Ditulis oleh MUSLIM di/pada April 22, 2010
oleh : Dr. Attabiq Luthfi, MA
“…Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya“. Al-Ma’idah:2
Ayat ini merupakan penutup dari pembicaraan ayat yang cukup panjang yang memuat beberapa hukum Allah swt dalam bentuk larangan; janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang hadyi dan binatang-binatang qalaa‘id, jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah untuk mencari kurnia dan ridha Allah, dan terakhir janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka) sehingga bisa difahami bahwa hukum Allah tidak akan mungkin ditegakkan sendiri-sendiri tanpa kerjasama dari seluruh pihak (ta’awun).
Karena ayat ini juga berada sebelum ayat yang terakhir kali turun, yaitu ayat “Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu, dan telah Kusempurnakan juga nikmatKu atasmu dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu“, maka berarti kandungan ayat ini merupakan pesan terakhir Allah swt kepada seluruh hamba-Nya.
Yang menarik bahwa redaksi seperti ayat ini “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa” ternyata hanya tersebut sekali dalam Al-Qur’an, sehingga ayat ini harus difahami dalam konteks umum; umum dari segi sasarannya dan umum dari segi jenis kebaikan yang dituntutnya.
Sungguh sebuah pesan universal dari Islam yang merupakan karakter dan fitrah dasarnya sebagai Rahmatan lil Alamin.
Ibnu Katsir memahami makna umum ayat ini berdasarkan redaksinya tolong menolonglah kalian bahwa Allah swt memerintahkan semua hamba-Nya agar senantiasa tolong menolong dalam melakukan kebaikan-kebaikan yang termasuk kategori Al-Birr dan mencegah dari terjadinya kemungkaran sebagai realisasi dari takwa. Sebaliknya Allah swt melarang mendukung segala jenis perbuatan batil yang melahirkan dosa dan permusuhan.
Selanjutnya Ibnu Katsir mengetengahkan dua hadits untuk memperkuat dan menjelaskan ayat ini, yaitu:
Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang berbunyi, “Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas perlakuan mereka adalah lebih baik dan besar pahalanya daripada mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas perilaku mereka” (Imam Ahmad).
Kedua, hadits yang menyebutkan tentang perintah menolong siapapun, baik yang terzhalimi maupun yang menzhalimi. Rasulullah saw bersabda, “Tolonglah saudaramu yang menzhalimi dan yang terzhalimi”. Maka para sahabat bertanya, “Menolong yang terzhalimi memang kami lakukan, tapi bagaimana menolong orang yang berbuat zhalim?”. Rasulullah menjawab, “Mencegahnya dari terus menerus melakukan kezhaliman itu berarti engkau telah menolongnya”. (Bukhari dan Ahmad).
Senada dengan Ibnu Katsir, keumuman maksud ayat difahami juga oleh Imam As-Sa’di. Beliau mendefinisikan Al-Birr yang diperintahkan oleh Allah swt untuk bekerjasama menghadirkannya adalah segala bentuk perbuatan yang dicintai dan diridhoi Allah swt, baik perbuatan lahir maupun batin, perbuatan yang terkait dengan hak-hak Allah swt maupun hak sesama manusia.
Sedangkan itsmi adalah seluruh bentuk perbuatan yang dibenci oleh Allah swt. dan Rasul-Nya, dari perbuatan yang lahir maupun yang batin.
Secara redaksional juga, Allah swt memadukan dalam ayat ini antara perintah dan laranganNya “tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan dengan mendahulukan konsep tahliyah ‘hiasan akhlak yang mulia’ yang berupa ta’awun (kerjasama) dalam kebaikan dan takwa atas konsep takhliyah ‘pelepasan akhlak yang buruk’ dalam bentuk membebaskan diri dari perilaku ta’awun atas dosa dan permusuhan adalah untuk memperkuat sisi ta’awun dalam kebaikan sehingga senantiasa mewarnai dan dominan di tengah masyarakat. Karena demikian, perilaku sebaliknya tidak akan muncul di tengah-tengah masyarakat.
Dengan mendahulukan perintah ta’awun sebelum larangan-Nya juga menurut Abu Su’ud adalah karena yang diinginkan dari larangan ta’awun dalam dosa adalah hadirnya ta’awun dalam kebaikan, sehingga bukan sekadar tidak wujudnya ta’awun dalam dosa, tetapi lebih dari itu, akan senantiasa hadir bentuk ta’awun dalam segala jenis kebaikan dan takwa.
Dalam pandangan Al-Mawardi seperti yang dinukil oleh Al-Qurthubi bahwa perintah ta’awun untuk menghadirkan kebaikan dan ketakwaan di tengah-tengah manusia merupakan sebuah perintah yang memiliki korelasi dengan prinsip ‘hablum minallah dan hablum minannas’; ta’awun dalam kebaikan yang bersifat umum merupakan sarana untuk menjaga hubungan baik dengan manusia, sedangkan ta’awun dalam takwa merupakan sarana untuk meraih ridha Allah swt. Sehingga tidak sempurna jika ta’awun itu hanya dalam Al-Birr, tetapi harus diteruskan dalam konteks takwa juga.
Lebih rinci Asy-Syaukani melihat korelasi petikan ayat ini dengan sebelumnya yang berbicara tentang larangan menimbulkan permusuhan bahwa untuk menghilangkan permusuhan memang harus dibangun melalui komitmen bersama untuk saling tolong menolong dan kerjasama dalam segala bentuk amal kebaikan dan takwa. Menurut beliau Al-Bir dan At-Taqwa memiliki arti yang sama, penyebutan keduanya dalam ayat ini hanya untuk penguatan “ta’kid”.
Sedangkan menurut Ibnu Athiyah, Al-Birr dan At-Taqwa keduanya hanya dibedakan berdasarkan kategorinya saja; Al-Birr mencakup perbuatan yang wajib dan sunnah sedangkan At-Taqwa khusus pada perbuatan yang wajib.
Sementara itu, Al-Mawardi membedakan keduanya berdasarkan tujuannya; Al-Birr tujuannya untuk mendapat ridha manusia, sedangkan At-Taqwa untuk meraih ridho Allah swt. Dan mereka yang mampu memadukan keduanya, maka sempurnalah kebahagiaan dan kenikmatannya.
Konsep Ta’awun yang diperintahkan Allah swt melalui ayat di atas sesungguhnya akan memudahkan pekerjaan, memperluas wilayah maslahat dan menampilkan persatuan dan keutuhan umat.
Dan perintah ini difahami oleh Ibnu ‘Asyur bersifat umum dan tidak terbatas dengan siapapun, sampai dengan non muslim sekalipun, selama itu dalam konteks Al-Birr (kebaikan), karena kebaikan adalah milik semua manusia. Apalagi kemudian pada realitasnya upaya Al-I’tida’ atau permusuhan biasanya dilakukan dengan bentuk ta’awun juga, maka dalam ayat ini Allah swt perintahkan agar ta’awun itu diarahkan pada hal-hal yang positif berupa kebaikan dan meningkatkan takwa manusia, bukan sebaliknya.
Bentuk ta’awun secara aplikatif, dijabarkan oleh Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya. Beliau menyebutkan sebagai contoh misalnya beberapa bentuk ta’awun yang bisa dilakukan berdasarkan ayat ini, diantaranya: seorang alim membantu manusia dengan ilmunya, seorang yang kaya membantu orang lain dengan hartanya, seorang yang berani membantu dengan keberaniannya berjuang di jalan Allah swt dan begitu seterusnya. Masing-masing membantu orang lain sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya.
Inilah puncak dari akhlak yang mulia yang dikehendaki melalui ayat ini.
Sayyid Quthb menyebutkan bahwa akhlak ayat ini merupakan puncak dari pengendalian diri dan lapang dada seorang muslim terhadap saudaranya dan terhadap siapapun.
Sejarah membuktikan bahwa pola pembinaan Rasulullah mampu menghantarkan orang Arab berakhlak dengan akhlak ini, padahal sebelumnya yang menjadi kebiasaan mereka justru tolong menolong dan kerjasama dalam kebatilan, kemaksiatan dan permusuhan antar sesama atas nama “ashabiyah (fanatisme)”.
Demikianlah akhlak mulia yang semestinya menjadi warna keseharian umat Islam. Apalagi dalam konteks sekarang, membangun hubungan kerjasama dan koalisi dengan siapapun dalam kerangka menegakkan kebaikan “Al-Birr” merupakan satu keniscayaan, karena keterbatasan dan ketidak mampuan kita, demikian juga karena besar dan luasnya tanggung jawab kita terhadap penegakkan hukum-hukum Allah swt.
Sungguh konsep ta’awun yang ditawarkan oleh Allah swt. melalui ayat ini akan mampu meredam dan membendung derasnya arus kemaksiatan dan permusuhan yang juga dibangun dengan prinsip ta’awun yang solid dan berkesinambungan.
Saatnya kita mulai mengasah sensitifitas kerjasama di antara kita dalam menghadirkan kebaikan dan keberkahan di tengah bangsa ini.
Semoga Allah swt meridhai segala usaha kita untuk mengaplikasikan ayat ini dalam bentuk ta’awun yang riil dalam kehidupan sehari-hari. Allahu alam[Dakwatuna]
“…Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya“. Al-Ma’idah:2
Ayat ini merupakan penutup dari pembicaraan ayat yang cukup panjang yang memuat beberapa hukum Allah swt dalam bentuk larangan; janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang hadyi dan binatang-binatang qalaa‘id, jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah untuk mencari kurnia dan ridha Allah, dan terakhir janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka) sehingga bisa difahami bahwa hukum Allah tidak akan mungkin ditegakkan sendiri-sendiri tanpa kerjasama dari seluruh pihak (ta’awun).
Karena ayat ini juga berada sebelum ayat yang terakhir kali turun, yaitu ayat “Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu, dan telah Kusempurnakan juga nikmatKu atasmu dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu“, maka berarti kandungan ayat ini merupakan pesan terakhir Allah swt kepada seluruh hamba-Nya.
Yang menarik bahwa redaksi seperti ayat ini “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa” ternyata hanya tersebut sekali dalam Al-Qur’an, sehingga ayat ini harus difahami dalam konteks umum; umum dari segi sasarannya dan umum dari segi jenis kebaikan yang dituntutnya.
Sungguh sebuah pesan universal dari Islam yang merupakan karakter dan fitrah dasarnya sebagai Rahmatan lil Alamin.
Ibnu Katsir memahami makna umum ayat ini berdasarkan redaksinya tolong menolonglah kalian bahwa Allah swt memerintahkan semua hamba-Nya agar senantiasa tolong menolong dalam melakukan kebaikan-kebaikan yang termasuk kategori Al-Birr dan mencegah dari terjadinya kemungkaran sebagai realisasi dari takwa. Sebaliknya Allah swt melarang mendukung segala jenis perbuatan batil yang melahirkan dosa dan permusuhan.
Selanjutnya Ibnu Katsir mengetengahkan dua hadits untuk memperkuat dan menjelaskan ayat ini, yaitu:
Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang berbunyi, “Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas perlakuan mereka adalah lebih baik dan besar pahalanya daripada mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas perilaku mereka” (Imam Ahmad).
Kedua, hadits yang menyebutkan tentang perintah menolong siapapun, baik yang terzhalimi maupun yang menzhalimi. Rasulullah saw bersabda, “Tolonglah saudaramu yang menzhalimi dan yang terzhalimi”. Maka para sahabat bertanya, “Menolong yang terzhalimi memang kami lakukan, tapi bagaimana menolong orang yang berbuat zhalim?”. Rasulullah menjawab, “Mencegahnya dari terus menerus melakukan kezhaliman itu berarti engkau telah menolongnya”. (Bukhari dan Ahmad).
Senada dengan Ibnu Katsir, keumuman maksud ayat difahami juga oleh Imam As-Sa’di. Beliau mendefinisikan Al-Birr yang diperintahkan oleh Allah swt untuk bekerjasama menghadirkannya adalah segala bentuk perbuatan yang dicintai dan diridhoi Allah swt, baik perbuatan lahir maupun batin, perbuatan yang terkait dengan hak-hak Allah swt maupun hak sesama manusia.
Sedangkan itsmi adalah seluruh bentuk perbuatan yang dibenci oleh Allah swt. dan Rasul-Nya, dari perbuatan yang lahir maupun yang batin.
Secara redaksional juga, Allah swt memadukan dalam ayat ini antara perintah dan laranganNya “tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan dengan mendahulukan konsep tahliyah ‘hiasan akhlak yang mulia’ yang berupa ta’awun (kerjasama) dalam kebaikan dan takwa atas konsep takhliyah ‘pelepasan akhlak yang buruk’ dalam bentuk membebaskan diri dari perilaku ta’awun atas dosa dan permusuhan adalah untuk memperkuat sisi ta’awun dalam kebaikan sehingga senantiasa mewarnai dan dominan di tengah masyarakat. Karena demikian, perilaku sebaliknya tidak akan muncul di tengah-tengah masyarakat.
Dengan mendahulukan perintah ta’awun sebelum larangan-Nya juga menurut Abu Su’ud adalah karena yang diinginkan dari larangan ta’awun dalam dosa adalah hadirnya ta’awun dalam kebaikan, sehingga bukan sekadar tidak wujudnya ta’awun dalam dosa, tetapi lebih dari itu, akan senantiasa hadir bentuk ta’awun dalam segala jenis kebaikan dan takwa.
Dalam pandangan Al-Mawardi seperti yang dinukil oleh Al-Qurthubi bahwa perintah ta’awun untuk menghadirkan kebaikan dan ketakwaan di tengah-tengah manusia merupakan sebuah perintah yang memiliki korelasi dengan prinsip ‘hablum minallah dan hablum minannas’; ta’awun dalam kebaikan yang bersifat umum merupakan sarana untuk menjaga hubungan baik dengan manusia, sedangkan ta’awun dalam takwa merupakan sarana untuk meraih ridha Allah swt. Sehingga tidak sempurna jika ta’awun itu hanya dalam Al-Birr, tetapi harus diteruskan dalam konteks takwa juga.
Lebih rinci Asy-Syaukani melihat korelasi petikan ayat ini dengan sebelumnya yang berbicara tentang larangan menimbulkan permusuhan bahwa untuk menghilangkan permusuhan memang harus dibangun melalui komitmen bersama untuk saling tolong menolong dan kerjasama dalam segala bentuk amal kebaikan dan takwa. Menurut beliau Al-Bir dan At-Taqwa memiliki arti yang sama, penyebutan keduanya dalam ayat ini hanya untuk penguatan “ta’kid”.
Sedangkan menurut Ibnu Athiyah, Al-Birr dan At-Taqwa keduanya hanya dibedakan berdasarkan kategorinya saja; Al-Birr mencakup perbuatan yang wajib dan sunnah sedangkan At-Taqwa khusus pada perbuatan yang wajib.
Sementara itu, Al-Mawardi membedakan keduanya berdasarkan tujuannya; Al-Birr tujuannya untuk mendapat ridha manusia, sedangkan At-Taqwa untuk meraih ridho Allah swt. Dan mereka yang mampu memadukan keduanya, maka sempurnalah kebahagiaan dan kenikmatannya.
Konsep Ta’awun yang diperintahkan Allah swt melalui ayat di atas sesungguhnya akan memudahkan pekerjaan, memperluas wilayah maslahat dan menampilkan persatuan dan keutuhan umat.
Dan perintah ini difahami oleh Ibnu ‘Asyur bersifat umum dan tidak terbatas dengan siapapun, sampai dengan non muslim sekalipun, selama itu dalam konteks Al-Birr (kebaikan), karena kebaikan adalah milik semua manusia. Apalagi kemudian pada realitasnya upaya Al-I’tida’ atau permusuhan biasanya dilakukan dengan bentuk ta’awun juga, maka dalam ayat ini Allah swt perintahkan agar ta’awun itu diarahkan pada hal-hal yang positif berupa kebaikan dan meningkatkan takwa manusia, bukan sebaliknya.
Bentuk ta’awun secara aplikatif, dijabarkan oleh Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya. Beliau menyebutkan sebagai contoh misalnya beberapa bentuk ta’awun yang bisa dilakukan berdasarkan ayat ini, diantaranya: seorang alim membantu manusia dengan ilmunya, seorang yang kaya membantu orang lain dengan hartanya, seorang yang berani membantu dengan keberaniannya berjuang di jalan Allah swt dan begitu seterusnya. Masing-masing membantu orang lain sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya.
Inilah puncak dari akhlak yang mulia yang dikehendaki melalui ayat ini.
Sayyid Quthb menyebutkan bahwa akhlak ayat ini merupakan puncak dari pengendalian diri dan lapang dada seorang muslim terhadap saudaranya dan terhadap siapapun.
Sejarah membuktikan bahwa pola pembinaan Rasulullah mampu menghantarkan orang Arab berakhlak dengan akhlak ini, padahal sebelumnya yang menjadi kebiasaan mereka justru tolong menolong dan kerjasama dalam kebatilan, kemaksiatan dan permusuhan antar sesama atas nama “ashabiyah (fanatisme)”.
Demikianlah akhlak mulia yang semestinya menjadi warna keseharian umat Islam. Apalagi dalam konteks sekarang, membangun hubungan kerjasama dan koalisi dengan siapapun dalam kerangka menegakkan kebaikan “Al-Birr” merupakan satu keniscayaan, karena keterbatasan dan ketidak mampuan kita, demikian juga karena besar dan luasnya tanggung jawab kita terhadap penegakkan hukum-hukum Allah swt.
Sungguh konsep ta’awun yang ditawarkan oleh Allah swt. melalui ayat ini akan mampu meredam dan membendung derasnya arus kemaksiatan dan permusuhan yang juga dibangun dengan prinsip ta’awun yang solid dan berkesinambungan.
Saatnya kita mulai mengasah sensitifitas kerjasama di antara kita dalam menghadirkan kebaikan dan keberkahan di tengah bangsa ini.
Semoga Allah swt meridhai segala usaha kita untuk mengaplikasikan ayat ini dalam bentuk ta’awun yang riil dalam kehidupan sehari-hari. Allahu alam[Dakwatuna]