zwani.com
apa kabar kamu hari ini
salam hangat buat faithfredoom.org semoga bermanfaat bagi anda dan untuk non muslim ma’af bila ada kata-kata kurang berkenan Cintailah kekasihmu sekedarnya saja, siapa tahu nanti akan jadi musuhmu. Dan bencilah musuhmu sekedarnya saja, siapa tahu nanti akan jadi kekasihmu semoga allah swt membuka mata hati faithfreedom terhadap islam.
Image by Anime Myspace Comments
MyNiceProfile.com

Minggu, 10 Oktober 2010

Menjawab Beberapa Tuduhan Diseputar Kompilasi Qur’an

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Banyak Fitnah-Fitnah keji yang dilontarkan oleh kaum kafir contohnya tentang kompilasi Al-Qur’an, salah satu fitnah yang dilontarkan adalah fitnah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an pada saat ini tidak sama dengan Al-Qur’an pada jaman Rasulullah SAW. Berikut adalah fitnah beserta jawaban muslim yang disandur dari tulisannya Bang Faiz.
  1. Quran yang tercecer Menurut Abu Musa Al Asy’ari
    Suwaid ibn Sa`eed ia berkata bahwa `Ali ibn Mus’hir berkata kepada kami: Dawood dari Abu Harb ibn abu al-aswad bahwa ayahnya berkata bahwa Abu Musa’ Al-ash`ari berkata: Kami biasa membawakan satu surat, yang panjang dan kerasnya seperti surat Al Baraah, Saya telah lupa kecuali ayat yang saya ingat :“Seandainya anak Adam memiliki dua lembah yang berisi harta ia pasti berharap ketiganya dan tidak ada yang dapat memenuhi kerongkongan anak Adam kecuali liang lahat” (HR. Muslim)
    Hadits inilah yang kemudian menjadi argumentasi musuh-musuh Islam yang membuktikan Al Quran yang ada sekarang tidak sama dengan Al Quran dizaman Rasulullah Saw. Hadits ini membuktikan bahwa Al-Quran yang ada sekarang tidak lengkap karena ada ayat yang tidak diakomodir didalamnya. Setelah mengemukakan Hadits ini kemudian mereka mencoba menguatkan argumentasi mereka dengan hadits lain
    Anas bin Malik berkata : “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah yang berisi harta ia pasti berharap ketiganya dan tidak ada yang dapat memenuhi kerongkongan anak Adam kecuali liang lahat, dan kepada Allah kembali ia bertaubat” (HR. Muslim)
    Jawaban dari tuduhan ini adalah bahwa hadits yang pertama telah dikategorikan sebagai hadits dhoif dikarenakan sanadnya yang amat lemah, diantara kelemahannya adalah Suwaid ibn Sa`eed ,`Ali ibn Mus’hir, Dawood, tiga orang yang menjadi mata rantai hadits ini dianggap sangat lemah.
    Kesaksian mengenai Suwaid Ibnu Sa’id:
    Bukhari mengatakan Dia hilang penglihatan dan kemudian biasa meriwayat sesuatu yang bukan dia dengar sendiri, dan kejujurannya dipertanyakan. Nasai mengatakan dia tidak dapat dipercaya . (Al-Zahabi , Tazkirah al-Huffaaz)
    Bukhari mengatakan Suwaid amat tidak bisa dipercaya dan perkataannya aneh dan munkar, Ibnu mu’in berkata Suwaid adalah seorang pembohong, imam Ahmad berkata, perkataan Suwaid tidak dapat diterima. (ibid)
    Kesaksian Mengenai Ali bin Mushir:
    Uqaili berkata Ali bin Munshir tidak dapat dipercaya (Uqaili, Dhuafaa al-`uqaili)
    Ibnu Hajar berkata Ali bin Munshir bisa dipercaya namun ia meriwayatkan hadits yang ganjil setelah ia kehilangan penglihatannya. (Ibn Hajar ,Tehzi’b al-tehzi’b)

    Kasaksian mengenai Dawud :
    Imam Ahmad mengatakan cerita Dawud amat membingungkan, dan saling kontradiktif satu dengan yang lainnya, Ibnu Hibban menambahkan cenderung mengalami kesalahan ketika bercerita berdasarkan ingatannya. (Ibid)
    Dari penjelasan mengenai kredibilitas tiga mata rantai sanad saja hadits ini mempunyai kelemahan yang amat besar belum lagi dari matan yang menyebutkan Abu Musa lupa beberapa ayat lainnya, hal ini amat membingungkan bagaimana mungkin hanya ia saja yang bersaksi bahwa riwayat mengenai anak adam ini adalah bagian dari surat didalam Al Quran?
    Betul memang ada riwayat dari Anas bin Malik yang mengatakan bahwa Rasul pernah menyampaikan kalimat tersebut akan tetapi ia tidak pernah menyebutkan bahwa itu merupakan bagian dari Al Quran.
    Anas bin Malik berkata : “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah yang berisi harta ia pasti berharap ketiganya dan tidak ada yang dapat memenuhi kerongkongan anak Adam kecuali liang lahat, dan kepada Allah kembali ia bertaubat (HR. Muslim)
  2. Surat Al khal dan Al Hadf
    Mereka kemudian menambahkan bahwa Mushaf Abu Musa Al Asy’ari dan beberapa sahabat lainnya memiliki surat yang kemudian tidak tertulis didalam Mushaf Utsmani.Ubay bin Ka’ab memasukan dua surat tambahan yaitu, al Hafdh dan Al Khal yang tidak tertulis didalam mushaf Utsmani, surat ini juga tertulis pada teks Ibnu Abbas dan Abu Musa. Mengenai kesaksian mengenai dua surat yang tercecer di Mushaf Abu Musa, Ibnu Abbas, dan Ubay bin Ka’ab tidak pernah mereka sebut sebagai bagian dari Al Quran, dan tidak ada riwayat yang menyebutkan mereka menganggap itu bagian dari Al Qur’an. Mengenai keberadaan Surat tersebut didalam Mushaf mereka bukan menandakan bahwa hal itu merupakan bagian dari wahyu Allah, berikut terjemahan dari kedua surat tersebut:
    Surat Al Khal
    Allah kami meminta pertolonganmu dan meminta pengampunanmu, dan kami memujimu dan kami bukan termasuk orang yang kafir terhadapmu. Kami berpisah dan meninggalkan orang yang melakukan dosa terhadapmu
    Surat Al-Hadf
    Ya Allah Kami memujimu dan kepadamu kami berdoa dan berserah diri, dan kepadamu kami berlari dan bersegera untuk mengabdi. Kami berharap kepada pengampunanmu dan takut kepada hukumanmu. Hukumanmu akan segera sampai kepada orang-orang kafir.
    Ini adalah terjemahan dari kedua surat yang berada didalam Mushaf sahabat tersebut, yang menarik adalah kedua surat tersebut sama bunyinya dengan bunyi dua doa qunut yang biasa dibaca oleh kaum muslimin yang ada didunia, bahkan rasul sendiri pernah menganjurkan membacanya diakhir sholat witir (Ahmad von Denffer, “Ulum al Qur’an”) , persoalannya apakah segala sesuatu yang tertulis bisa dikatakan bagian dari Al-Qur’an, bukankah Rasul pernah berkata janganlah kalian menulis kecuali Al Quran?
    “Janganlah kalian menulis apa apa dariku, barangsiapa yang menulis dariku selain al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya, dan berbicaralah tentang diriku dan itu diperbolehkan, dan barangsiapa dengan sengaja berbohong atas diriku maka bersiap siaplah untuk tinggal diatas neraka” (HR Muslim)
    Betul pesan ini memang disampaikan oleh Rasulullah Saw, akan tetapi bukan berarti hal ini kemudian tersampaikan kepada semua sahabat. Ada saja sahabat yang tidak mengetahui Hadits tersebut dan melakukan kekeliruan, bahkan hal ini mempertegas tindakan Zaid bin Tsabit yang tidak mau menerima catatan yang tidak tertulis langsung dihadapan Rasulullah yang didampingi dua orang saksi. Dia berpikir tidak ada satupun jaminan yang bisa diberikan bahwa sahabat tidak salah dalam prosedural penulisan maupun hapalan suatu ayat tertentu.
    Yang menarik adalah Ubay bin Ka’ab yang dikatakan mempunyai Mushaf yang lain dari Mushaf yang ada sekarang justru adalah orang yang ikut menyusun keberadaan Mushaf Utsmani
    Ata berkata : Ketika Utsman memutuskan untuk menyalin Al Quran kedalam naskah tertulis , ia mengirim mereka kepada Ubay bin Ka’ab. Ubay mendiktekan kepada Zaid yang kemudian menuliskannya, dan bersama mereka Sa’id bin Al ‘Ash, yang meneliti teks (berdasarkan Gramar Arab Quraisy). Teks ini berdasarkan bacaan Ubay dan Zayd (HR. Abu Dawud)
    Utsman memerintahkan Ubay bin Ka’ab untuk mendiktekan, Zayd bin Tsabit untuk menulis, Sa’id bin Al Ash dan Abdurahman bin Al Harith untuk meneliti teks kedalam aturan bahasa Arab (HR. Abu Dawud)
    Hadits ini adalah tamparan yang amat keras bagi orang-orang yang menuduh bahwa Ubay bin Ka’ab memiliki Mushaf yang berbeda dari Mushaf Utsmani, bagaimana mungkin ia bisa melewatkan kedua surat ini kedalam Mushaf Ustmani sedang ia sendiri yang membacakannya didepan Zaid?
  3. Permasalahan Ibnu Mas’ud
    Salah satu argumen yang didengungkan kaum orientalis-misionaris adalah bahwa Abdullah bin Mas’ud menolak untuk membakar mushaf yang dimiliki olehnya dengan mengatakan :Bagaimana mungkin kalian menyuruhku membaca qiraat Zayd. Ketika Zayd masih kecil bermain dengan kawan sebayanya saya telah menghafal lebih dari tujuh puluh surah langsung dari lisan Rasulullah (Ibn Abi Da’ud, Kitab a-Masahif) Yang menarik dari riwayat ini adalah kita sama sekali tidak melihat satupun riwayat Utsman untuk memaksa Abdullah bin Mas’ud untuk menyerahkan Mushafnya, ini sekaligus memperlihatkan kebijaksanaan Utsman yang kemudian mematahkan tuduhan bahwa Utsman bersikap Aristrokat seperti yang dikatakan Robert Morey, padahal Abu Dawud juga meriwayatkan Abdullah bin Mas’ud mengumumkan kepada pengikutnya (orang-orang yang memegang mushaf Ibnu Masud) untuk tidak menyerahkan Mushaf mereka. Bahkan yang terjadi adalah semua orang mengikuti perintah Utsman untuk membakar Salinan Mushaf miliknya.
    Musab ibnu Sa’ad ibnu Waqqas berkata: “Aku melihat orang-orang berkumpul dalam jumlah yang besar ketika Utsman melakukan pembakaran Quran, dan mereka terlihat senang dengan tindakannya, dan tidak ada satupun yang berbicara menentangnya (HR. Abu Dawud)
    Perkataan “Terlihat senang dengan tindakannya” menunjukkan tidak adanya pemaksaan atau ancaman atas tindakan yang menentang perintah tersebut, tidak ada satupun riwayat yang menyatakan adanya seseorang yang dihukum atas tindakan penentangan terhadap perintah Utsman.
    Bahkan berulang kali Utsman menegaskan bahwa dia tidak menolak bacaan bacaan Quran yang berlangsung secara oral. Yang dia ingin satukan adalah bacaan dalam bentuk tertulis untuk menghindari perpecahan dan penyimpangan makna.
    “Adapun Alquran, saya tidak akan menghalangi kalian, hanya saja saya khawatir bila terjadi perpecahan di antara kalian (sebab perbedaan bacaan Alquran) dan silakan kalian membaca (Alquran) dengan harf yang menurut kalian mudah”. ( Muhammad ‘Abd Allâh Dirâz, Madkhal ilâ al-Qur`ân al-Karîm. (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1993), cet. II, hlm. 42)
    Kemudahan yang diberikan Utsman inilah yang kemudian menyebabkan kita dapat menemukan bacaan-bacaan yang bersumber dari Rasulullah Saw walaupun hanya berpegang pada riwayat ahad.
    Apakah penolakan Ibnu Mas’ud merupakan penolakan dikarenakan Mushaf yang dimilikinya berbeda secara substansial dengan Mushaf utsmani. Untuk memperkuat adanya perbedaan itu orientalis-misionaris mengajukan bukti adanya penolakan Ibnu Masud dalam tiga surat yaitu Al fatihah dan al-mu `aw-widhatayn (Annas dan Al Falaq).
    Fakta bahwa Ibnu Mas’ud tidak menerima ketiga surat itu sebenarnya telah ditolak oleh beberapa ulama Islam diantaranya Imam Ibnu Hazm Ulama besar dari Andalusia, ia mendustakan orang yang menisbatkan perkataan penolakan tiga surat tersebut kepada Ibnu Mas’ûd. Karena terbukti dalam qiraat Imam ‘Ashim (salah satu dari tujuh otoritas dalam transmisi qiraat yang mu’tabar) yang berasal dari Ibnu Mas’ûd terdapat bacaan al-Mu’awwidzatain dan al-Fâtihah. (Muhammad ‘Abd Allâh Dirâz, Madkhal ilâ al-Qur`ân al-Karîm. (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1993), cet. II)
    Argumen yang menguatkan pendapat Ibnu Hazm diantaranya adalah fakta bahwa tidak ada satupun riwayat yang mengklaim Ibnu Masud tidak memasukkan surat 15: 87 kedalam Mushafnya yang berbunyi:
    وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ
    “Dan sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang” (QS. 15:87)
    Jika memang benar Ibnu Masud menolak Al Fatihah tentu penolakan dia akan mengalami kontradiksi dengan apa yang telah dia muat sebelumnya.Sebab siapapun setuju bahwa maksud ayat tersebut adalah surat Al-Fatihah. Jikalau memang Ibnu Masud menolak maka dimana dia taruh tujuh ayat yang berulang-ulang tersebut.?
    Tentu saja bukti yang terkuat adalah dari murid-murid Ibnu Mas’ud sendiri, secara logika jika ada sepuluh orang murid yang belajar pada guru yang sama maka hasilnya akan sama, jika ada satu orang yang berbeda dengan kesembilan orang lainnya tentu saja satu orang ini mungkin mengalami noise dalam penerimaan informasi, sebab jika dia sendiri yang berbeda maka dapat dipastikan dia tidak menangkap pelajaran dengan benar. Logika ini yang kemudian membantah dengan sendirinya pendapat orientalis seperti Jefri yang pertama kali menyerang Mushaf Utsmani dengan membandingkannya dengan Mushaf Ibnu Mas’ud dengan alasan yang kita sudah sebutkan diatas. Ibnu Mas’ud mempunyai beberapa orang murid diantaranya `Alqamah, al-Aswad, Masruq, asSulami, Abu Wa’il, ash-Shaibani, al-Hamadani, dan Zirr, semuanya meriwayatkan AI-Qur’an yang mereka terima dari padanya berjumlah sebanyak 114 surah. Hanya salah satu murid Zirr, `Asim, satu-satunya yang memberi pernyataan konyol kendati ia mengajarkan seluruh isi kandungan Kitab Suci atas wewenang Ibn Mas’ud. (As-Suyuli, al-Itqan, 1: 221)
    Terakhir sekali ternyata Jeffery orientalis pertama yang menyudutkan peristiwa ini di buku Materials tidak mengungkap sikap menyeluruh dari `Abdullah ibn Mas`ud. Padahal dari kedua buku yang diedit oleh Jeffery sendiri, disebutkan bahwa Ibn Mas`ud menimbang kembali pendapatnya yang awal dan akhirnya kembali lagi kepada pendapat `Uthman dan para Sahabat lainnya. Ibn Mas`ud menyesali dan malu dengan apa yang telah dikatakannya.(Kitab al-Mabani, yang diedit oleh Jeffery pada tahun 1954 menyebutkan Ibn Mas’ud menyesali sikapnya dan menyetujui Mushaf `Uthmani. Lihat Arthur Jeffery, Kitab al-Mabani, hlm. 95. Bandingkan juga dengan Kitab al-Masahif, 1: 193-195)
  4. Ayat-ayat Rajam
    “Dan bagi laki-laki tua yang berzinah dan wanita tua yang berzinah, rajam mereka atas kesenangan yang telah mereka perbuat”, Umar bin Khattab berkata “orang-orang akan mengatakan bahwa Umar telah menambahkan sesuatu kepada kitab Allah, jika aku menulis ayat rajam” (True Guidance, p. 61- citing Al-Suyuti’s al-Itqan fii ulum al-Quran on nasikh wa mansukh; Darwaza’s al-Quran Al-Majid)Kita harus menyatakan bahwa ayat rajam merupakan pendapat Umar pribadi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya sesuai kaidah ilmiah yang telah disepakati seperti adanya teks yang mendukung adanya ayat tersebut dan teks tersebut harus ditulis dihadapan Rasulullah disaksikan oleh dua orang. (fathul bahri,Ibnu Hajar) Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwa Abu Bakar berkata pada Umar dan Zaid: `Duduklah kamu berdua dipintu masjid. Bila ada yang datang kepadamu membawa dua orang saksi atas sesuatu dari kitab Allah, maka tulislah (HR. Abu Dawud)
    Itulah yang menyebabkan kesaksian Umar tertolak sebab begitu Umar ditanyakan argumennya ayat tersebut memang ada dia tidak bisa membuktikannya (Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, al-Madkhal li Dirâsat al-Qur`ân al-Karîm, (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1992), Cet. I, hlm. 273)
    Memang ada riwayat juga yang menyatakan Aisyah telah menyimpan teks tersebut dan hilang setelah Rasulullah saw meninggal dunia, akan tetapi hal ini juga menjadi pertanyaan sebab kenapa cuma Aisyah yang menyimpan teks tersebut dan mengapa tidak semua orang tahu akan adanya ayat tersebut. Redaksi Umar yang menyatakan bahwa “orang-orang akan mengatakan bahwa Umar telah menambahkan sesuatu pada kitab Allah” membuktikan bahwa ayat ini hanya diketahui oleh Umar, Aisyah dan juga ditambah riwayat Ibnu Abbas. Akan tetapi mengapa hanya tiga orang yang mengetahui ayat ini adalah sangat ganjil sebab rasulullah sendiri ditugaskan untuk menyebarkan seluruh ayat Quran kepada semua manusia sehingga seharusnya ayat ini diketahui banyak orang.
    Adalah kebiasaan Rasulullah Saw untuk meminta penulis wahyu untuk membaca kembali ayat tersebut setelah menuliskannya, menurut Zaid bin Tsabit, jika ada kesalahan dari penulisan dia membetulkannya, setelah selesai barulah Rasulullah Saw membolehkan menyebarkan ayat tersebut. (Majmauz Zawaid, vol.I, p. 60)
    Rasulullah menulisnya dan baru menyebarkannya kepada masyarakat, riwayat ini membuktikan bahwa suatu ayat seharusnya mutawatir (banyak diketahui orang) disamping ada teks yang dapat dipertanggungjawabkan. Kecurigaan bahwa ayat yang dimaksud adalah hadits qudsi, hadits yang memang diturunkan oleh Allah adalah sebuah keniscayaan sebab hadits sudah biasa diriwayatkan dalam keadaan ahad.
    Mungkin ada juga yang berdalih bukankah Zaid sendiri mencari Huzaimah Al anshary dan hanya dia satu-satunya yang mempunyai akhir surat attaubah.?
    “Sampai saya temukan akhir dari surat At taubah pada Abu Khuzaimah Al Anshary yang tidak terdapat pada surat yang lainnya” (HR. Bukhari)
    Pengecualian akhir surah al-Taubah dari kaidah tersebut, disebabkan catatannya hanya ditemukan pada Abî Khuzaimah al-Anshârî dan berdasarkan kemutawatiran hafalannya, sehingga Rasulullah mengatakan kesaksiannya setara dua orang saksi bahwa ayat tersebut ditulis di hadapan Rasulullah. (Shubhî al-Shâlih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-‘Ilmi li al-Malâyîn, 1990), Cet. XVIII, hlm. 76)
    “Adapun perkataan Zayd: “Saya tidak menemukannya kecuali pada Abî Khuzaimah”, bukan berarti penetapan Alquran dengan khabar âhâd karena Zayd dan sahabat lain menghafal ayat tersebut dan pencariannya kepada sahabat bertujuan untuk menampakkannya bukan sebagai pengetahuan baru.” (Badr al-Dîn al-Zarkasyî, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur`ân, (Kairo: Dâr Ihyâ` al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1957), Vol. I, hlm. 296)
    Jadi Zayd sendiri mengetahui ayat tersebut dan berusaha membuktikannya dengan mencari data yang digunakan untuk memperkuat argumennya, hingga catatan yang benar-benar ditulis dihadapan rasulullah ditemukan. Karena Zayd sendiri memang sudah mempunyai catatan ayat tersebut akan tetapi dia tidak punya catatan yang ditulis langsung dihadapan Rasulullah, mengenai kesaksian Abu Khuzaimah yang setara dengan dua orang saksi telah ditegaskan oleh Rasulullah sebelumnya, yang sekaligus membuktikan bahwa proses kompilasi Quran ini telah diprediksi sebelumnya oleh Rasulullah Saw.
    Dari Anas berkata bahwa ketika Nabi meninggal, tidak ada yang telah mengumpulkan Quran kecuali empat para orang: Abu Al-Darda`, Mu’adz bin Jabal, Zayd bin Thabit dan Abu Zayd. (HR. Bukhari)
    Sahih Bukhari Volume 6, Book 60, Number 307:
    Narrated Zaid bin Thabit: When we collected the fragramentary manuscripts of the Qur’an into copies, I missed one of the Verses of Surat al-Ahzab which I used to hear Allah’s Apostle reading. Finally I did not find it with anybody except Khuzaima Al-Ansari, whose witness was considered by Allah’s Apostle equal to the witness of two men. (And that Verse was:) ‘Among the believers are men who have been true to their covenant with Allah.’
    Terakhir dan bukti yang paling kuat adalah mengenai teks yang Umar yang meragukan dan aneh serta tidak sesuai dengan gaya bahasa Quran:
    “Dan bagi laki-laki tua yang berzinah dan wanita tua yang berzinah, rajam mereka atas kesenangan yang telah mereka perbuat”
    Lafadz al-Syaikhu wa al-Syaikhatu sangat meragukan karena berarti adalah laki-laki yang sangat tua dan wanita yang sangat tua atau berusia lanjut hal ini seperti yang ada pada ayat Quran yang lainnya,
    وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ ۖ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا ۖ قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّىٰ يُصْدِرَ الرِّعَاءُ ۖ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
    Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua (Syaikh) yang telah lanjut umurnya” (QS. 28:23 )
    قَالَتْ يَا وَيْلَتَىٰ أَأَلِدُ وَأَنَا عَجُوزٌ وَهَٰذَا بَعْلِي شَيْخًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عَجِيبٌ
    Istrinya berkata: “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua (Syaikhatu) , dan ini suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh. (QS. 11:72 )
    هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ يُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ثُمَّ لِتَكُونُوا شُيُوخًا ۚ وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّىٰ مِنْ قَبْلُ ۖ وَلِتَبْلُغُوا أَجَلًا مُسَمًّى وَلَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
    Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes, air mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua (Syaikh), di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami (nya). (QS. 40:67 )
    Dari ayat-ayat tersebut diatas tampak kata Syaikh dan Syaikhatu dipergunakan untuk menunjukkan kata laki-laki tua dan wanita tua. Artinya apa? artinya jelas bahwa jika ayat ini dimasukkan berarti hukum rajam bagi pezina hanya diberlakukan bagi laki-laki dan wanita yang sudah berusia tua, oleh karenanya tentu saja teks ini mengundang kritikan keras dari Zaid bin Tsabit yang menyatakan : “Bukankah dua pasang muda yang telah menikah juga dirajam?” (Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, al-Madkhal li Dirâsat al-Qur`ân al-Karîm, (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1992), Cet. I, hlm. 273)
    Tambahan dari saya, Umar sendiri telah mengakui bahwa Quran telah menyebutkan adanya ayat-ayat rajam. Jadi jika Umar meyakini bahwa ada ayat-ayat rajam yang tidak disebutkan tentulah ini bertentangan dengan pernyataan Umar sendiri:
    Sahih Bukhari Volume 9, Book 92, Number 424t :
    When we reached Medina, ‘Umar (in a Friday Khutba-sermon) said, “No doubt, Allah sent Muhammad with the Truth and revealed to him the Book (Quran), and among what was revealed, was the Verse of Ar-Rajm (stoning adulterers to death).’” (See Hadith No. 817,Vol. 8 )

    Sahih Bukhari volume 8, Book 82, Number 816:
    Narrated Ibn ‘Abbas: ‘Umar said, “I am afraid that after a long time has passed, people may say, “We do not find the Verses of the Rajam (stoning to death) in the Holy Book,” and consequently they may go astray by leaving an obligation that Allah has revealed. Lo! I confirm that the penalty of Rajam be inflicted on him who commits illegal sexual intercourse, if he is already married and the crime is proved by witnesses or pregnancy or confession.” Sufyan added, “I have memorized this narration in this way.” ‘Umar added, “Surely Allah’s Apostle carried out the penalty of Rajam, and so did we after him.”
    Hadis diatas juga hanya menjelaskan kekhawatiran Umar bahwa suatu saat orang-orang akan mengatakan bahwa ayat-ayat rajam tidak diturunkan (diwahyukan) dalam Quran tapi hanya melalui hadis. Ini saja pengertian dari hadis diatas. Kenyataannya hukum rajam telah disebutkan dalam hadis.
    Related Article: What about missing verse on stoning? (rajam)
  5. Laporan dari Suyuthi dalam Al-Itqan
    Aisyah menyatakan Surah al-Ahzab 33 : 56 pada masa Nabi adalah LEBIH PANJANG yaitu dibaca “Wa’ala al-Ladhina Yusaluna al-Sufuf al-Uwal” selepas “Innalla ha wa Mala’ikatahu Yusalluna ‘Ala al-Nabi…” Aisyah berkata,”Yaitu sebelum USMAN MENGUBAH mushaf-mushaf.”Aisha dilaporkan menyatakan bahwa saat nabi SAW hidup, sura 33 (al-Ahzab) adalah 3 kali lebih panjang daripada yang ada dalam mushaf Usman.Sumber :
    • Al Raghib al Isfahani, Muhadarat al Udaba, vol 4 p 434
    • Suyuti, al Durre Manthur, vol 5 p 180
    • Suyuthi, al Itqan fi ulum al Quran, vol 1 p 226
    Kutipan dari Suyuthi :
    Aisyah berkata, “Surah al-Ahzab dibaca pada zaman Rasulullah SAW SEBANYAK 200 AYAT, tetapi pada masa Usman menulis mushaf surah tersebut TINGGAL 173 AYAT SAJA.”

    Sanggahan
    • pertama yaitu kitab Suyuti bukanlah buku sumber, sehingga sebenarnya buku ini tidak bisa dijadikan dasar argumentasi. Kenapa demikian adalah karena didalam buku ini tidak ada sanad, dan sesuatu yang tidak mempunyai sanad tidak dapat dijadikan dasar argumentasi.
    • Kedua, sebagai bukti bahwa buku Suyuti ini mengandung kekeliruan adalah ketika menceritakan tentang berbagai macam perbedaan bacaan (lebih kurang 40 bacaan) dari berbagai macam sumber pada kitab “Al-Ittiqaan fi `uloom al-Qur’an” pada kitab sesudahnya imam suyuti yaitu “Tafsir al-Hawaalik” beliau justru mengakui bahwa tidak ada satupun riwayat tersebut yang dapat diterima !!!.
    • Ketiga, kalaupun riwayat itu diterima hal itu tidak bisa dibenarkan secara ilmiah karena sesuatu yang hanya berdasarkan pendapat satu orang tidak dapat dijadikan bukti, karena didalam Islam selain Qur’an juga ada yang dikenal sebagai hadits qudsi yang secara redaksional hampir mirip dengan Al Qur’an.
    • Keempat mengenai Aisyah sumber yang sahih seperti yang saya kutip diatas menunjukkan bahwa apa yang ditulis oleh Aisyah sangat berbeda dengan apa yang dilakukan Zaid dan sahabat yang lain karena Zaid menulis dihadapan nabi Muhammad, sedangkan Aisyah menulis setelah mendengar dari nabi, sesuatu yang tidak mustahil bahwa persepsi Aisyah itu adalah pendapat pribadi pada ayat itu dan bukan pada keberadaan/entitas ayat itu sendiri.
Akhirnya nampak jelas bagi kita segala argumentasi kaum pagan tentang Al Quran menjadi terhempas dan semakin redup dibawah terang nya cahaya Quran dan nampaklah bahwa Quran merupakan wahyu Allah yang terjaga sampai akhir zaman nanti.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. 15:9)