Kategori Terorisme |
===============================================
Tidaklah diketemukan definisi tentang terorisme dari kalangan ulama terdahulu. Hal tersebut disebabkan karena awal penggunaan terorisme dengan pengertian sekarang ini bermula dari ideologi Eropa pada masa revolusi Prancis tahun (1789-1794 M). Walaupun telah diketahui bahwa pada masa Yunani, Romawia dan abad pertama masehi telah tercatat beberapa kejadian terorisme.[1]
Dan manusia pada zaman ini berselisih dalam memberikan definisi tentang terorisme ini, padahal kalimat terorisme adalah kalimat yang paling banyak digunakan di tahun-tahun terakhir ini.
Menurut Persatuan Bangsa-bangsa (PBB), “Terorisme adalah perbuatan-perbuatan yang membahayakan jiwa manusia yang tidak berdosa atau menghancurkan kebebasan asasi atau melanggar kehormatan manusia.” [2]
Menurut peraturan internasional, “Terorisme ialah sejumlah perbuatan yang dilarang oleh peraturan-peraturan kenegaraan pada kebanyakan negara.” [3]
Dalam kesepakatan bangsa-bangsa Arab menghadapi terorisme, dikatakan bahwa “Terorisme adalah setiap perbuatan berupa aksi-aksi kekerasan atau memberi ancaman dengannya, apapun pemicu dan maksudnya. Aplikasinya terjadi pada suatu kegiatan dosa secara individu maupun kelompok, dengan target melemparkan ketakutan di tengah manusia, atau membuat mereka takut, atau memberikan bahaya pada kehidupan, kebebasan atau keamanan mereka, atau melekatkan bahaya pada suatu lingkungan, fasilitas, maupun kepemilikan (umum atau khusus), atau menduduki maupun menguasainya, atau memberikan bahaya pada salah satu sumber daya/aset negara.” [4]
Demikian beberapa definisi terorisme dan masih banyak lagi definisi lain yang tidak ada keperluan untuk menyebutkannya disini. Karena kebanyakan definisi tersebut hanya memberikan batasan sesuai dengan tujuan dan kemashlahatan untuk pihak tertentu saja, sehingga kalau ada negara atau komunitas yang terzholimi membela diri mereka dengan menyerang pihak musuh yang merampas tanah dan kehormatan mereka seperti yang terjadi di Palestina, Afghanistan, Iraq dan lain-lainnya, maka hal tersebut masih tergolong terorisme dalam sebagian definisi di atas. Bahkan belakangan ini setiap muslim yang teguh menjalankan agamanya sesuai dengan tuntunan yang benar juga dianggap teroris.
Sepanjang tidak ada kesepakatan dari seluruh negara tentang definisi terorisme, maka seharusnya kita tidak menoleh kepada definisi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu dalam penggunaan kalimat terorisme tersebut. Dan seharusnya kita memperhatikan definisi yang telah disebutkan oleh ulama sekarang tentang masalah ini.
Majma’ Al-Buhûts Al-Islâmiyah di Al-Azhar, setelah kejadian 11 September 2001, menyebutkan bahwa “Terorisme adalah membuat takut orang-orang yang aman, menghancurkan kemashlahatan, tonggak-tonggak kehidupan mereka, dan melampaui batas terhadap harta, kehormatan, kebebasan dan kemuliaan manusia dengan penuh kesewenang-wenangan dan kerusakan di muka bumi.” [5]
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan syar’iy oleh Al-Majma’ Al-Fiqh Al-Islâmy. Lembaga fiqih internasional ini pada tanggal 15/10/1421H bertepatan 10/1/2001 (yaitu sepuluh bulan sebelum kejadian 11 September 2001M) mengeluarkan definisi tentang terorisme, “Terorisme adalah suatu permusuhan yang ditekuni oleh individu-individu, kelompok-kelompok, atau negara-negara dengan penuh kesewenang-wenangan terhadap manusia (agama, darah, akal, harta dan kehormatannya). Dan ia mencakup berbagai bentuk pemunculan rasa takut, gangguan, ancaman dan pembunuhan tanpa haq serta apa yang berkaitan dengan bentuk-bentuk permusuhan, membuat ketakutan di jalan-jalan, membajak di jalan dan segala perbuatan kekerasan dan ancaman. Aplikasinya terjadi pada suatu kegiatan dosa secara individu maupun kelompok, dengan target melemparkan ketakutan di tengah manusia, atau membuat mereka takut dengan gangguan terhadap mereka, atau memberikan bahaya pada kehidupan, kebebasan, keamanan, atau kondisi-kondisi mereka. Dan diantara bentuk-bentuknya, melekatkan bahaya pada suatu lingkungan, fasilitas, maupun kepemilikan umum atau khusus, atau memberikan bahaya pada salah satu sumber daya/aset negara atau umum. Seluruh hal ini tergolong kerusakan di muka bumi yang dilarang oleh Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.” [6]
Dan definisi di atas adalah definisi untuk kata terorisme karena mencakup seluruh makna terorisme yang tercela dan menjelaskan secara tidak langsung kesalahan atau kekurangan yang terdapat dalam definisi-definisi yang pernah diletakkan oleh lembaga-lembaga internasional sebelum Al-Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy.
Dalam sebuah khutbah jum’at yang berjudul “Al-Irhâb Bainat Tadmîr wat Tabrîr”, di Mesjid Jâmi’ Khalid bin Al-Walid, kota Riyadh, Syaikh Sulthôn bin ‘Abdurrahmân Al-‘Ied hafizhohullâh menjelaskan tentang makna terorisme. Beliau menyatakan “Sesungguhnya kalimat Al-Irhâb (terorisme) mempunyai makna dengan bentuk-bentuk yang beraneka ragam. Tercakup dalam (makna); membuat takut dan ngeri orang-orang yang aman tanpa kebenaran, melayangkan jiwa-jiwa yang tidak berdosa, menghancurkan harta-harta yang terpelihara, merusak kehormatan-kehormatan yang terjaga, memecah tongkat (persatuan) kaum muslimin, mencerai beraikan jama’ah mereka dan keluar terhadap pemimpinnya dan memanas-manasi anak muda untuk berhadapan (berseberangan) dengan negara mereka serta membenturkan mereka dengan penguasa dan ulamanya dalam berbagai front dan benturan.” [7]
Dan dalam sebuah wawancara Harian “Asy-Syarq Al-Ausath” bersama Prof. DR. Syaikh Shôlih bin Ghônim As-Sadlân hafizhohullâh mengenai masalah irhâb (terorisme), beliau menerangkan tentang terorisme dengan penjelasan sangat jelas dan terang.
Beliau berkata, “Bila kita hendak berbicara tentang irhâb, sudah selayaknya untuk meletakkan gambaran tentang makna irhâb. Apakah irhâb itu secara bahasa?, dan apa yang dimaksud dengannya secara istilah ?.
Al-Irhâb secara bahasa adalah melakukan sesuatu yang menyebabkan kepanikan, ketakutan, membuat gelisah orang-orang yang aman, menyebabkan kegoncangan dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dan menghentikan aktivitas mereka serta menimbulkan gangguan dalam keamanan, kehidupan dan interaksi.
Adapun maknanya dalam syari’at adalah segala sesuatu yang menyebabkan goncangan keamanan, pertumpahan darah, kerusakan harta atau pelampauan batas dengan berbagai bentuknya. Semua ini dinamakan irhâb.
(Allah) Ta’âla berfirman,
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian meng-irhâb (teror) musuh Allah dan musuh kalian”. (QS. Al-Anfâl : 60).
Yakni hal itu menyebabkan ketakutan pada mereka dan pengurungan keinginan mereka (yang tidak baik) terhadap kaum muslimin dan hal lainnya. Inilah maknanya secara istilah.
Berangkat dari keterangan di atas tampak bagi kita bahwa Al-Irhâb kadang boleh dan kadang haram.
Al-Irhâb beraneka ragam hukumnya tergantung dari maksudnya. Keberadaan kita mempersiapkan diri, menambah kekuatan, latihan senjata (militer), membuat senjata dan menyiapkan kekuatan yang membuat irhâb terhadap musuh sehingga tidak lancang terhadap kita, agama, aqidah dan individu-individu umat. Ini adalah perkara yang dituntut (diinginkan) keberadaannya pada kaum muslimin. Maka tidak pantas bagi kaum muslimin untuk dilalaikan oleh Al-Lahwu (perkara tidak bermanfaat), perhiasan dan gemerlapnya kehidupan sehingga lengah dari maksud dan sasaran musuh-musuh mereka. Bahkan wajib bagi mereka untuk memiliki kekuatan sebagaimana firman Allah,
“Kamu meng-irhâb (teror) musuh Allah dan musuh kalian”. (QS. Al-Anfâl : 60).
Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ
“Saya ditolong dengan Ar-Ru’bi (timbulnya rasa takut/gentar pada musuh) selama perjalanan satu bulan”. [8]
Inilah Al-Irhâb yang disyari’atkan.
Adapun Al-Irhâb yang terlarang adalah apa yang dikerjakan oleh pelaku (irhâb) ini dengan cara mendatangi orang-orang yang dalam keadaan aman, tentram dan lapang yang tidak mempunyai urusan dengan masalah kekuatan, peperangan dan kezholiman, lalu disergap secara tiba-tiba dengan pembunuhan, perusakan harta benda, menimbulkan berbagai macam ketakutan atau selain itu, baik dari kalangan orang kafir atau dari kalangan kaum muslimin. Diperkecualikan darinya apa yang terjadi antara negara muslim dan negara harby. Kalau negara (muslim) memerangi negara kafir dan tidak ada antara keduanya mu’âhad atau hilif (perjanjian) dan antara keduanya ada peperangan dan saling menyerang secara tiba-tiba, maka dalam keadaan ini (boleh) bagi kaum muslimin untuk melakukan apa yang dengannya bisa mengalahkan musuh mereka, dan menahan musuh dan kezholimannya, mengembalikan harta benda mereka, menjaga bumi dan kehormatan mereka dan selainnya. Semua ini dianggap perkara yang boleh. Adapun apa yang berkaitan dengan irhâb terhadap orang-orang yang aman dan lengah dari laki-laki dan perempuan kaum muslimin, orang-orang kafir dan selain mereka, maka mereka itu tidak boleh diserang secara tiba-tiba khususnya kalau antara kaum muslimin dan bangsa-bangsa (kafir) ini ada mu’âhad, hilif dan selain itu.”
Tersimpul dari keterangan Syaikh Shôlih bin Ghônim As-Sadlân di atas bahwa Al-Irhâb (terorisme) terbagi dua[9] :
Satu : Al-Irhâb yang disyari’atkan. Yaitu keberadaan umat Islam mempersiapkan diri, menambah kekuatan, latihan senjata (militer), membuat senjata dan menyiapkan kekuatan yang membuat irhâb terhadap musuh sehingga tidak lancang terhadap mereka, agama, aqidah dan individu-individu umat. Dan terorisme dengan makna ini adalah suatu hal yang wajar menurut pandangan setiap orang yang berakal sehat dalam menciptakan keamanan dan kesejahteraan manusia. Dan bukanlah ini makna terorisme yang ramai dibicarakan saat ini. Karena sangat tidak layak kalau Islam dikaitkan dengan terorisme sedangkan nilai-nilai Islam yang agung nan luhur sangat bertolak belakang dengan terorisme itu sendiri.
Dua : Terorisme tercela. Inilah terorisme yang telah kita uraikan tentang definisinya dan maksud pembahasan dalam tulisan ini.
Namun perlu kami ingatkan disini, bahwa musuh-musuh Islam sengaja melancarkan isu-isu terorisme dan berusaha untuk mengaitkan Islam dengan terorisme secara langsung maupun tidak langsung, dan mereka mempunyai maksud dan makar yang sangat besar di belakang hal tersebut, yaitu misi menyamarkan prinsip-prinsip Islam yang agung sekaligus meruntuhkannya, menutup pintu dakwah di jalan Allah dalam rangka penyebaran Islam yang membawa rahmat bagi semesta alam, memerangi Islam dan kaum muslimin dengan jalan yang jelek dan menjijikkan, dan membuat manusia takut dan lari dari ajaran Islam.
Perhatikan bagaimana mereka menjelekkan syari’at jihad, dan cermati bagaimana mereka meronrong keyakinan kaum muslimin dalam hal Al-Walâ` wal Barô` (Loyalitas untuk Islam dan kaum muslimin, kebencian dan berlepas diri dari kekafiran dan penganutnya) dan mereka menyangka bahwa tuntunan-tuntunan itu adalah sumber terorisme!
Demi Allah, sungguh mereka telah berdusta dalam hal ini, seluruh prinsip-prinsip Islam sangat agung dan mulia membawa kebaikan dan rahmat bagi semesta alam.
Dan sangat disayangkan bahwa sebagian kaum muslimin termakan oleh makar-makar para musuh tersebut sehingga mereka menjelekkan agama mereka sendiri. Dan juga seperti biasanya, hal tersebut sangat dimanfaatkan oleh kaum munafiqin yang telah sekian lama mengintai sasaran-sasaran tepat pada kaum muslimin.
Kerahkanlah seluruh makar kalian, sungguh agama Allah akan tetap jaya dan dijayakan,
“Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang.” (QS. Ash-Shaffât : 171-173)
[1] Al-Irhâb Ad-Duwaly karya DR. Muhammad ‘Azîz Syukry hal. 21 dengan perantara kitab Haqiqutul Irhâb karya DR. Muthî’ullah Al-Harby hal. 13-14.
[2] Al-Irhâb Yu`assisu Daulah karya DR. Haitsam Al-Kailâny hal. 17 dengan perantara kitab Haqiqutul Irhâb karya DR. Muthî’ullah Al-Harby hal. 7.
[3]Al-Irhâb Yu`assisu Daulah karya DR. Haitsam Al-Kailâny hal. 51 dengan perantara kitab Haqiqutul Irhâb karya DR. Muthî’ullah Al-Harby hal. 7.
[4] Bagian pertama dari kesepakatan bangsa-bangsa Arab menghadapi terorisme. Baca Al-Irhâb Fii Mîzân Asy-Syarî’ah karya DR. ‘Âdil ‘Abdul Jabbâr hal. 20, Al-Irhâb Mazhôhiruhu wa Asykâluhu karya Prof. DR. Muhammad Al-Husainy hal. 8 dan Haqiqutul Irhâb karya DR. Muthî’ullah Al-Harby hal. 8.
[5] Bayân Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah fil Azhar bisya`ni zhohiratil Irhâb 1422H.
[7] Definisi yang disebutkan oleh Syaikh Sulthôn, beliau bahasakan dari definisi yang disebutkan oleh guru kami, Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhly hafizhohullâh dalam kitab beliau Al-Irhâb Wa Âtsâruhu ‘Alal Afrôdi Wal Umam (Terorisme dan dampaknya terhadap individu dan umat) hal. 10.
[8] Hadits Jâbir bin ‘Abdillah radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry no. 335, 438, Muslim no. 521, An-Nasâ`i 1/209. Dan dikeluarkan pula oleh Al-Bukhâry no. 2977, 6998, 7013, 7273, Muslim no. 523, An-Nasâ`i 6/3-4 dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu. Dan maksud dari hadits di atas adalah bahwa yang termasuk salah satu ciri khas Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam dan umatnya adalah ditimbulkannya rasa takut/gentar pada musuh-musuhnya ketika pasukan kaum muslimin masih berada dalam jarak perjalanan satu bulan dari mereka. –pen.
[9] Demikian pula dibagi dua dalam kitab Al-Irhâb wal ‘Unfu wat Tatharruf Fii Mîzânisy Syar’i hal. 9 karya DR. Isma’il Luthfi dan kitab Al-Judzûr At-Târikhiyah lihaqiqatil Guluwwi wat Tatharruf wal Irhâb wal ‘Unfi hal. 9-10 karya DR. ‘Ali bin ‘Abdul ‘Azîz Asy-Syibl dan lain-lainnya.
Kejadian-kejadian dan aksi-aksi terorisme yang tengah menimpa manusia sangatlah banyak dan beraneka ragam sesuai dengan kondisi dan keadaan yang diharapkan oleh para pelakunya guna meraih sasaran dan target mereka.
Namun menurut catatan sejarah dan berbagai kejadian yang melanda umat saat ini bahwa seluruh kejadian dan aksi tersebut tidaklah keluar dari dua perkara,
Pertama : Terorisme fisik. Yaitu peristiwa-peristiwa yang sekarang menjadi puncak sorotan manusia; peledakan, pemboman, penculikan, bom bunuh diri, pembajakan dan seterusnya.
Berbagai kejadian pahit dari terorisme fisik ini telah telah tercatat dalam sejarah.
Pebunuhan Khalifah yang mulia, ‘Umar bin Khaththâb Al-Fârûq radhiyallâhu ‘anhu oleh seorang Majûsi, Abu Lu`luah adalah salah satu bentuk terorisme yang rendah dan hina.
Pembunuhan Khalifah yang mulia, ‘Ustmân bin ‘Affân Dzun Nurain radhiyallâhu ‘anhu oleh gerombolan Khawarij dengan propokasi dari pendiri agama syi’ah, ‘Abdullah bin Saba’, -seorang Yahûdi yang berpura-pura masuk Islam-, juga termasuk bentuk terorisme yang terkutuk.
Dan tidaklah luput dari catatan sejarah terorisme fisik yang dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Muljim dalam membunuh Khalifah yang mulia, ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallâhu ‘anhu adalah suatu perbuatan yang keji dan bejat.
Dan berbagai kejadian tercatat hingga zaman kita ini.
Kedua : Terorisme ideologi (pemikiran/pemahaman). Dan terorisme jenis ini jauh lebih berbahaya dari terorisme fisik. Sebab seluruh bentuk terorisme fisik yang terjadi bersumber dari dorongan ideologi para pelakunya, baik itu dari kalangan orang-orang kafir yang merupakan sumber terorisme di muka bumi ini, atau dari kalangan kaum muslimin yang telah menyimpang pemikirannya dari jalan Islam yang benar. Insya Allah kami akan membahas tuntas hal ini dalam pembahasan sebab-sebab munculnya terorisme yang akan datang dan juga dalam beberapa catatan yang berkaitan dengan sebagian pemikiran Imam Samudra.
Maka perang terhadap terorisme harus ditegakkan dalam dua perkara,
Perang secara fisik. Dan tentunya ini adalah tugas pihak yang berwenang. Dan wajib atas kaum muslimin yang mengetahui keberadaan para teroris tersebut untuk kerjasama dengan pihak yang berwenang dalam rangka tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan dan sebagai upaya untuk menjaga keamanan manusia. Berkata Syaikh DR. Shôlih bin Sa’ad As-Suhaimy hafizhohullâh, “Wajib atas kaum muslimin -setiap orang sesuai dengan kemampuannya- untuk menyingkap kejelekan mereka (yaitu para pelaku terorisme, -pent.) dan menjelaskan kesesatan mereka sehingga kerusakan mereka tidak tersebar dan perkara mereka tidak semakin rumit. Dan diharamkan untuk menutup-nutupi (keberadaan) salah seorangpun dari mereka, karena hal tersebut termasuk tolong menolong dalam dosa dan permusuhan, sedangkan Allah Tabâraka wa Ta’âlâ telah berfirman,
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Ash-Shaffât : 171-173)
Maka siapa yang melindungi mereka, menutup-nutupi (keberadaan) mereka, membela mereka, atau membenarkan perbuatan-perbuatan mereka, sungguh ia telah berserikat dengan mereka dalam membunuh jiwa yang tidak berdosa lagi terjaga dari kalangan kaum muslimin, kafir musta`man, mu’âhad dan dzimmy. Telah tercakup padanya hadits yang telah tsâbit (syah, tetap) dari Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam,
لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا
“Allah melaknat siapa yang melindungi orang yang mengada-adakan perkara baru dalam agama (bid’ah).” [1]
Perang secara ideologi. Yaitu dengan menjelaskan segala pemikiran menyimpang dan menyempal dari tuntunan yang benar. Sebab ideologi-ideologi tersebut merupakan cikal bakal munculnya teror fisik dan apabila tidak diberantas akan senantiasa menjadi ancaman serius di masa mendatang.
[1] Demikian ucapan beliau kami kutip dari ceramah beliau yang berjudul “Al-Irhâb, Asbâbuhu wa ‘Ilâjuhu wa Mauqiful Muslim Minal Fitan”. Dan hadits yang beliau sebutkan dengan konteks di atas adalah hadits ‘Ali bin Abi Thôlib radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim no. 1978 dan An-Nasâ`i 7/232.
Tidaklah diragukan bahwa siapa yang membaca dan memahami pembahasan-pembahasan yang telah lalu seputar keindahan Islam dan tuntunan syari’at dalam masalah jihad, maka ia akan dapat menarik kesimpulan pasti dan meyakinkan bahwa terorisme dengan makna yang banyak dibicarakan saat ini adalah sesuatu hal yang diharamkan dan tercela dalam pandangan syari’at Islam.
Bagaimana mungkin agama kita membolehkan terorisme sementara nash-nash dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah menjelaskan bahwa Islam sangat menegakkan keamanan dan menyeru manusia untuk mengadakan perbaikan dan melarang dari berbuat kerusakan di muka bumi.
Terorisme yang dasarnya adalah keseweng-wenangan terhadap manusia sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip agama yang dibangun di atas keadilan.
Dan terorisme yang sifatnya kekerasan, menghancurkan, merusak, dst… sangatlah bertolak belakang dengan syari’at Islam yang penuh rahmat dan kebaikan bagi manusia.
Karena itu hukum Islam terhadap pelaku terorisme sangatlah keras dan tegas. Perhatikan hukum Islam tersebut diterangkan dalam keputusan Majelis Hai‘ah Kibâr ‘Ulama (Lembaga Ulama Besar) No.148 tanggal 12/1/1409 H (9/5/1998 M) yang dimuat oleh majalah Majma’ Al-Fiqh Al-Islâmy edisi 2 hal.181 dan majalah Al-Buhûts Al-Islâmiyah edisi 24 hal.384-387, dengan persetujuan dan tanda tangan para anggota majelis seperti Syaikh Ibnu Bâzz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn, Syaikh ‘Abdul ‘Azîz Âlu Asy-Syaikh, Syaikh Shôlih Al-Fauzân, Syaikh Shôlih Al-Luhaidân dan 12 anggota yang lainnya.
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ أَجْمَعِيْنَ ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنِ اهْتَدَى بِهَدْيِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ . وَبَعْدُ:
Majelis Hai`ah Kibâr ‘Ulama dalam sidangnya yang ke-32 yang diselenggarakan di kota Thâ`if dari tanggal 8-12/1/1409 H, berdasarkan bukti-bukti yang kuat berkaitan dengan banyaknya aksi-aksi perusakan yang telah menelan korban yang sangat banyak dari kalangan orang-orang yang tidak berdosa dan telah rusak karenanya (sesuatu yang) banyak dari harta benda, hak-hak milik maupun fasilitas-fasilitas umum baik di negeri-negeri Islam maupun yang di negeri lain yang dilakukan oleh orang-orang yang lemah atau hilang imannya dari orang-orang yang memiliki jiwa yang sakit dan dendam. Diantaranya menghancurkan rumah-rumah dan membakarnya baik tempat-tempat umum maupun yang khusus, menghancurkan jembatan-jembatan dan terowongan-terowongan, peledakan pesawat atau membajaknya. Melihat kejadian-kejadian seperti ini, beberapa negara baik yang dekat maupun yang jauh dan karena Arab Saudi sama seperti negara-negara lainnya, memiliki kemungkinan akan diserbu oleh aksi-aksi perusakan ini, maka Majelis Hai`ah Kibâr ‘Ulama melihat sangat pentingnya menetapkan hukuman bagi pelakunya sebagai langkah preventif untuk mencegah orang-orang dari melakukan gerakan perusakan, baik gerakan tersebut dilakukan terhadap tempat-tempat umum dan sarana-sarana milik pemerintah maupun ditujukan kepada yang lainnya dengan tujuan untuk merusak dan mengganggu keamanan dan ketentraman.
Majelis telah meneliti apa yang disebutkan oleh para ulama bahwa hukum-hukum syari’at secara umum mewajibkan untuk menjaga 5 perkara pokok dan memperhatikan sebab-sebab yang menjaga kelestarian dan keselamatannya, yaitu : agama, jiwa, kehormatan, akal dan harta. Dan Majelis telah memperoleh gambaran akan bahaya-bahaya yang sangat besar yang timbul akibat Jarîmah (perbuatan keji) pelampauan batas terhadap Hurumât (hak-hak suci) kaum muslimin pada jiwa, kehormatan dan harta mereka dan apa-apa yang disebabkan oleh aksi-aksi perusakan ini berupa hilangnya rasa keamanan umum dalam negara, timbulnya kekacauan dan kegoncangan dan membuat takut kaum muslimin pada dirinya maupun harta bendanya.
Allah ‘Azza wa Jalla menjaga manusia; agama, badan, jiwa, kehormatan, akal dan harta bendanya dengan disyari’atkannya hudûd (hukum-hukum ganjaran) dan uqûbah (hukuman balasan) yang akan menciptakan keamanan secara umum dan khusus.
Dan di antara yang menjelaskan hal tersebut adalah firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa : barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya”. (QS. Al-Mâ`idah : 32).
Dan firman-Nya Subhânahu wa Ta’âlâ,
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik (secara bersilangan), atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan bagi mereka di akhirat siksaan yang besar”. (QS. Al-Mâ`idah : 33).
Dan penerapan hal tersebut merupakan jaminan untuk meratakan (menyebarkan) rasa aman dan ketentraman dan mencegah orang yang akan menjerumuskan dirinya dalam perbuatan dosa dan melampaui batas tehadap kaum muslimin pada jiwa-jiwa dan harta benda mereka. Dan jumhûr (kebanyakan) ulama berpendapat bahwasanya hukum muhârabah (memerangi pembuat kerusakan) di kota-kota dan selainnya adalah sama, dengan dalil firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,
“Dan berupaya membuat kerusakan di muka bumi”. (QS. Al-Mâ`idah : 64)
Dan Allah Ta’âlâ berfirman,
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan membinasakan tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai perusakan”. (QS. Al-Baqarah : 204-205).
Dan (Allah) Ta’âlâ berfirman,
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya”.(QS. Al-A’râf : 56,85).
Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu Ta’âlâ, “(Allah) telah melarang membuat kerusakan di muka bumi dan apa-apa yang membahayakannya setelah diperbaikinya karena sesungguhnya apabila perkara-perkara berjalan di atas As-Sadâd (lurus dan baik) kemudian terjadi kerusakan setelah itu maka itu adalah sesuatu yang paling berbahaya atas para hamba maka (Allah) Ta’âlâ melarang hal tersebut”.
Dan berkata Al-Qurthuby, “(Allah) Subhânahu wa Ta’âlâ melarang setiap kerusakan sedikit maupun banyak setelah perbaikan yang sedikit maupun banyak maka hal ini (berlaku) secara umum menurut (pendapat) yang benar dari berbagai pendapat (yang ada)”.
Berdasarkan penjelasan di atas dan karena apa yang telah lalu penjelasannya melampaui perbuatan-perbuatan para perusak, yang mereka itu memiliki target-target khusus, dimana mereka mengejar hasilnya berupa harta benda atau kehormatan, dan karena sasaran mereka (para pelaku teror itu,-pent.) adalah mengganggu keamanan dan merobohkan bangunan umat dan membongkar aqidahnya dan melencengkannya dari manhaj Rabbâny (manhaj yang haq), maka majelis dengan sepakat memutuskan (hal-hal) sebagai berikut :
Pertama : Siapa yang terbukti secara syar’i melakukan suatu perbuatan dari perbuatan-perbuatan terorisme dan membuat kerusakan di muka bumi yang menyebabkan gangguan keamanan dan menganiaya jiwa-jiwa dan harta benda baik milik khusus maupun yang milik umum seperti menghancurkan rumah-rumah, mesjid-mesjid, sekolah-sekolah atau rumah sakit, pabrik-pabrik, jembatan-jembatan, gudang-gudang senjata, penampungan-penampungan air, fasilitas-fasilitas umum untuk baitul mal seperti saluran-saluran/pipa-pipa minyak, dan menghancurkan pesawat atau membajaknya dan yang semacamnya, maka hukumannya adalah dibunuh berdasarkan kandungan ayat-ayat di atas bahwasanya perusakan di muka bumi yang seperti ini mengharuskan penumpahan darah si perusak. Dan karena bahaya dan kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan perusakan adalah lebih besar dari bahaya dan kerusakan pembegal jalanan yang melampaui batas kepada seseorang lalu membunuh dan merampas hartanya, maka Allah telah menetapkan hukumannya dalam apa yang tersebut dalam ayat Al-Harabah (QS. Al-Mâ`idah : 33 di atas,-pent.).
Kedua : Bahwasanya sebelum menjatuhkan hukuman sebagaimana point di atas (yaitu dibunuh-pent.), harus menyempurnakan Al-Ijrâ`ât (urusan, administrasi) pembuktian yang lazim di Pengadilan-pengadilan syari’at, Hai‘ah At-Tamyîz dan Mahkamah Agung dalam rangka barâ`atun lidzdzimmah (pertanggungjawaban di hadapan Allah) dan kehati-hatian terhadap nyawa. Dan untuk menunjukkan bahwasanya negeri ini (Arab Saudi,-pent.) terikat dengan segala ketentuan syari’at untuk membuktikan kejahatan dan menetapkan hukumannya.
Ketiga : Majelis memandang perlunya memberitakan tentang hukuman ini melalui media massa.
Salam dan shalawat semoga senantiasa terlimpahkan kepada hamba dan Rasul-Nya, Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga dan shahabatnya.
Majelis Hai‘ah Kibâr ‘Ulama