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?” Beliau bersabda, “Saya mewasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, dan agar kalian mendengar dan taat (kepada pemimpin) walaupun yang menjadi (pemimpin) atas kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan kepada sunnah para khalifah yang mendapat hidayah dan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah terhadap perkara yang baru dalam agama. Karena sesungguhnya semua perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.” [4]
Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah, “Telah tetap kewajiban mengikuti para ‘ulama Salaf rahmatullahi ‘alaihim berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah dan Ijma (kesepakatan di kalangan ulama)…” [5]

[1] Hadits riwayat Muslim no. 817 dan Ibnu Majah no. 218.
[2] Hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary no. 2652, 3651, 6429, 6658, Muslim no. 2533, At-Tirmidzy no. 3868 dan Ibnu Majah no. 2362. Dan dikeluarkan pula oleh Al-Bukhary no. 2651, 3659, 6428, 6695, Muslim no. 2553, Abu Daud no. 2657, At-Tirmidzy no. 2226-2227, 2307 dan An-Nasa`i 7/17 dari ‘Imran bin Al-Hushain radhiyallahu ‘anhu. Dan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim no. 2534. Serta dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Muslim no. 2536.
[3] Hadits Abu Mûsa Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim no. 2531.
[4] Hadits riwayat Ahmad 4/ 126, Ad-Darimy no. 95, Abu Daud no. 4607, At-Tirmidzy no. 2681, Ibnu Majah no. 42-44, Ibnu Hibban no. 5, Al-Hakim 1/96-97, Ath-Thobarany 18/no. 617-624, 642 dan dalam Al-Ausath 1/no. 66, Al-Baihaqy 10/114, Tammam dalam Fawa`id-nya no. 255, 355, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 5/220-221, 10/114-115 dan dalam Syu’abul Îman 6/66 dan Al-Lalaka`iy dalam Syarah Ushûl I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 1/74 no. 79. Dishohîhkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohîhah no. 937, 2735 dan Al-Wadi’iy dalam Ash-Shohîh Al-Musnad 2/75-76 (cet. Pertama).
[5] Baca Dzammut Ta`wîl hal. 28-36.

Tags: , , , , ,

Tiga : Komitment terhadap Jama’ah kaum muslimin dan Imam mereka.

Jama’ah kaum muslimin adalah kaum muslimin dibawah kepemimpinan seorang Imam (penguasa) muslim dalam sebuah negara.
Dan sudah merupakan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta‘ala bahwa letak kebahagiaan dan kesejahteraan manusia adalah bila mereka bersatu di bawah seorang pemimpin, yang tanpa hal tersebut pasti akan berlaku hukum rimba, dimana yang lemah menjadi mangsa yang kuat. Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan,
“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (QS. Al-Baqarah : 251)
Berkata Ibnul Mubarak (w. 181 H) rahimahullah, “Sebagai rahmat dan kemurahan-Nya, Allah menolak masalah yang rumit dari agama kita dengan penguasa. Andaikata bukan karena penguasa niscaya tidak akan ada jalan yang aman bagi kita, dan yang lemah dari kita pasti menjadi mangsa bagi yang kuat.” [1]
Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah menegaskan bahwa komitment terhadap Jama‘ah kaum muslimin dan Imam mereka adalah salah satu jalan keselamatan pada saat terjadi berbagai fitnah yang membahayakan kaum muslimin, sebagaimana diterangkan dalam hadits Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِيْ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا كُنَّا فِيْ جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيْهِ دَخَنٌ قَلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُوْنَ بِغَيْرِ هَدْيِيْ تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِيْ إِنْ أَدْرَكَنِيْ ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجْرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Manusia bertanya kepada Rasulullah shollallahu ‘alahi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan saya bertanya kepada beliau tentang kejelekan, saya khawatir kejelekan itu akan menimpaku, maka saya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu dalam kejahiliyaan dan kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini, apakah setelah kebaikan ini akan ada kejelekan?” Beliau menjawab, “Iya.” Kemudian saya bertanya, “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan,” Beliau menjawab, “Iya, dan telah ada asapnya.” Saya bertanya, “Apakah asapnya?” Beliau menjawab, “Suatu kaum yang mengambil petunjuk selain dari petunjukku, ada yang engkau anggap baik dari mereka dan ada yang engkau ingkari.” Kemudian saya bertanya, “Apakah setelah kebaikan itu ada kejelekan.” Beliau menjawab, “Iya, da’i-da’i yang menyeru ke pintu-pintu neraka jahannam, siapa yang menjawab seruan mereka, maka mereka akan melemparkannya ke dalamnya.” Saya berkata, “Wahai Rasulullah, sifatkanlah mereka kepada kami?” Beliau menjawab, “Mereka adalah dari kulit kita juga dan berbicara dengan lisan-lisan kita.” Saya berkata, “Apa perintahmu kepadaku jika saya mendapati hal tersebut?” Beliau bersabda, “Engkau komitmen terhadap Jama’ah kaum muslimin dan Imam mereka.” Saya berkata, “Jika kaum muslimin tidak mempunyai Jama‘ah dan Imam.” Beliau berkata, “Tinggalkan seluruh firqoh-firqoh (kelompok-kelompok) tersebut, walaupun engkau harus menggigit akar pohon hingga kematian menjemputmu dan engkau di atas hal tersebut.” [2]
Empat : Menanamkan pemaham ketaatan kepada penguasa dalam hal yang ma’ruf.
Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa` : 59)
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكَ السَمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْ عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ
“Wajib atas kamu untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan sulit maupun mudah, bersemangat atau terpaksa, walaupun ia berlaku sewenang-wenang terhadap kamu.” [3]
Dan dalam hadits lain, beliau menyatakan,
اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبْشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيْبَةٌ
“Mendengarlah dan taatlah walaupun dijadikan penguasa atas kalian seorang budak Habasyi seakan-akan kepalanya adalah kismis (anggur kering).” [4]
تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Kamu mendengar dan taat kepada penguasa walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka dengar dan taatlah.” [5]
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
إِنَّهَا سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَةٌ وَأُمُوْرٌ تُنْكِرُوْنَهَا قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَأْمُرُنَا ؟ قَالَ : تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ
“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi kesewenang-wenangan dan banyak perkara yang kalian ingkari. Mereka (shahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah apa yang engkau perintahkan pada kami?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah kewajiban atas kalian (terhadap penguasa) dan mintalah hak kalian pada Allah.” [6]
Dan hadits-hadits dalam hal ini mutawatir, diriwayatkan dari puluhan shahabat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Karena itu salah prinsip dasar syari‘at Islam adalah taat kepada penguasa dalam hal yang ma’ruf berdasarkan nash-nash di atas dan kesepatakan para ulama dari dahulu hingga sekarang.
Dan tidak diragukan bahwa prinsip dasar ini merupakan salah satu tonggak kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia. Dan dengannya akan tercipta keamanan dan kejayaan suatu negara.
Sebaliknya, menelantarkan prinsip yang agung ini adalah sebab malapetaka dan kehancuran yang tengah melanda umat pada banyak negara Islam pada hari-hari ini.
Lima : Mendekatkan umat kepada para ulama mereka.
Allah Al-Hakîm Al-‘Alîm mengisahkan tentang Qarun dalam firman-Nya,
“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar. Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, “Celakalah kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang bersabar. Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (QS. Al-Qashosh : 79-81).
Karena itulah Imam Hasan Al-Bashry (w. 110 H) berkata, “Sesungguhnya bila fitnah itu datang akan diketahui oleh setiap ‘alim (ulama), dan apabila telah terjadi, barulah orang-orang yang jahil mengetahuinya.” [7]
Dan penyelesaian masalah-masalah besar yang menimpa umat adalah kembali kepada ulama,
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisa` : 83)
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan,
الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ
“Berkah itu bersama orang-orang tua (ulama) kalian.” [8]
Dan ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menjelaskan suatu hakikat yang telah terbukti di berbagai masa setelahnya,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ صَالِحِيْنَ مُتَمَاسِكِيْنَ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَمِنْ أَكَابِرِهِمْ فَإِذَا أَتَاهُمْ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ هَلَكُوْا
“Manusia masih akan senantiasa sebagai orang yang sholeh lagi berpegang teguh (kepada agamanya) sepanjang ilmu datang kepada mereka dari para shahabat Muhammad shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan orang-orang tua (ulama) mereka. Maka apabila (ilmu) datang kepada mereka dari orang-orang kecil maka binasalah mereka.” [9]

[1] Dibahasakan secara bebas dari dua bait syair beliau yang masyhur dalam buku-buku yang memuat biografi beliau.
[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhary no. 3606, 7084 dan Muslim no. 1847.
[3] Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim no. 1836 dan An-Nasa`i 7/140.
[4] Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary no. 693, 696, 7142 dan Ibnu Majah no. 2680.
[5] Hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Muslim no. 1837 dan Abu Daud no. 4244.
[6] Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary no. 3603, 7052, Muslim no. 1843 dan At-Tirmidzy no. 2195.
[7] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary dalam Tarîkh-nya 4/321 dan Ibnu Sa‘ad dalam Ath-Thobaqat 7/165-166.
[8] Telah berlalu takhrijnya.
[9] Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhud, ‘Abdurrazzaq dan lain-lainnya. Lihat takhrîjnya dalam kitab Madarik An-Nazhor hal. 161 karya Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhôny.

Tags: , , , , , , , , , ,
Enam : Berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah.
Sudah merupakan tabiat dari kehidupan bahwa manusia sangatlah butuh kepada suatu aturan dalam kehidupan mereka agar terbentuk kehidupan yang seimbang dan sejahtera, tanpa ada kekurangan dan kejelekan yang membahayakan mereka. Maka dari hikmah dan rahmat Allah Jalla wa ‘Alaa, diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab suci guna mewujudkan kemashlahatan untuk manusia pada perkara dunia maupun akhirat mereka.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadîd : 25)
Dan Allah Ta’ala berfirman,
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. Al-Baqarah : 213)
Dan -Al-Hamdulillah- seluruh syari’at Allah Jalla Sya`nuhu penuh dengan keadilan,
“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am : 115)
Masalah apapun yang terjadi, pasti dalam syari’at Allah ada penyelesaiannya, besar maupun kecil masalah tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa‘ : 59)
Dan berpaling dari hukum tersebut adalah sebab terjadinya fitnah dan musibah, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa suatu fitnah atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur : 63)
Tujuh : Menyebarkan ilmu syar’iy di tengah umat.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah, “Tidaklah alam iini rusak kecuali karena kejahilan, dan tidak ada kemakmuran baginya kecuali dengan ilmu (syari’at). Kapan ilmu itu nampak pada suatu negeri atau suatu tempat maka akan sedikit kejelekan pada para penghuninya, dan kapan ilmu itu tersembunyi padanya, maka akan nampak kejelekan dan kerusakan. Siapa yang tidak mengetahui hal ini, maka ia tergolong orang-orang yang Allah tidak memberikan cahaya kepadanya. Berkata Imam Ahmad, “Andaikata bukan karena ilmu, sungguh manusia seperti hewan-hewan ternak.” Dan beliau juga berkata, “Manusia lebih butuh kepada ilmu ketimbang makan dan minum. Karena makan dan minum dalam sehari hanya dibutuhkan dua atau tiga kali, sedangkan ilmu dibutuhkan pada setiap saat.”.” [1]
Delapan : Menimbang vonis kafir, fasik dan bid’ah dengan ketentuan-ketentuan syari’at.
Menjatuhkan vonis kafir, fasik, bid’ah dan selainnya dari istilah-istilah syar’iy adalah suatu hal yang sangat riskan dan besar tanggung jawabnya di hadapan Allah Ta’ala. Karena itu Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengingatkan,
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ
“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir”, maka kalimat ini harus disandang oleh salah seorang dari keduanya. Kalau memang seperti yang dia katakan, (maka tidak mengapa), dan kalau tidak, maka kalimat itu akan kembali kepadanya.” [2]
Selain dari itu, dibelakang vonis kafir, fasik dan seterusnya akan ada sejumlah hukum yang dibangun di atasnya, berupa membunuh orang-orang yang murtad, memerangi orang-orang kafir, memberi ta’zîr (hukuman pelajaran) kepada orang-orang fasik dan pelaku bid’ah dan sebagainya dari masalah-masalah detail yang hanya dipahami hakikatnya dan akan diletakkan pada tempatnya oleh para ulama.
Dan sebagaimana yang telah dipaparkan bahwa salah satu sebab munculnya ideologi terorisme yang mengatasnamakan agama adalah dibangun di atas vonis-vonis tersebut, maka merupakan suatu hal yang sangat penting untuk mendudukkan makna dan hakikat dari istilah-istilah syar’iy tersebut.
Berikut ini beberapa hal yang mungkin bisa menjadi solusi masalah ini,
  1. Meluruskan makna istilah-istilah syar’iy di atas.
  2. Menerangkan tentang bahaya ekstrim dalam beragama dan bahaya menjatuhkan tuduhan kepada seorang muslim tanpa ilmu.
  3. Menerangkan fatwa-fatwa para ulama berkaitan dengan masalah ini.
  4. Mengumpalkan dasar-dasar ideologi yang menyimpang dalam hal ini kemudian membantahnya dengan argument dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.
  5. Menerangkan tokoh-tokoh yang menyandang dan menyebarkan pemikiran ini di tengah umat.
Sembilan : Meluruskan makna jihad yang hakiki dan pembagian orang-orang kafir menurut kaidah-kaidah Islam.
Meluruskan pemahaman dalam dua masalah ini termasuk solusi dasar dalam menuntaskan masalah terorisme. Dan -Al-Hamdulillah- pada bab kedua dari buku ini telah dijelaskan banyak hal yang merupakan dasar-dasar pijakan syari’at untuk menentukan sebuah jihad yang sesuai dengan tuntunan dan bagaimana sebenarnya pembagian orang-orang kafir dalam timbangan syari’at. Dan ada niat -dengan idzin Allah- untuk menyusun buku khusus merinci seluruh hukum berkaitan dengan jihad dalam sebuah pembahasan lengkap. Semoga Allah memudahkan hal tersebut dan senantiasa mencurahkan ‘inayah dan taufik-Nya. Innahu Walliyyu Dzalika Wal Qôdiru ‘Alahi.
Sepuluh : Menyingkap tabir penyimpangan dan kerusakan paham Khawarij dan yang semisal dengannya dalam garis ekstrim.
Telah dijeleskan dari bab yang telah lalu akan bahaya paham khawarij dan potensinya dalam melahirkan aksi-aksi terorisme. Paham ekstrim ini dan sejumlah pemahaman yang segaris dengannya sangatlah penting untuk diterangkan kepada umat tentang dasar-dasar kesesatan pemikiran mereka dan bahayanya.

[1] I’lamul Muwaqqi’în 2/257.
[2] Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary no. 6104 dan Muslim no. 60. Dan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary no. 6103.

Tags: , , , , , , , , , , , , ,

Sebelas : Meluruskan istilah-istilah syari’at yang kerap disalahpahami, seperti pengertian Imamah, ‘Imarah, Bai’at, negeri Islam, negeri kafir, ‘Uhud (perjanjian) dan yang semisalnya.
Istilah-istilah di atas termasuk istilah yang banyak digunakan oleh orang-orang yang terjerumus dalam garis ekstrim. Dan tidak diragukan bahwa menyelewengkan istilah-istilah tersebut dari hakikatnya akan melahirkan berbagai macam kerusakan dan kehancuran bagi umat.
Perhatikan kalimat “Imamah” yang bermakna kepemimpinan. Adalah suatu hal yang sangat penting untuk mengetahui siapa yang dikatakan sebagai Imam (Pemimpin/penguasa) dalam suatu negara, bagaimana ketentuan syahnya sebagai penguasa, konsekwensi yang harus dijalankan oleh rakyat di belakang hal tersebut, dan lain-lainnya. Karena itu wajarlah bila kita menyaksikan sekelompok orang yang tidak mengakui keberadaan penguasa di negaranya, atau mengangkat pimpinan tersendiri dalam kelompok atau jama’ahnya dengan berbagai konsekwensi yang hanya dimiliki oleh seorang pemimpin yang syar’iy menurut timbangan Islam. Kesalahan-kesalahan tersebut muncul karena kurang atau tidak memahami prinsip-prinsip Islam dalam masalah ini.
Dan perhatikan kalimat “Bai’at” yang bermakna sumpah setia atau janji. Bai’at adalah suatu hal yang hanya diperuntukkan terhadap seorang penguasa yang syah dan dibangun dibelakang bai’at itu berbagai hukum. Termasuk kesalahan yang banyak terjadi pada kelompok-kelompok yang menganggap dirinya memperjuangkan Islam adanya bai’at-bai’at kepada para pemimpin mereka, di mana hal tersebut tergolong membentuk jama’ah dalam tubuh Jama’ah kaum muslimin dan hal tersebut terhitung memecah belah Jama’ah kaum muslimin dan siapa yang meninggal di atas hal tersebut maka ia dianggap mati jahiliyah.
Demikian pula menjatuhkan hukum kepada suatu negeri, bahwa ia adalah negeri Islam atau negeri Kafir, dibelakang hukum tersebut ada sejumlah masalah yang hanya diketahui kedetailannya oleh para ulama.
Demikian pula sejumlah istilah syar’iy lainnya.
Maka meluruskan istilah-istilah ini termasuk titik-titik penting dalam menyelesaikan sikap ekstrim atau terorisme. Wallahu A’lam.
Dua Belas : Mendukung kegiatan-kegiatan dakwah yang haq dalam mendekatkan agama yang benar kepada manusia.
Tidak diragukan bahwa menyeru manusia ke jalan Allah termasuk solusi yang sangat bermanfaat dalam menanggulangi segala problematika yang dihadapi oleh manusia dan menciptakan kebaikan untuk mereka dibelakang hal tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?”.” (QS. Fushshilat : 33)
Dan dakwah di jalan Allah adalah lambang keberuntungan untuk manusia,
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. ali-‘Imran : 104)
Maka sangatlah dibutuhkan upaya-upaya untuk menegakkan dakwah yang hak di tengah manusia sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagaimana yang dipahami dan diamalkan oleh para ulama salaf dari kalangan shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Seluruh pihak hendaknya punya andil dalam menyebarkan dakwah tersebut, setiap orang sesuai dengan kemampuannya dalam segala bentuk dukungan yang dibutuhkan dalam penyebaran dakwah. Wallahul Muwaffiq.
Tiga Belas : Memberikan peluang dan kedudukan kepada orang-orang yang berilmu dalam mengadakan upaya-upaya perbaikan di tengah umat.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam pernah bersabda,
سَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الْأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ يَتَكَلَّمُ فِيْ أَمْرِ الْعَامَّةِ
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, (dimana) akan dibenarkan padanya orang yang berdusta dan dianggap dusta orang yang jujur, orang yang berkhianat dianggap amanah dan orang yang amanah dianggap berkhianat dan akan berbicara Ar-Ruwaibidhoh. Ditanyakan : “Siapakah Ar-Ruwaibidhoh itu?” Beliau berkata : “Orang dungu yang berbicara tentang perkara umum.” [1]
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam juga mengingatkan,
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقَ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari para hamba akan tetapi Allah mencabutnya dengan mencabut (mewafatkan) para ulama sampai bila tidak tersisa lagi seorang alim maka manusiapun mengambil para pemimpin yang bodoh maka merekapun ditanya lalu mereka memberi fatwa tanpa ilmu maka sesatlah mereka lagi menyesatkan.” [2]
Dua nash hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan pentingnya keberadaan para ulama di tengah umat dan hal tersebut merupakan keselamatan dan kesejahteraan mereka, sekaligus menunjukkan bahaya akan menimpa umat ini bila mereka menjadikan orang-orang yang jahil terhadap urusan agama sebagai rujukan.
Empat Belas : Tidak mencampuradukkan antara masalah yang mempunyai dasar-dasar syar’iy seperti Jihad, Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, Al-Wala` wal Barô`, dan lain-lainnya dengan masalah yang merupakan pelanggaran dalam syari’at, seperti pengkafiran tanpa dalil jelas, ekstrim, terorisme dan lain-lainnya.
Sejumlah permasalahan yang banyak dibicarakan pada hari-hari ini adalah tergolong masalah yang mempunyai dasar syar’iy dalam tuntunan agama kita seperti Jihad, Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, Al-Wala` wal Barô` dan lain-lainnya.
Dan ada sejumlah masalah yang sama sekali tidak mempunyai dasar dalam syari’at kita, bahkan tergolong suatu hal yang diharamkan dan amat tercela dalam timbangan agama seperti sikap ekstrim, terorisme, pengkafiran tanpa dalil dan sebagainya.
Maka termasuk kesalahan di kalangan sebagian kaum muslimin yang mencampur adukkan antara dua kutub permasalahan tersebut sehingga kita melihat sebagian dari kaum muslimin menjelekkan sebagian tuntunan agama mereka lantara hal ini.
Jadi membedakan dan mendudukkan antara masalah yang mempunyai dasar syar’iy dengan masalah yang tidak mempunyai dasar syar’iy termasuk hal yang sangat penting dalam menyelesaikan sejumlah problematika yang tengah kita hadapi saat ini.
Lima Belas : Mengadakan pelatihan khusus, seminar, pelajaran terprogram, pesantren kilat dan lain-lainnya, kepada seluruh lapisan masyarakat dari kalangan pemerintah, militer, dan rakyat umum untuk mendalami atau mempertajam prinsip-prinsip agama dan kaidah-kaidahnya atau sejumlah pembahasan penting berkaitan dengan sebab-sebab terciptanya keamanan, kemulian dan kejayaan umat dalam pandangan syari’at, ketaatan kepada para penguasa, hukum-hukum penting dalam agama, bentuk-bentuk ekstrim dan dasar-dasar pemikirannya dan masalah-masalah lainnya yang merupakan tonggak tegaknya suatu negara dan masyarakat.
Enam Belas : Mengadakan upaya maksimal dalam memperbaiki keadaan kehidupan masyarakat dan memenuhi kebutuhan darurat mereka serta menyelesaikan masalah-masalah mereka agar hubungan antara rakyat dan pemerintah semakin erat dan terjalin kepercayaan yang sangat besar antara keduanya.
Tujuh Belas : Melarang tersebarnya buku-buku yang memuat pemikiran menyimpang dan mengawasi ruang lingkup para penganut pemikiran tersebut.
Delapan Belas : Mengarahkan media massa kepada hal yang terbaik dalam pemberitaan.
Termasuk hak dan kewajiban pemerintah untuk mengawasi bidang pemberitaan, karena pemberitaan bukanlah urusan setiap orang, bahkan ia adalah urusan pihak-pihak tertentu yang telah diatur oleh penguasa dan orang-orang yang berilmu di antara mereka.
Maka harus ada langkah yang baik dalam memperbaiki kerusakan pemberitaan dan mengarahkannya kepada hal yang terbaik sehingga tidak menjadi penyebab terjadinya berbagai macam kerusakan dan bahaya yang telah diterangkan. Wallahu Musta’an.

[1] Telah berlalu takhrijnya.
[2] Telah berlalu takhrijnya.