Kategori Jalan Petunjuk | 16 Rabiul Awal 1430 H / 12-03-2009
Nilai-nilai Islam yang agung nan suci sangat tidak sejalan dengan perbuatan zholim, khianat dan melanggar janji. Karena kezholiman adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, dan khianat adalah tidak memenuhi amanah, dan melanggar janji adalah akhlak yang tercela menurut kesepakatan orang-orang yang berakal.
Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa, Yang menciptakan seluruh makhluk, telah mengharamkan perbuatan zholim atas diri-Nya. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Qudsi, Allah berfirman,
يَا عِبَادِيْ إِنِّيْ حَرَّمْتُ الظَّلْمَ عَلَى نَفْسِيْ وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوْا
“Wahai segenap hambaku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan zholim atas diri-Ku dan Aku telah menjadikan hal tersebut sebagai perkara yang haram antara sesama kalian, maka janganlah kalian saling menzholimi.” [1]
Dan Allah Tabâraka wa Ta’âlâ mengingatkan,
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menzholimi hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushshulit : 46)
“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zholim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zholim kepada diri mereka sendiri.” (QS. Yûnus : 44)
“Sesungguhnya Allah tidak menzholimi seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” (QS. An-Nisâ` : 40)
“Allah tidaklah menzholimi mereka, akan tetapi merekalah yang menzholimi diri mereka sendiri.” (QS. Âli Imrân : 117)
Dan dalam berbagai nash, diterangkan bahwa perbuatan zholim tidak pernah membawa kebaikan bagi pelakunya di dunia maupun di akhirat.
Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam mengingatkan,
“Sesungguhnya Allah memberi tangguhan kepada orang yang zholim, hingga ketika Allah mengazabnya, ia tidak akan melepaskannya lagi. Kemudian beliau membaca firman-Nya “Dan begitulah azab Rabb-mu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.”. ” [2]
Dan beliau juga mengingatkan,
اتَّقُوا الظُّلْمَ، فَإنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Takutlah terhadap perbuatan zholim, sebab kezholiman adalah kegelapan di atas kegelapan pada hari kiamat.” [3]
Bahkan Allah Jalla wa ‘Azza menyatakan dalam berbagai ayat akan bahaya perbuatan zholim,
“Orang-orang yang berbuat zholim tidak ada seorang penolongpun baginya.” (QS. Al-Baqarah : 270, Âli Imrân : 192, Al-Mâ`idah : 72)
“Sesungguhnya orang-orang yang zholim itu tidak akan mendapat keberuntungan.” (QS. Al-An’âm : 6, 135, Yûsuf : 23, Al-Qashash : 37)
“Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zholim.” (QS. Al-Baqarah : 258, Âli Imrân : 86, At-Taubah : 19, 109, Ash-Shoff : 7, Al-Jumu’ah : 5)
“Orang-orang yang zholim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya.” (QS. Ghôfir : 18)
Dan betapa meruginya orang yang berbuat kezholiman pada hari kiamat,
“Dan tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada (Allah) Yang Hidup Kekal lagi senantiasa mengurus (makhluk-Nya). Dan sesungguhnya telah merugilah orang yang melakukan kezholiman.” (QS. Thôhâ : 111)
Tiada penyesalan yang bermanfaat dan tiada harta yang bisa menebus siksaan bagi pelaku kezholiman,
“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zholim menggigit dua tangannya, seraya berkata, “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.” Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab (ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur`ân ketika Al-Qur`ân itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia.” (QS. Al-Furqân : 27-29)“Dan sekiranya orang-orang yang zholim mempunyai apa yang ada di bumi semuanya dan (ada pula) sebanyak itu besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu dari siksa yang buruk pada hari kiamat. Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.” (QS. Az-Zumar : 47)
Dan perlu diketahui oleh seluruh kaum muslimin bahwa seluruh bentuk kezholiman, baik itu berupa kesyirikan, dosa dan maksiat yang merupakan kezholiman pada diri sendiri, atau dosa yang kaitannya antara sesama makhluk, seluruh bentuk kezholiman tersebut adalah termasuk hal yang mengancam sebuah bangsa maupun negara. Allah telah mengingatkan hal tersebut dalam beberapa ayat,
“Dan (penduduk) negeri itu telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zholim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka.” (QS. Al-Kahfi : 59)
“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang zholim yang telah Kami binasakan, dan Kami adakan sesudah mereka itu kaum yang lain (sebagai penggantinya).” (QS. Al-Anbiyâ` : 11)
“Dan tidak adalah Rabbmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezholiman.” (QS. Al-Qashash : 59)
“Berapa banyak kota yang Kami telah membinasakannya, yang penduduknya dalam keadaan zalim, maka (tembok-tembok) kota itu roboh menutupi atap-atapnya dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan serta istana yang tinggi.” (QS. Al-Hajj : 45)
Dan haram hukumnya untuk membela dan melindungi orang-orang yang berbuat kezholiman,
“Dan janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang zholim sehingga menyebabkan kalian disentuh api neraka.” (QS. Hûd : 113)
Adapun perbuatan khianat, ia adalah hal yang tercela dalam seluruh syari’at. Syari’at kita telah menjelaskan haram berbuat khianat dalam segala perkara, baik itu khianat terhadap sesama muslim ataupun khianat terhadap orang kafir yang terkait mu’amalat dengannya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian, sedang kalian mengetahui.” (QS. Al-Anfâl : 27)
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (QS. Al-Anfâl : 58)
“Dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat.” (QS. Yûsuf : 52)
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (QS. Al-Hajj : 38)
Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Tanda kemunafikan ada tiga; apabila bercerita ia dusta, apabila berjanji ia tidak menepatinya dan apabila diberi amanah ia berkhianat.” [4]
Dan Allah melarang untuk membela dan melindungi orang-orang yang berbuat khianat,
“Dan janganlah kamu menjadi pembela orang-orang yang khianat.” (QS. An-Nisâ` : 105)
“Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa.” (QS. An-Nisâ` : 107)
Dan akhlak mulia yang diperintah dalam syari’at Islam adalah menepati janji.
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (QS. Âli Imrân : 76)
“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isrô : 34)
“Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Mukminûn : 8, Al-Ma’ârij : 3)
Dan perbuatan melanggar janji (ghodar) adalah dosa yang sangat besar dalam syari’at. Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا ائْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Empat perkara, siapa yang terdapat padanya empat perkara ini, maka ia adalah munafik murni, dan siapa yang terdapat padanya salah satu darinya, maka padanya ada satu ciri kemunafikan; apabila diberi amanah ia berkhianat, apabila bercerita ia berdusta, apabila membuat janji ia ghodar dan apabila berdebat ia curang.” [5]
Dan dalam hadits lain,
يُرْفَعُ لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ القِيَامَةِ يُقَالُ هَذِهِ غَدْرَةُ فُلاَنٍ
“Diangkat bagi setiap orang yang ghodar bendera pada hari kiamat, dikatakan : “Inilah ghodarnya si fulan”. [6]
Demikianlah para pembaca sekalian, kami tekankan prinsip haramnya perbuatan zholim, khianat dan melanggar janji ini, karena prinsip ini termasuk hal yang banyak dilalaikan oleh sebagian orang di masa ini. Hendaknya prinsip Islam yang agung ini senantiasa terpatri dalam sanubari setiap muslim, dan dalam pembahasan-pembahasan yang akan datang, akan nampak jelas besarnya pengaruh prinsip Islam yang mulia ini terhadap hukum-hukum syari’at dalam masalah jihad, dalam masalah berinteraksi terhadap sesama manusia -muslim maupun kafir- dan berbagai masalah lainnya. Wallâhu Ta’âlâ A’lam.
[1] Hadits riwayat Muslim no. 2577 dari Abu Dzar radhiyallâhu ‘anhu.
[2] Hadits Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry no. 4686, Muslim no. 2583, At-Tirmidzy no. 3120 dan Ibnu Mâjah no. 4018.
[3] Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhuma riwayat Al-Bukhâry no. 2447, Muslim no. 2579 dan At-Tirmidzy no. 2035. Dan hadits Jâbir radhiyallâhu ‘anhuma riwayat Muslim no. 2578. Dan Al-Kattaniy menggolongkannya sebagai hadits mutawâtir. Baca Nazhmul Mutanâtsir Min Al-Ahâdîts Al-Mutawâtir hal. 177
[4] Hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry no. 33, 2682, 2749, 6095, Muslim no 59 dan At-Tirmidzy no. 2636.
[5] Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh radhiyallâhu ‘anhuma riwayat Al-Bukhâry no. 34, 2459, 3178 dan Muslim no. 2635.
[6] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry no. 3188, 6177, 6178, 6966, 7111 dan Muslim no. 1735, At-Tirmidzy no. 1585 dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ, dan juga dikeluarkan oleh Al-Bukhâry no. 3186 dan Muslim no. 1736 dari ‘Abdullah bin Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu, serta dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhum riwayat Al-Bukhâry no. 3187 dan Muslim no. 1737 dan Ibnu Majah no. 2872. Dan semakna dengannya hadits Abu Sa’id radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim no. 1738, At-Tirmidzy no. 2196 (dalam hadits yang panjang) dan Ibnu Majah no. 2873.
Tags: bahaya, dosa, hadits, hukum, Islam, Jalan Petunjuk, jihad, kafir, kezholiman, maksiat, mukmin, muslimin, negara, rasul, Rasulullâh, zholim
Baca juga :
Kategori Jalan Petunjuk |
---------------------------------------------------------------------------------------
Keamanan adalah suatu hal yang dituntut dalam kehidupan, dimana seluruh makhluk sangat membutuhkannya dalam memenuhi hal-hal yang berkaitan dengan mashlahat kepentingan mereka, baik yang sifatnya keduniaan maupun keagamaan.
Dan tiadalah seorang insan yang hidup di muka bumi ini kecuali ia pasti mencari sebab-sebab keamanan untuk dirinya dan mencurahkan segenap kemampuannya guna menjauhi sebab-sebab ketakutan yang boleh jadi akan mendatangkan ancaman bahaya dalam perjalanan hidupnya.
Bagaimanapun seorang manusia meraih keselamatan badan dan keluasan rizki, maka hal tersebut tidaklah bernilai dan tiada terasa manfaatnya kecuali dengan keamanan dan ketentraman.
Betapapun manusia diberikan sebab-sebab kemajuan dan segala unsur keberhasilan, maka ia tidak akan mencapai kebahagiaannya dan tidak pula dapat menuai kehidupan yang indah kecuali dengan tuntunan dan syari’at yang Allah ‘Azza wa Jalla, Sang Pencipta manusia ridhoi untuk mereka.
Dan kita bersyukur dan memuji Allah Jalla Jalâluhu yang telah menerangkan segala sebab keamanan dalam agama kita. Dan kita senantiasa menyanjung-Nya atas segala kemurahan yang diantaranya adalah dijadikannya syari’at Islam ini sebagai syari’at yang bertujuan menegakkan keamanan di tengah manusia.
Nabi ‘Ibrâhim ‘alaihissâlam pada awal mula beliau menginjakkan kakinya di kota Makkah, beliau berdoa kepada Rabb-Nya,
“Ya Rabb-ku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki berupa buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al-Baqarah : 126)
Setelah beliau merintis kota Makkah, maka beliau dengan perintah Allah meninggalkan keluarganya di negeri baru tersebut untuk sementara waktu. Kemudian beliau kembali lagi ke negeri tersebut dan beliau berdoa kepada-Nya,
“Ya Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. Ya Rabb-ku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ibrâhim : 35-36)
Dalam dua teks ayat di atas, Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalâm memulai doanya dengan memohon keamanan untuk kota Makkah. Hal tersebut karena Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalâm sangat mengetahui bahwa keamanan adalah lambang kebahagiaan masyarakat, bangsa dan negara, dan dengan keamanan akan tercapai segala kemashlahatan dan kebaikan yang dibutuhkan oleh manusia.
Dan Allah Ta’âlâ mengingatkan nikmat keamanan kepada penduduk tanah haram dan kepada seluruh makhluk agar mereka senantiasa mengingat nikmat tersebut dan bersyukur kepada Allah karenanya dan beribadah kepada-Nya di bawah teduhannya,
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia di sekitarnya saling rampok-merampok.” (QS. Al-‘Ankabût : 67)
“Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) untuk menjadi rezki (bagimu) dari sisi Kami?. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-Qashash : 57)
“Maka hendaklah mereka menyembah Rabb Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS. Quraisy : 3-4)
Dan Allah ‘Azza Dzikruhu telah memberikan nikmat keamanan kepada Tsamud, kaumnya Nabi Shôleh ‘alahissalâm dengan kemampuan mereka memahat gunung sebagai rumah-rumah mereka tanpa ada ketakutan dan kecemasan, dan Allah Ta’âlâ melimpahkan kepada mereka nikmat yang sangat banyak yang datang silih berganti dan memberikan mereka tempat tinggal yang aman, dimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Dan Kami jadikan antara mereka dengan negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kalian di kota-kota itu pada malam dan siang hari dengan aman.” (QS. Saba` : 18)
Dan Yusuf ‘alaihissalâm ketika menyambut kedua orang tua dan keluarganya, beliau mengingatkan nikmat keamanan yang dilimpahkan terhadap mereka dengan masuknya mereka ke negeri yang aman dan tentram dengan penuh kesejukan jiwa,
“Masuklah kalian ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman.” (QS. Yûsuf : 99)
Bahkan diantara kenikmatan penduduk sorga di dalam sorga adalah tempat yang aman tanpa ada rasa takut sedikit pun dan tanpa kecemasan,
“(Dikatakan kepada penduduk sorga): “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman”.” (QS. Al-Hijr : 46)
“Dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).” (QS. Saba` : 37)
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang aman, (yaitu) di dalam taman-taman dan berbagai mata air; mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan, demikianlah. Dan Kami berikan kepada mereka bidadari. Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman (dari segala kekhawatiran).” (QS. Ad-Dukhân : 51-55)
Sungguh syari’at Islam telah mengumpulkan seluruh jenis kebaikan; Islam menjaga syari’at dan tuntunan, melindungi dan memelihara akal-akal manusia, mensucikan harta benda, memberi keamanan kepada jiwa-jiwa manusia, dan menebarkan segala bentuk keselamatan, ketenangan, rahmat dan kesejahteraan. Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِيْ سِرْبِهِ مُعَافًى فِيْ جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barang siapa aman pada tubuhnya, sehat dalam jasadnya, mempunyai makanan pada hari itu, maka seakan-akan telah dikumpulkan baginya dunia dengan segala isinya.” [1]
Dan Islam menjaga keamanan jiwa manusia hingga pada tempat yang paling aman sekalipun, seperti mesjid-mesjid. Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرَّ أَحَدُكُمْ فِيْ مَسْجِدِنَا أَوْ فِيْ سُوْقِنَا وَمَعَهُ نَبْلٌ فَلْيُمْسِكْ عَلَى نِصَالِهَا أَوْ قَالَ فَلْيَقْبِضْ بِكَفِّهِ أَنْ يُصِيْبَ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْهَا شَيْءٌ
“Apabila salah seorang dari kalian berlalu di mesjid kami atau di pasar kami dangan membawa tombak, maka hendaknya ia memegang ujungnya, –atau beliau berkata- hendaknya ia menggenggam dengan tangannya, agar tidak ada sesuatupun dari senjata-senjata tersebut yang menimpa salah seorang dari kaum muslimin.” [2]
Dan sekedar memunculkan sebab-sebab ketakutan di tengah kaum muslimin adalah hal yang terlarang dalam syari’at Islam. Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
لَا يُشِيْرُ أَحَدُكُمْ عَلَى أَخِيْهِ بِالسِّلَاحِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِيْ لَعَلَّ الشَّيْطَانَ يَنْزِعُ فِيْ يَدِهِ فَيَقَعُ فِيْ حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ
“Janganlah salah seorang dari kalian mengisyaratkan kepada saudaranya dengan senjata karena ia tidak mengetahui jangan-jangan Syaithon mencelakakannya dengan sebab tangannya sehingga ia terjerumus ke dalam jurang neraka.” [3]
Dan syari’at ini telah mengharamkan atas setiap muslim untuk berisyarat dengan suatu jenis senjata kepada saudaranya seislam, walaupun hanya bercanda. Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَشَارَ إِلَى أَخِيْهِ بِحَدِيْدَةٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَلْعَنُهُ حَتَّى يَدَعَهُ وَإِنْ كَانَ أَخَاهُ لِأَبِيْهِ وَأُمِّهِ
“Barang siapa yang berisyarat kepada saudaranya dengan sebuah besi, maka sesungguhnya Malaikat melaknatnya hingga ia meninggalkannya, walaupun ia adalah saudaranya sebapak dan seibu.” [4]
Dan membuat takut seorang muslim adalah perkara yang diharamkan dengan segala bentuknya. Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
“Tidak halal bagi seorang muslim membuat takut muslim yang lain.” [5]
Dan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barang siapa yang mengangkat senjata terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami.” [6]
Dan beliau juga menegaskan,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” [7]
Dan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin (lainnya) selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” [8]
Dan sebagai penjagaan terhadap keamanan dan ketentraman, Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam marah kepada siapa saja yang memberikan syafa’at dalam pelaksanaan had (hukuman) dari had-had Allah ‘Azza wa Jalla setelah perkara itu sampai kepada penguasa, dimana beliau shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menegaskan hal tersebut dalam sabdanya,
لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بَنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Andaikata Fathimah putri Muhammad mencuri, maka sungguh saya akan memotong tangannya.” [9]
[1] Hadits ‘Ubaidullah bin Mihshon Al-Ansôry riwayat Al-Humaidi dalam musnad-nya 1/208, Al-Bukhâry dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 300, dalam Ath-Târikh Al-Kabîr 5/372, At-Tirmidzy no. 2346, Ibnu Mâjah no. 4141, Ibnu Abi Âshim dalam Al-Âhâd wal Matsânî 4/146 no. 2126-2127, Ibnu Qani’ dalam Mu’jam Ash-Shohâbah 2/178, Al-‘Uqaily dalam Adh-Dhu’afâ` 2/146, Al-Qadho`i dalam Musnad Asy-Syihâb 1/320 no. 540, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Îmân 7/294 dan dalam Az-Zuhd no. 105, dan Al-Khatîb dalam Târîkh-nya 3/346. Dihasankan oleh Al-Albâny rahimahullâh dengan seluruh jalan-jalannya. Baca Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shohîhah karya no. 2318.
[2] Hadits Abu Musâ Al-Asy’ary radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry no. 452, 7075 dan Muslim no. 2615.
[3] Hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry no. 7072 dan Muslim no. 2617.
[4] Hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim no 2616 dan At-Tirmidzy no. 2167.
[5] Hadits riwayat Ahmad 5/362, Hannâd bin Sariy dalam Az-Zuhd no. 1345, Abu Dâud no. 5004, Al-Baihaqy 10/249 dan Al-Qodhâ`i dalam Musnad Asy-Syihâb 2/58-59 no. 878 dari sebahagian shahabat radhiyallâhu ‘anhu. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albâni dalam Ghâyatul Marâm no. 448 dan guru kami, Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy dalam Ash-Shohîh Al-Musnad Mimmâ Laisa fi Ash-Shohîhain 1/418-419 terbitan Maktabah Darul Quds, Yaman, cet. Pertama, tahun 1991M/1411H.
[6] Hadits riwayat Al-Bukhâry no. 7071, Muslim no. 100, At-Tirmidzy no. 1463 dan Ibnu Mâjah no. 2576-2577 dari Abu Musâ radhiyallâhu ‘anhu dan riwayat Al-Bukhâry no. 7873, 7070, Muslim no. 98, An-Nasâ`i 7/117, dan Ibnu Mâjah no. 2577 dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ.
[7] Hadits riwayat Al-Bukhâry no. 48, 6044, 7076, Muslim no. 64, At-Tirmidzy no. 1988, 2639-2640, An-Nasâ`i 7/122, dan Ibnu Majah no. 69, 3939 dari Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu.
[8] Hadits riwayat Al-Bukhâry no. 10, 6484, Muslim no. 40, Abu Daud no. 2481 dan An-Nasâ`i 8/105 dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh radhiyallâhu ‘anhumâ, dan riwayat Muslim no. 41 dari hadits Jâbir radhiyallâhu ‘anhumâ, serta riwayat Al-Bukhâry no. 11 dan Muslim no. 42, At-Tirmidzy no. 2633 dari Abu Musa radhiyallâhu ‘anhu. Dan hadits ini termasuk hadits mutawâtir. Baca Nazhmul Mutanâtsir Min Al-Ahâdîts Al-Mutawâtir hal. 52
[9] Hadits riwayat Al-Bukhary no. 3475, 3733, 4304, 6787, 6788, Muslim no. 1688, Abu Daud no. 4373-4374, At-Tirmidzy no. 1434 dan An-Nasâ`i 8/72-73 dari ‘Âisyah radhiyallâhu ‘anha. Dan dikeluarkan oleh Muslim no. 1689 dan An-Nasâ`i 8/71dari hadits Jabir radhiyallâhu ‘anhumâ.
Tags: agama, bahaya, fasik, hadits, hukum, Islam, Jalan Petunjuk, jiwa, keamanan, mashlahat, membunuh, muslimin, Nabi, negara, penguasa, rahmat, rasul, Rasulullâh
Baca juga :
Kategori Jalan Petunjuk
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Telah merupakan hal yang dimaklumi dari kaidah agama kita bahwa syari’at Islam ini datang untuk mewujudkan segala mashlahat atau menyempurnakannya, menghilangkan segala madharat atau menguranginya. Hal ini adalah karakteristik Islam yang sangat agung dan penuh dengan keistimewaan.
Anjuran untuk berbuat perbaikan dan larangan dari berbuat kerusakan di muka bumi telah ditekankan dalam berbagai ayat, di antaranya adalah firman-Nya,
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’râf : 56)
“Dan janganlah kalian mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy-Syu’arô` : 151-152)
Menyeru manusia kepada prinsip ini adalah salah satu tugas para nabi dan rasul. Nabi Sholih ‘alaihissalâm menyeru kaumnya,
“Dan ingatlah olehmu di waktu Dia menjadikan kalian pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagi kalian di bumi. Kalian dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kalian pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kalian merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (QS. Al-A’râf : 74)
Dan Nabi Syu’aib ‘alaihissalâm berkata kepada kaumnya,
“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Rabb bagi kalian selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepada kalian bukti yang nyata dari Rabb kalian. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kalian kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi sesudah diperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”.” (QS. Al-A’râf : 85)
Dan Nabi Musa ‘alaihissalâm berpesan kepada saudaranya Nabi Harun ‘alaihissalâm,
“Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan buatlah perbaikan, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS. Al-A’râf : 142)
Dan orang-orang sholih di masa Nabi Musa mengingatkan Qârûn,
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash : 77)
Dan syari’at kita telah menerangkan bahwa berbuat kerusakan adalah akhlak orang-orang Yahudi, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,
“Dan mereka (orang-orang Yahudi) berbuat kerusakan di muka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS. Al-Mâ`idah : 64)
Dan hal tersebut juga merupakan akhlak orang-orang munafiqîn,
“Dan bila dikatakan kepada mereka (orang-orang munafiqîn), Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah : 11-12)
Syari’at Islam benar-benar mengutuk dan sangat mencela perbuatan kerusakan di muka bumi, sehingga dijelaskanlah dalam ajarannya berbagai jenis perbuatan kerusakan yang berseberangan dengan nilai-nilai Islam yang mulia nan luhur. Diantara bentuk kerusakan itu adalah menumpahkan darah yang terjaga dan terlindungi -dari kalangan muslimin maupun kafir yang haram untuk dibunuh[1]-,
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Mâ`idah : 32)
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash : 4)
Di antara perbuatan kerusakan ialah mencuri harta manusia, baik milik pribadi maupun milik umum,
“Saudara-saudara Yusuf menjawab, “Demi Allah sesungguhnya kalian mengetahui bahwa kami datang bukan untuk membuat kerusakan di negeri (ini) dan kami bukanlah para pencuri”.” (QS. Yûsuf :73)
Menghalangi manusia ke jalan Allah termasuk perbuatan kerusakan di muka bumi,
“Dan janganlah kalian duduk di tiap-tiap jalan dengan menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang yang beriman dari jalan Allah, dan menginginkan agar jalan Allah itu menjadi bengkok. Dan ingatlah di waktu dahulunya kalian berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kalian. Dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-A’râf : 86)
Menyimpang dari kebenaran setelah mengetahuinya dan mengikuti hawa nafsu juga termasuk perbuatan kerusakan,
Kemudian jika mereka berpaling (dari kebenaran), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Âli Imrân : 63)
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. Al-Mukminûn : 71)
Dan ingatlah bahwa Allah Al-‘Azîz Al-Jabbâr telah menegaskan berbagai ancaman bagi siapa yang berbuat kerusakan di muka bumi,
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka akan beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al-Mâ`idah : 33)
“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” (QS. Ar-Ra’d : 25)
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (QS. Al-Baqarah : 204-206)
“Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas siksaan disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan.” (QS. An-Nahl : 88)
Kemudian ketahuilah, bahwa sebab munculnya kerusakan di muka bumi adalah karena perbuatan tangan manusia sendiri,
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rûm : 41)
Dan berpaling dari perintah Allah juga merupakan sebab munculnya kerusakan di tengah manusia,
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kalian (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfâl : 73)
Dan sebaliknya, mengadakan perbaikan dan kemashlahatan di suatu negeri adalah salah sebab tertolaknya bencana dan azab dari negeri tersebut,
“Dan Rabbmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri karena kezholiman (yang mereka lakukan), sedang penduduknya orang-orang yang mengadakan kemashlahatan (perbaikan).” (QS. Hûd : 117)
Dan ketahuilah, bahwa tiada keselamatan bagi segenap hamba kecuali dengan memerangi segala bentuk perbuatan kerusakan, baik itu kerusakan pada keyakinan, kerusakan pemikiran, kerusakan aksi dan tindakan, dan sebagainya. Allah ‘Azzat Hikmatuhu menegaskan,
“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” (QS. Hûd : 116)
Dan Allah berfirman,
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash : 83)
Dan untuk kaum muslimin di zaman ini, kami ingatkan dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla,
“Dan berkata Fir`aun (kepada pembesar-pembesarnya): “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabb-nya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agama kalian atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” (QS. Ghôfir : 26)
Perhatikan ayat ini dan cermatilah kandungannya secara mendalam, niscaya engkau akan mendapatkan dua pelajaran yang sangat berharga dan amat dibutuhkan di zaman ini. Dua pelajaran tersebut ialah :
Satu : Mengetahui bagaimana Fir’aun menampilkan dirinya sebagai orang yang anti kerusakan dan memberantas para pelaku kerusakan, padahal Fir’aun sendirilah yang banyak berbuat kerusakan di muka bumi sebagaimana yang telah dimaklumi. Tujuan Fir’aun menampilkan dirinya sedemikian rupa, tentunya telah diketahui, yaitu agar para pengikutnya tetap mempercayainya dan setia kepadanya. Maka jangan heran melihat tingkah Amerika, Australia dan semisalnya yang mengatakan, “Kami memerangi terorisme”, “Kami melindungi dunia dari ancaman terorisme”, padahal mereka sendiri adalah para teroris kelas kakap dan para pembunuh berdarah dingin dengan memakai sejuta slogan yang memukau lagi menipu guna meraih kepentingan-kepentingan bejat mereka. Jangan heran, itu adalah gaya klasik dan lagu lama yang mereka warisi dari nenek moyong mereka; Fir’aun dan sejenisnya.
Dua : Perhatikan bagaimana Fir’aun menuduh Nabi Musa ‘alaihissalâm sebagai orang yang menimbulkan kerusakan di muka bumi. Dan ini adalah pelajaran lain bagi kita umat Islam bahwa musuh-musuh agama dari masa dahulu senantiasa mensifatkan orang-orang yang berjalan di atas kebenaran dan istiqomah sesuai dengan tuntunan syari’at sebagai para pembuat kerusakan. Sungguh sangat menyedihkan, karena propaganda musuh-musuh agama sehingga sebagian kaum muslimin tega untuk melecehkan saudaranya yang tekun beribadah sesuai dengan tuntunan Islam yang benar. Dan sangat menyayat hati, karena ulah sebagian orang yang tidak faham hakikat dan tuntunan agama, sehingga kaum muslimin lainnya di berbagai penjuru dunia harus menjadi korban aksi-aksi mereka yang brutal dan tidak bertanggung jawab. Hendaknya seorang muslim –khususnya di masa fitnah- tidak terlalu bergampagan menjatuhkan vonis atau mendiskreditkan muslim yang lainnya kecuali kalau telah nampak secara jelas kesalahannya menurut timbangan Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Dan juga tidak pantas seorang muslim terlalu cepat termakan oleh isu-isu yang berkembang dan pemberitaan media massa yang belum tentu bisa dipertanggung-jawabkan, apalagi kalau hal tersebut datangnya dari musuh-musuh Islam,
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan.” (QS. Al-An’âm : 112-113)
Wallâhul Musta’ân.
[1] Insya Allah akan datang rincian jenis-jenis orang kafir (hal. 81).
Tags: agama, As-Sunnah, bahaya, darah, dosa, hukum, Islam, Jalan Petunjuk, kafir, kezholiman, mashlahat, membunuh, mukmin, muslimin, Nabi, rasul, sunnah, Teroris, Terorisme, umat, zholim
Kategori Jalan Petunjuk | 18 Safar 1430 H / 16-02-2009
Telah merupakan hal yang dimaklumi dari kaidah agama kita bahwa syari’at Islam ini datang untuk mewujudkan segala mashlahat atau menyempurnakannya, menghilangkan segala madharat atau menguranginya. Hal ini adalah karakteristik Islam yang sangat agung dan penuh dengan keistimewaan.
Anjuran untuk berbuat perbaikan dan larangan dari berbuat kerusakan di muka bumi telah ditekankan dalam berbagai ayat, di antaranya adalah firman-Nya,
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’râf : 56)
“Dan janganlah kalian mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy-Syu’arô` : 151-152)
Menyeru manusia kepada prinsip ini adalah salah satu tugas para nabi dan rasul. Nabi Sholih ‘alaihissalâm menyeru kaumnya,
“Dan ingatlah olehmu di waktu Dia menjadikan kalian pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagi kalian di bumi. Kalian dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kalian pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kalian merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (QS. Al-A’râf : 74)
Dan Nabi Syu’aib ‘alaihissalâm berkata kepada kaumnya,
“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Rabb bagi kalian selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepada kalian bukti yang nyata dari Rabb kalian. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kalian kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi sesudah diperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”.” (QS. Al-A’râf : 85)
Dan Nabi Musa ‘alaihissalâm berpesan kepada saudaranya Nabi Harun ‘alaihissalâm,
“Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan buatlah perbaikan, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS. Al-A’râf : 142)
Dan orang-orang sholih di masa Nabi Musa mengingatkan Qârûn,
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash : 77)
Dan syari’at kita telah menerangkan bahwa berbuat kerusakan adalah akhlak orang-orang Yahudi, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,
“Dan mereka (orang-orang Yahudi) berbuat kerusakan di muka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS. Al-Mâ`idah : 64)
Dan hal tersebut juga merupakan akhlak orang-orang munafiqîn,
“Dan bila dikatakan kepada mereka (orang-orang munafiqîn), Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah : 11-12)
Syari’at Islam benar-benar mengutuk dan sangat mencela perbuatan kerusakan di muka bumi, sehingga dijelaskanlah dalam ajarannya berbagai jenis perbuatan kerusakan yang berseberangan dengan nilai-nilai Islam yang mulia nan luhur. Diantara bentuk kerusakan itu adalah menumpahkan darah yang terjaga dan terlindungi -dari kalangan muslimin maupun kafir yang haram untuk dibunuh[1]-,
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Mâ`idah : 32)
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash : 4)
Di antara perbuatan kerusakan ialah mencuri harta manusia, baik milik pribadi maupun milik umum,
“Saudara-saudara Yusuf menjawab, “Demi Allah sesungguhnya kalian mengetahui bahwa kami datang bukan untuk membuat kerusakan di negeri (ini) dan kami bukanlah para pencuri”.” (QS. Yûsuf :73)
Menghalangi manusia ke jalan Allah termasuk perbuatan kerusakan di muka bumi,
“Dan janganlah kalian duduk di tiap-tiap jalan dengan menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang yang beriman dari jalan Allah, dan menginginkan agar jalan Allah itu menjadi bengkok. Dan ingatlah di waktu dahulunya kalian berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kalian. Dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-A’râf : 86)
Menyimpang dari kebenaran setelah mengetahuinya dan mengikuti hawa nafsu juga termasuk perbuatan kerusakan,
Kemudian jika mereka berpaling (dari kebenaran), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Âli Imrân : 63)
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. Al-Mukminûn : 71)
Dan ingatlah bahwa Allah Al-‘Azîz Al-Jabbâr telah menegaskan berbagai ancaman bagi siapa yang berbuat kerusakan di muka bumi,
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka akan beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al-Mâ`idah : 33)
“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).” (QS. Ar-Ra’d : 25)
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (QS. Al-Baqarah : 204-206)
“Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas siksaan disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan.” (QS. An-Nahl : 88)
Kemudian ketahuilah, bahwa sebab munculnya kerusakan di muka bumi adalah karena perbuatan tangan manusia sendiri,
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rûm : 41)
Dan berpaling dari perintah Allah juga merupakan sebab munculnya kerusakan di tengah manusia,
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kalian (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfâl : 73)
Dan sebaliknya, mengadakan perbaikan dan kemashlahatan di suatu negeri adalah salah sebab tertolaknya bencana dan azab dari negeri tersebut,
“Dan Rabbmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri karena kezholiman (yang mereka lakukan), sedang penduduknya orang-orang yang mengadakan kemashlahatan (perbaikan).” (QS. Hûd : 117)
Dan ketahuilah, bahwa tiada keselamatan bagi segenap hamba kecuali dengan memerangi segala bentuk perbuatan kerusakan, baik itu kerusakan pada keyakinan, kerusakan pemikiran, kerusakan aksi dan tindakan, dan sebagainya. Allah ‘Azzat Hikmatuhu menegaskan,
“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” (QS. Hûd : 116)
Dan Allah berfirman,
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash : 83)
Dan untuk kaum muslimin di zaman ini, kami ingatkan dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla,
“Dan berkata Fir`aun (kepada pembesar-pembesarnya): “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabb-nya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agama kalian atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” (QS. Ghôfir : 26)
Perhatikan ayat ini dan cermatilah kandungannya secara mendalam, niscaya engkau akan mendapatkan dua pelajaran yang sangat berharga dan amat dibutuhkan di zaman ini. Dua pelajaran tersebut ialah :
Satu : Mengetahui bagaimana Fir’aun menampilkan dirinya sebagai orang yang anti kerusakan dan memberantas para pelaku kerusakan, padahal Fir’aun sendirilah yang banyak berbuat kerusakan di muka bumi sebagaimana yang telah dimaklumi. Tujuan Fir’aun menampilkan dirinya sedemikian rupa, tentunya telah diketahui, yaitu agar para pengikutnya tetap mempercayainya dan setia kepadanya. Maka jangan heran melihat tingkah Amerika, Australia dan semisalnya yang mengatakan, “Kami memerangi terorisme”, “Kami melindungi dunia dari ancaman terorisme”, padahal mereka sendiri adalah para teroris kelas kakap dan para pembunuh berdarah dingin dengan memakai sejuta slogan yang memukau lagi menipu guna meraih kepentingan-kepentingan bejat mereka. Jangan heran, itu adalah gaya klasik dan lagu lama yang mereka warisi dari nenek moyong mereka; Fir’aun dan sejenisnya.
Dua : Perhatikan bagaimana Fir’aun menuduh Nabi Musa ‘alaihissalâm sebagai orang yang menimbulkan kerusakan di muka bumi. Dan ini adalah pelajaran lain bagi kita umat Islam bahwa musuh-musuh agama dari masa dahulu senantiasa mensifatkan orang-orang yang berjalan di atas kebenaran dan istiqomah sesuai dengan tuntunan syari’at sebagai para pembuat kerusakan. Sungguh sangat menyedihkan, karena propaganda musuh-musuh agama sehingga sebagian kaum muslimin tega untuk melecehkan saudaranya yang tekun beribadah sesuai dengan tuntunan Islam yang benar. Dan sangat menyayat hati, karena ulah sebagian orang yang tidak faham hakikat dan tuntunan agama, sehingga kaum muslimin lainnya di berbagai penjuru dunia harus menjadi korban aksi-aksi mereka yang brutal dan tidak bertanggung jawab. Hendaknya seorang muslim –khususnya di masa fitnah- tidak terlalu bergampagan menjatuhkan vonis atau mendiskreditkan muslim yang lainnya kecuali kalau telah nampak secara jelas kesalahannya menurut timbangan Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Dan juga tidak pantas seorang muslim terlalu cepat termakan oleh isu-isu yang berkembang dan pemberitaan media massa yang belum tentu bisa dipertanggung-jawabkan, apalagi kalau hal tersebut datangnya dari musuh-musuh Islam,
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan.” (QS. Al-An’âm : 112-113)
Wallâhul Musta’ân.
[1] Insya Allah akan datang rincian jenis-jenis orang kafir (hal. 81).
Tags: agama, As-Sunnah, bahaya, darah, dosa, hukum, Islam, Jalan Petunjuk, kafir, kezholiman, mashlahat, membunuh, mukmin, muslimin, Nabi, rasul, sunnah, Teroris, Terorisme, umat, zholim
Baca juga :
Kategori Jalan Petunjuk
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Berlaku adil adalah salah satu prinsip Islam yang dijelaskan dalam berbagai nash ayat maupun hadits. Prinsip ini benar-benar merupakan akhlak mulia yang sangat ditekankan dalam syari’at Islam, sehingga wajar kalau tuntunan dan aturan agama semuanya dibangun di atas dasar keadilan dan seluruh lapisan manusia diperintah untuk berlaku adil.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil, berbuat kebajikan dan memberi kepada kaum kerabat. Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl : 90)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisâ` : 58)
Dan Al-Qur`an Al-Karîm adalah lambang keadilan,
“Telah sempurnalah kalimat Rabb-mu (Al-Qur`an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’âm : 115)
Dan Allah Ahkamul Hâkimîn memerintah untuk berlaku adil secara mutlak,
“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu).” (QS. Al-An’âm : 152)
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap diri kalian sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabat kalian. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.” (QS. An-Nisâ` : 135)
Dan Rabbul ‘Izzah tetap memerintahkan untuk berlaku adil walaupun terhadap musuh sendiri,
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mâ`idah : 8)
Dan Allah memuji orang-orang yang berlaku adil,
“Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan.” (QS. Al-A’râf : 181)
Dan Nabi-Nya telah diperintah untuk menyatakan,
“Dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kalian.” (QS. Asy-Syûrô : 15)
Tags: adil, agama, hadits, hukum, Islam, Jalan Petunjuk, Nabi, umat
Baca juga :
Kategori Jalan Petunjuk
--------------------------------------------------------------------------
Dinul Islam adalah syari’at yang pertengahan di atas jalan yang lurus. Tidaklah dikenal dalam syari’at Islam pembenaran terhadap sikap ekstrim dan tidak pula ada sikap menyepelekan tuntunan maupun aturan syari’at.
Rabb kita telah menjelaskan ciri umat Islam ini dalam firman-Nya,
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam), umat yang wasathan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (QS. Al-Baqarah : 143)
Wasathan dalam ayat di atas, ada penafsiran di kalangan para ulama :
Pertama : Umat wasathan bermakna umat yang adil dan pilihan. Dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama tafsir.
Kedua : Umat wasathan bermakna pertengahan antara dua kutub; kutub ekstrim dan kutub menyepelekan.[1]
Sifat pertengahan Islam sangatlah jelas pada seluruh aspek dan bidang yang dibutuhkan oleh manusia, baik dalam masalah ‘ibadah, mu’âmalat, pemerintahan, perekonomian, hukum, pernikahan, dan sebagainya. Bahkan dalam masalah cara membelanjakan harta, Islam juga telah mengaturnya di atas dasar pertengahan tersebut,
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqôn : 67)
Dan Allah Jalla Jalâluhu memerintahkan kepada Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam dan umatnya dalam firman-Nya,
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat bersamamu dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (QS. Hûd : 112)
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah menyatakan haramnya ekstrim dalam beragama,
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (QS. An-Nisâ` : 171)
Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Katakanlah, “Hai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agama kalian. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.”.” (QS. Al-Mâ`idah : 77)
Dan Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam mengingatkan,
وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ
“Hati-hatilah kalian dari ghuluw (ekstrim) dalam agama kerena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah ghuluw dalam agama.” [2]
Dan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menegaskan,
لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ الله وَرَسُوْلُهُ
“Janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nasharo telah melampaui batas dalam memuji ‘Isa bin Maryam, sesungguhnya saya hanyalah seorang hamba-Nya. Maka katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya.” [3]
Dan dalam hadits Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda sebanyak tiga kali,
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُوْنَ
“Celakalah Al-Mutanaththi’ûn (orang-orang yang berlebihan dalam ucapan dan perbuatannya).” [4]
Dan dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,
جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوْتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُوْنَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوْا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوْهَا فَقَالُوْا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَدْ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَا أَنَا فَإِنِّيْ أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا. وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَصُوْمُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ. وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا. فَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَنْتُمْ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللهِ إِنِّيْ لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكَنِّيْ أَصُوْمُ وُأُفْطِرُ وَأُصَلِّيْ وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ.
“Datang tiga orang ke rumah para istri Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam, mereka bertanya tentang ‘ibadah Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam. Maka tatkala mereka dikabari (tentang itu), mereka menganggap sedikit (apa yang selama in mereka lakukan). Maka mereka berkata, “Dimana kita dari Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam, padahal Allah telah mengampuni untuknya yang telah lalu dan yang akan datang dari dosanya”. Berkata salah seorang dari mereka, “Adapun saya, maka saya akan sholat lail selama-lamanya”. Dan berkata yang lain, “Saya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka”. Dan berkata yang lain, “Saya akan menjauhi perempuan, saya tidak akan nikah selama-lamanya”. Kemudian datanglah Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam, lalu beliau berkata, “Kaliankah yang berkata begini dan begini?, demi Allah!, sesungguhnya aku yang paling memiliki rasa takut dan paling bertaqwa kepada Allah di antara kalian, akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku sholat dan aku tidur, dan aku menikahi perempuan. Barangsiapa yang tidak senang terhadap sunnahku maka tidaklah termasuk dariku”.” [5]
Dan segala perkara yang sifatnya melampaui batas, maka hal tersebut diharamkan dalam syari’at Islam, baik hal tersebut dalam masalah makanan,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Mâ`idah : 87)
atau dalam masalah berdoa, “Berdoalah kepada Rabb kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’râf : 55)
bahkan dalam jihad di jalan Allah sekalipun,
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah : 190)[1] Baca Jâmi’ul Bayân fi Tafsîr Al-Qur`ân Al-Karîm 2/5-6 karya Ibnu Jarir Ath-Thabary, cetakan Bulâq Mesir, tahun 1323 H.
[2] Hadits riwayat Ahmad 1/215, 347, Ibnu Abi Syaibah 3/248, An-Nasâ`i 5/268, Ibnu Mâjah no. 3029, Ibnul Jârud no. 473, Ibnu Sa’d dalam Ath-Thobaqât 2/180-181, Al-Mahâmily dalam Amâli-nya no. 33, Al-Fâqihy dalam Târikh Makkah 4/288, Abu Ya’lâ 4/316 no.2427, 4/357 no. 2472, Ibnu Khuzaimah no. 2867, Ibnu Hibbân sebagaimana dalam Al-Ihsân no. 3871, Al-Hâkim 1/637, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtâroh 10/30-31, Ath-Thobarâny 12/no. 12747, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 2/223 dan Ibnu Hazm dalam Hajjatul Wadâ’ no. 139 dan Al-Muhallâ 7/133 dari jalur Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhuma. Dishohihkan oleh An-Nawawy, Ibnu Taimiyah dan Syaikh Al-Albâny rahimahumullah. Lihat Ash-Shohihah no. 1283 dan Zhilâlul Jannah no. 98.
[3] Riwayat Al-Bukhâry no. 3445, 6830 (dalam sebuah hadits yang sangat panjang) dari hadits ‘Umar bin Al-Khaththâb radhiyallâhu ‘anhu.
[4] Hadits riwayat Muslim no. 2670 dan Abu Daud no. 4608.
[5] Hadits riwayat Al-Bukhâry no. 5063 dan Muslim no. 1401.
Tags: adil, agama, dosa, ekstrim, hadits, hukum, Islam, Jalan Petunjuk, jihad, Nabi, pemerintah, rasul, Rasulullâh, sesat, sunnah, Ulama, umat
Baca juga :
Kategori Jalan Petunjuk
------------------------------------------------------------------
Diantara rahmat Allah yang sangat agung kepada manusia, dijadikannya syari’at Islam ini sebagai syari’at yang penuh dengan rahmat, kemurahan, dan kemudahan. Dan hal ini nampak jelas pada seluruh aturannya dan mewarnai prinsip-prinsip dasar dan cabang-cabang tuntunannya. Sepanjang perjalanan kehidupan manusia, Islam dikenal dengan sifat rahmat ini, dan Islam tetap akan menjadi rahmat bagi manusia pada segala keadaan, di setiap waktu dan tempat.
Allah Jalla wa ‘Alâ menurunkan Al-Qur`ân sebagai rahmat dan obat bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur`an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isrô` : 82)
Dan Allah Ta’âlâ berfirman,
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl : 89)
Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman tentang Nabi-Nya,
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyâ` : 107)
“Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al-Qur`an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah).” (QS. Thôhâ : 1-3)
Dan Rabbul ‘Izzah telah menjadikan syari’at Islam ini sebagai syari’at yang penuh dengan kemudahan dan kemurahan. Allah berfirman,
“Allah tidak hendak menyulitkan kalian, tetapi Dia hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian, supaya kalian bersyukur.” (QS. Al-Mâ`idah : 6)
“(Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj : 78)
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah : 185) “Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur`an itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al-Qur`an itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang.” (QS. Maryam : 97)
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur`an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qomar : 17, 22, 32, 40)
“Dan Kami akan memberi kamu taufik kepada jalan yang mudah.” (QS. Al-A’lâ : 8)
Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
“Agama adalah mudah dan tidak seorang pun ekstrim dalam beragama kecuali akan terkalahkan.” [1]
Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam memerintah umatnya untuk menerapkan prinsip Islam yang mulia ini dalam kehidupan dan dakwah mereka, sebagaimana dalam sabda beliau,
يَسِّرُوْا وَلَا تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلَا تُنَفِّرُوْا
“Permudahlah dan jangan kalian mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan kalian membuat orang lari.”[2]
[1] Riwayat Al-Bukhary no.39 dan An-Nasa`i 8/121-122 dari hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.
[2] Hadits Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry no. 69, 6125 dan Muslim no. 1734. Dan semakna dengannya hadits Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry no. 6124 dan Muslim no. 1732-1733.
Tags: agama, ekstrim, hadits, Islam, Jalan Petunjuk, Nabi, rahmat, rasul, Rasulullâh, umat
Baca juga :
Kategori Jalan Petunjuk
------------------------------------------------------------------------------------------
Syari’at Islam telah menerangkan jalan yang sangat jelas dan terang. Tiada kewajiban atas kaum muslimin kecuali hanya sekedar mengikuti jalan Islam, mencontoh dan menjalankan tuntunannya. Karena jelasnya jalan Islam ini, sehingga Allah Jalla wa ‘Azza memerintah Nabi-Nya untuk menyatakan kepada manusia apa yang tertera dalam firman-Nya,
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah ke (jalan) Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (QS. Yusuf : 108)
“Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Ma`idah : 15-16)
Dan Allah Jalla fii ‘Ulahu menegaskan,
“Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An’am : 153)
Dan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
خَطَّ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيْلُ اللهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوْطًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيْلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُوْ إِلَيْهِ ثُمَّ تَلاَ
“Pada suatu hari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menggaris di hadapan kami suatu garis lalu beliau berkata, “Ini adalah jalan Allah”. Kemudian beliau menggaris beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya lalu beliau berkata, “Ini adalah jalan-jalan, yang di atas setiap jalan ada syaithan menyeru kepadanya.” Kemudian beliau membaca (ayat), “Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya”.[1]
Dan Allah memerintah untuk mengikuti jalan syari’at serta melarang dari berpaling kepada selainnya. Dalam firman-Nya, Allah menegaskan,
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti wali-wali selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS. Al-A’raf : 3)
“Kemudian Kami jadikan kalian berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiyah : 18)
Dan Islam telah menjelaskan kepada kita jalan yang benar dari jalan yang batil dengan penuh kejelasan tanpa ada setitik kesamaran dan tanpa ada secuil keraguan sehingga tak seorangpun yang menyimpang dan berpaling dari jalan yang lurus tersebut kecuali akan binasa. Allah ‘Azza Sya`nuhu menyatakan,
“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur`an, (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-An’am : 55)
Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan,
لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيْغُ بَعْدِيْ عَنْهَا إِلَّا هَالِكٌ
“Sungguh saya telah meninggalkan kalian di atas suatu yang sangat putih, malamnya sama dengan siangnya, tidaklah seorangpun menyimpang darinya setelahku kecuali akan binasa.” [2]
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengingatkan,
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌ قَبْلِيْ إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Sesungguhnya tak seorang nabi pun sebelumku, kecuali wajib atasnya untuk menunjukkan kepada umatnya segala kebaikan yang ia ketahui untuk mereka dan memperingatkan kepada mereka segala kejelekan yang ia ketahui (akan membahayakan) mereka.” [3]
[1] Diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no. 244, Ath-Thobary dalam Tafsirnya 8/88, Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dalam As-Sunnah no.11, Sa’îd bin Manshur dalam Tafsirnya 5/113 no 935, Ahmad 1/435, Ad Darimy 1/78 no 202, An-Nasai dalam Al-Kubro 5/94 no.8364 dan 6/343 no.11174, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 1/180-181 no.6-7, Al-Hakim dalam Mustadraknya 2/348 dan lain-lainnya. Dan hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fî Ash-Shohihain.
[2] Diriwayatkan oleh Ahmad 4/126, Ibnu Majah no. 5, 43, Ibnu Abi ‘Ashim no. 48-49 dan Al-Hakim 1/96 dari hadits Abu Darda` radhiyallahu ‘anhu. dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Zhilalul Jannah 1/27.
[3] Hadits riwayat Muslim no. 1844, An-Nasa`i 7/152-153 dan Ibnu Majah no. 3956 dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘ash radhiyallahu ‘anhuma.
Tags: agama, Jalan Petunjuk, muslimin, Nabi, sunnah, syari'at
Baca juga :
Kategori Jalan Petunjuk
----------------------------------------------------------------------
Sudah merupakan ciri syari’at Islam dan menjadi kebanggaan umat Islam, sempurna dan lengkapnya segala tuntunan agama mereka.
Allah Jalla Dzikruhu telah menerangkan dalam firman-Nya,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Ma`idah : 3)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl : 89)
Karena kesempurnaannyalah, sehingga segala sesuatu telah diterangkan dalam Al-Qur`an tanpa terkecuali, dalam makna tersurat maupun tersirat, ketetapan secara nash maupun dalil-dalil umum yang mencakup berbagai masalah. Allah Jalla Jalaluhu telah menegaskan dalam Tanzîl-Nya,
“Tiadalah Kami lalaikan sesuatupun di dalam Al-Kitab.” (QS. Al-An’am : 38)
Dan sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam adalah penjelasan dan penafsiran terhadap Al-Qur`an Al-Karîm. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur`an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. An-Nahl : 64)
Terangnya jalan Islam, kejelasan petunjuknya dan kesempurnaan tuntunannya, akhirnya tidak memberikan alternatif lain kepada seorang muslim selain hanya mengikuti cahaya dan petunjuknya secara keseluruhan. Karena itulah Allah Jalla wa ‘Ala memerintahkan kepada kaum muslimin dalam firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kalian”. (QS. Al-Baqorah : 208)
Kata Ibnu Katsir (w. 774 H) mentafsirkan ayat di atas, “Allah Ta’ala berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman kepada-Nya lagi membenarkan rasul-Nya, untuk mengambil seluruh bagian Islam dan syari’atnya, mengerjakan semua perintah-perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya sesuai dengan apa yang mereka mampu.” [1]
Dan Allah Jalla Tsana`uhu juga memerintah untuk mengagungkan seluruh syi’ar dan prinsipnya, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj : 32)
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah yang terbaik baginya di sisi Rabbnya.” (QS. Al-Hajj : 30)
Segala sesuatu telah dijelaskan, bahkan perkara-perkara yang nampaknya sepele sekalipun telah diterangkan dalam agama ini sehingga membuat orang-orang musyrikin dan ahlul kitab iri hati dan dengki kepada umat Islam. Salman Al-Farisy radhiyallahu ‘anhu berkata,
قَالَ لَنَا الْمُشْرِكُوْنَ هَلْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْئٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ, قَالَ أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِيْنِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلِّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيْعٍ أَوْ بِعَظْمٍ.
“Kaum musyrikin berkata kepada kami, “Apakah Nabi kalian mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) tata cara buang air?” Maka (Salman) menjawab, “Benar, sungguh beliau telah melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau ketika buang air kecil, (melarang) kami beristinja` dengan tangan kanan, (melarang) kami beristinja` kurang dari tiga batu atau kami beristinja` dengan kotoran atau tulang.” [2]
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
مَثْلِيْ وَمَثَلُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِيْ كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بُنْيَانًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوْفُوْنَ بِهِ وَيُعْجِبُوْنَ لَهُ وَيَقُوْلُوْنَ هَلَّا وَضَعْتَ هَذِهِ اللَّبِنَةَ قَالَ فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ
“Perumpamaan aku dan para nabi adalah bagaikan seorang lelaki yang membangun sebuah bangunan, lalu ia memperbagus dan memperindahnya kecuali sebuah batu di sebuah sudutnya. Kemudian manusia mengelilinginya dan kagum terhadapnya dan mereka berkata, “Tidakkah engkau meletakkan sebuah batu ini.” Maka saya adalah batu tersebut dan saya adalah penutup para nabi.” [3]
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar (w. 852 H) rahimahullah, “Dalam hadits (di atas) menunjukkan bolehnya membuat perumpamaan untuk mendekatkan pemahaman, dan menunjukkan keutamaan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di atas seluruh nabi, dan menunjukkan bahwa Allah telah menjadikan beliau sebagai penutup para rasul dan menyempurnakan seluruh syari’at agama dengannya.” [4]
[3] Hadits riwayat Al-Bukhary no. 3535 dan Muslim no. 2286 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Dan semakna dengannya hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary no. 3534, Muslim no. 2287 dan At-Tirmidzy no. 2867. Dan Imam Muslim no.2286 juga mengeluarkannya dari hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu dan beliau sebutkan bahwa konteksnya semakna dengan hadits Abu Hurairah.
Tags: agama, imam, Islam, Jalan Petunjuk, muslimin, Nabi, rasul, Salaf, sunnah, umat