1. Latar Belakang
Kontroversi Trinitas, yang menimbulkan pertentangan pendapat antara Arius dan Athanasius berakar pada masa lampau. Seperti diketahui bahwa para Bapak Gereja dulu, tidak mempunyai konsepsi yang jelas tentang Trinitas. Sebagian di antara mereka membenarkan Logos sebagai "akal nonmanusiawi" (impersonal reason), yang menjadi manusiawi pada saat penciptaan, sementara yang lain memandang Dia sebagai manusia yang ko-eternal dengan Bapak yang memiliki sifat esensi kekekalan, dan sebagian lagi memandangnya sebagai suruhan (subordination) atau kedudukannya di bawah Bapak Roh Kudus tidak mendapat tempat penting dalam pembicaraan mereka. Mereka membicarakan Dia (Yesus Kristus) dalam kaitannya dengan pekerjaan penebusan jiwa dan hidup manusia. Sebagian orang memandang Dia sebagai "yang tunduk" bukan hanya kepada Bapak tetapi juga kepada Anak. Tertullian
adalah orang pertama yang secara gamblang menyatakan tri-personalitas Tuhan serta mempertahankan pendapat tentang keesaan substansial ketiga person tersebut. Namun dia belum mampu menerangkan dengan jelas tentang doktrin Trinitas.
Sementara itu muncullah aliran Monarkianisme yang menekankan keesaan Tuhan dan sifat ketuhanan Kristus, yang meliputi penyangkalan Trinitas (jadi Trinitas tidak diartikan seperti yang terkandung dalam arti kata tersebut). Tertullian dan Hippolytus memperjuangkan pandangan-pandangan mereka di Barat sementara Origen menentangnya habis-habisan di Timur. Mereka membela kedudukan kaum trinitarian sebagaimana diperlihatkan dalam keyakinan rasul (Kisah Rasul). Walaupun demikian, pandangan Origen tentang Trinitas tidak seluruhnya memuaskan. Dia berkeyakinan kuat bahwa baik Bapak maupun anak merupakan hipostases abadi (kekal) atau personal subsistence di dalam Tuhan. Sementara dia adalah orang pertama yang menerangkan hubungan Bapak dengan anak dengan
menggunakan ide eternaI generation, dia menganggap hal ini meliputi subordinasi orang kedua (second person) terhadap orang pertama (first person) dalam kaitannya dengan esensi. Bapak berkomunikasi dengan anak dan anak adalah sebagai spesies sekunder kekekalan, yang dinamakan Theos, tetapi bukan Ho Theos. Bahkan anak kadang-kadang dipanggil sebagai Theos Deuteros. Ini merupakan cacat paling radikal dalam doktrin Origen tentang Trinitas dan memberikan batu loncatan bagi Arius. Cacat lain yang terdapat dalam pendapatnya bahwa, penciptaan anak bukanlah perbuatan perlu (necessary act) dari Bapak tetapi bersumber pada kehendak-Nya yang berdaulat. Akan tetapi dia tidak melontarkan ide suksesi temporal. Dalam doktrinnya tentang Roh Kudus dia masih mengesampingkan representasi Kitab Injil. Dia bukan nanya menempatkan Roh Kudus sebagai "bawahan" terhadap anak, tetapi dia juga mengartikannya sebagai ciptaan anak. Bahkan salah satu pernyataannya berimplikasi bahwa Dia hanyalah sebagai suata ciptaan belaka.
2. Hakikat Kontroversi
a. Arius dan Arianisme
Perselisihan pendapat terbesar di kalangan pemikir Trinitas adalah kontroversi pandangan Arius, karena
pandangan-pandangan "anti-trinitas" yang dilontarkan Arius, seorang presbyter Alexandrux yang daya debatnya besar walaupun jiwanya atau imannya diragukan. Ide dominan Arius adalah asas monoteistis aliran Monarkianisme bahwa hanya ada satu Tuhan (tidak mempunyai anak). Ada yang tidak mempunyai asal usul, tanpa keberadaan sebelumnya. Dia membedakan antara Logos yang tetap ada di dalam Tuhan, yang merupakan kekuatan yang kekal dengan Anak atau Logos yang pada akhirnya berinkarnasi. Anak atau Logos terakhir ini diciptakan oleh Bapak yang dalam pandangan Arius berarti bahwa dia diciptakan. Dia diciptakan sebelum alam semesta ini diciptakan, dan dengan alasan ini berarti dia bukanlah esensi yang kekal. Dia hanyalah yang terbesar dan pertama di antara ciptaan-ciptaan lainnya dan melalui dialah alam semesta ini diciptakan. Karena itu dia dapat diganti, tetapi dia dipilih Tuhan demi keselamatan umat manusia, dan dia dinamakan anak Tuhan. Dalam pengangkatannya sebagai anak
dialah yang disembah oleh manusia.
Dalam mendukung pandangan-pandangannya, Arius mencari; sejumlah ayat Alkitab yang memperlihatkan anak berkedudukan di bawah atau inferior terhadap Bapak seperti "Prov 8:22, Mateus 28:18, Markus 13:32, Lukas 18:19, Johannes 5:19;14:28,1 Korintus 15:28."
b. Bantahan terhadap Arianisme
Arius mendapat bantahan pertama dari bishop Alexander yang meyakini sifat ketuhanan yang sesungguhnya dimiliki anak dan dalam waktu yang sama mempertahankan doktrin anak kekal yang diciptakan. Akan tetapi sesuai dengan perjalanan waktu, penentangnya ternyata adalah uskup Alexandria sendiri, yakni Athanasius, yang dalam sejarah dikenal sebagai tokoh kebenaran yang tegar, kukuh, dan tidak pernah ragu-ragu, Seeberg mengemukakan tiga kekuatan atau kelebihan utama Athanasius, yakni:
1. Keteguhan dan keaslian atau kemurnian karakternya;
2. Landasannya yang pasti di atas mana dia susun konsepsi tentang keesaan Tuhan;
3. Kebijaksanaannya dalam menerangkan kepada umatnya agar
mengakui hakikat dan makna Kristus.
Dia berpendapat bahwa memandang Kristus sebagai ciptaan sama dengan menyangkal pandangan bahwa iman terhadap dia membawa keselamatan bagi umat manusia.
Dia sangat menekankan keesaan Tuhan dan mau mengakui doktrin Trinitas yang tidak membahayakan konsep keesaan ini. Sementara bapak dan anak sama-sama memiliki sifat atau esensi kekekalan yang sama, sesungguhnya tidak ada pembagian atau pemisahan dalam The essential being of God, dan adalah salah bila disebutkan Theos Deuteros. Tetapi di samping menekankan keesaan Tuhan, dia juga mengakui adanya tiga hipostases dalam Tuhan. Dia menolak untuk meyakini "Anak yang diciptakan sebelum yang lain diciptakan" seperti yang dianut Arius dan mempertahankan eksistensi kekal dan independen anak. Dalam waktu yang sama dia berpendapat bahwa ketiga hipostases dalam Tuhan jangan dilihat sebagai hal yang sendiri-sendiri, karena jika demikian, bisa bermuara
kepada politeisme. Menurut dia, keesaan Tuhan maupun perbedaan-perbedaan dalam keberadaan-Nya paling tepat dinyatakan dengan "keesaan esensi." Ini berarti bahwa anak mempunyai substansi sama dengan substansi Bapak, tetapi juga berarti bahwa keduanya bisa berbeda dalam aspek lain, misalnya dalam personal subsistensinya. Seperti Origen, dia mengajarkan bahwa anak adalah hasil penciptaan (begotten by generation), tetapi berbeda dari Origen, dia menerangkannya penciptaan ini merupakan tindakan kerahasiaan Tuhan, bukan sebagai tindakan yang semata-mata bergantung kepada kedaulatan Tuhan.
3. Dewan Nicaea
Dewan Nicaea dibentuk tahun 325 untuk memecahkan pertentangan pandangan ini. Persoalan atau kontroversi ini diperjelas agar pembahasannya lebih mudah. Pengikut Arius menolak pandangan tentang penciptaan eternal (penciptaan yang bebas dari dimensi waktu), sementara Athanasius mempertahankannya. Pengikut Arius mengatakan bahwa anak diciptakan dari tidak ada, sementara Athanasius mengatakan bahwa dia diciptakan dari esensi Bapak. Pengikut Arius berpendapat bahwa anak tidak sama substansinya dengan Bapak sementara Athanasius berpendapat bahwa anak adalah homoousios dengan Bapak.
Di samping kedua pihak yang bertentangan itu masih ada pihak tengah yang merupakan mayoritas yang dipimpin oleh ahli sejarah gereja, yakni Eusebius dari Caesarea, dan juga dikenal sebagai pihak Origenistik dan landasan pandangannya adalah asas-asas yang dikemukakan Origen. Pihak ini condong kepada pihak Arius dan menentang doktrin bahwa anak sama substansinya dengan Bapak (homoousios). Pihak ini mengajukan suatu pernyataan yang telah diketengahkan Eusebius, yang menyerahkan segala sesuatunya kepada pihak Alexander dan Athanasius dengan satu pengecualian yakni doktrin di atas; dan menyatakan bahwa istilah homoousios hendaknya diganti
dengan homoiousios; jadi mereka mengajarkan bahwa anak sama substansinya dengan Bapak. Setelah melalui perdebatan yang panjang akhirnya pihak Athanasius berhasil memenangkannya. Dewan Nicaea akhirnya mengeluarkan pernyataan: Kita percaya kepada Tuhan Yang Esa, Bapak yang Mahabisa, Pencipta yang tampak maupun tidak tampak. Dan percaya pada satu tuhan Yesus Kristus yang sama substansinya (homoousios) dengan Bapak dan seterusnya. Ini merupakan pernyataan yang tegas, dimana esensi anak dinyatakan identik dengan esensi Bapak;
sama tingginya dengan Bapak serta mengakui Kristus sebagai autotheos.
4. Akibat-akibatnya
a. Dampak negatif keputusan tersebut
Keputusan yang dihasiIkan Dewan Nicaea tidak menyelesaikan kontroversi Trinitas, bahkan ternyata merupakan awal dari kontroversi tersebut. Penyelesaian yang diberlakukan Gereja dengan dukungan kerajaan tidaklah memuaskan dan juga diragukan tidak akan bertahan lama. Hal ini berakibat penentuan keimanan orang Kristen bergantung kepada pandangannya atau kekuasaan kerajaan dan bahkan bergantung kepada intrik-intrik pengadilan. Athanasius sendiri, walaupun memenangkan perdebatan, tidak puas dengan cara atau metode pemecahan masalah kegerejaan atau kerohanian seperti itu. Dia cenderung berusaha meyakinkan para penentangnya dengan kekuatan argumen-argumen yang diajukan karena dari kenyataan di atas nyatalah bahwa pergantian kaisar atau raja, perubahan suasana, bisa mengubah seluruh aspek kontroversi tersebut. Pihak yang dimenangkan sekarang bisa menjadi pihak yang dikalahkan atau dipersalahkan di kemudian hari oleh kerajaan. Dan inilah yang sering terjadi dalam sejarah selanjutnya.
b. Para penganut temporer semi-arianisme dalam Gereja Timur
Figur sentral terbesar dalam masalah kontroversi Trinitas pasca-Nicaea adalah Athanasius. Dia merupakan tokoh terbesar pada zaman tersebut; dia seorang cendekiawan yang pintar, karakternya teguh, dan teguh terhadap keyakinannya, serta rela mati atau menderita demi kebenaran. Gereja semakin cenderung menerima pandangan Arianisme, tetapi masih didominasi pandangan semi-arianisme, dan penguasa (kerajaan) biasanya berpihak kepada pandangan kaum mayoritas, sehingga akibatnya timbullah pernyataan atau desas-desus Unus Athanasius contra orbem yang artinya "Satu Athanasius melawan dunia." Lima kali hamba Tuhan ini mendapat hukuman pengasingan serta mendapat perlakuan-perlakuan buruk, serta dikucilkan dari gereja.
Tantangan terhadap Pernyataan Nicaea (Nicene Creed) berasal dari beberapa pihak yang berbeda. Ujar Cunningham: "Para pengikut Arius yang lebih ekstrim mengatakan bahwa anak adalah heteroousios, substansinya tidak sama dengan substansi Bapak; yang lain menyatakan bahwa anak adalah anomoios, tidak seperti Bapak, dan sebagian lagi, yang biasanya dinamakan semi-arianisme menyatakan bahwa: dia adalah homoiousios, artinya substansinya mirip substansi Bapak; tetapi mereka semuanya menolak fraseologi Nicaea karena mereka menentang doktrin Nicaea tentang ketuhanan anak dan mereka melihat serta berkeyakinan bahwa fraseologi tersebut secara akurat dan tegas menyatakan hal itu, walaupun mereka kadang-kadang menambah-nambahkan keberatan lain terhadap pemakaian fraseologi tersebut (lihat Historical Theology I halaman 290). Aliran semi-arianisme mendapat pengikut di daerah Timur wilayah Gereja. Akan tetapi, daerah Barat mempunyai pandangan yang berbeda tentang masalah tersebut, dan mereka setia kepada Dewan Nicaea. Hal ini terutama dapat kita lihat dari kenyataan bahwa sementara Gereja Timur didominasi oleh pandangan Origen bahwa anak lebih rendah daripada Bapak, Gereja Barat sebagian besar dipengaruhi oleh pandangan Tertullian serta mengembangkan suatu jenis teologi yang lebih serasi dengan pandangan-pandangan yarg diperjuangkan oleh Athanasius. Akan tetapi, di samping itu persaingan atau rivalitas antara Roma dan Konstantinopel hendaknya diperhitungkan juga. Pada waktu Athanasius diusir dari Timur, dia diterima dengan tangan terbuka di Barat; dan Dewan Roma (341) dan Sardica (343) secara tanpa syarat mengesahkan doktrin yang diperjuangkan oleh Athanasius.
Akan tetapi, kehadirannya di Barat diperlemah serta dihambat oleh naiknya posisi Marcellus dan Ancyra dalam tokoh-tokoh teologi Nicaea. Dia kembali meyakini perbedaan antara eternal Logos dan impersonal Logos yang terdapat dalam hakikat Tuhan, yang menyatakan diri di dalam bentuk kekuatan kekal (divine energy) dalam pekerjaan penciptaan, dan Logos menjadi personal pada saat reinkarnasi; menyangkal bahwa istilah generation (kelahiran) dapat diterapkan terhadap Logos yang tidak ada sebelumnya (pre-existent Logosi) dan karena itu membatasi penggunaan nama "Anak Tuhan" hanya kepada Logos yang berinkarnasi; dan berkeyakinan bahwa pada akhir masa hidup inkarnasinya, Logos akan kembali kepada hubungan premundanenya (premundane relation) dengan Bapak.
Teorinya ini jelas membenarkan tindakan para pengikut atau penganut paham Origenis atau Eusebius dalam menghadapi pandangan sabellianisme, dan karena itu juga merupakan faktor yang memperlebar perbedaan antara Barat (Roma) dengan Timur (Konstantinopel).
Ada berbagai usaha yang telah dilakukan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat atau perselisihan tersebut. Berbagai Dewan telah mengadakan persidangan di Antiokia; yaitu dewan-dewan yang mengakui definisi-definisi yang dikeluarkan Dewan Nicaea, walaupun dengan dua pengecualian penting. Mereka mengakui konsepsi homoiousios dan kelahiran anak sebagai perbuatan kehendak Bapak. Hal ini, sudah tentu tidak memuaskan pihak Barat. Sinode-sinode dan Dewan-dewan lain mengikut, di mana pengikut Eusebius mencari pengakuan Barat
akan deposisi Athanasius, dan membentuk mazhab-mazhab lain sebagai perantara. Tetapi, semua usaha ini sia-sia sampai naiknya Constantius sebagai kaisar tunggal dan dengan berbagai taktik cerdik dalam menarik para bishop Barat ke garis Eusebius pada Sinode di Arles dan Milan (355).
c. Pembalikan pasang
Sekali lagi terbukti bahwa kemenangan adalah hal yang berbahaya jika landasan kemenangan itu adalah keburukan. Ternyata hal serupa merupakan sinyal atau pertanda bagi kekacauan pihak anti-Nicene (penentang doktrin Nicaea). Unsur-unsur heterogen yang membentuk pihak ini, dipersatukan oleh sikap menentang mereka terhadap pihak Nicene (Nicaea). Tetapi, segera setelah tekanan-tekanan dari luar mereda, kelemahannya; yakni tidak adanya kesatuan intern menjadi semakin nyata dan menonjol. Penganut paham Arianisme dan semi-arianisme mulai berselisih, sementara kelompok terakhir ini sendiri tidak mampu bersatu. Pada Dewan Sirmium (357) ada usaha untuk mempersatukan semua pihak dengan mengesampingkan masalah-masalah penggunaan istilah-istilah tertentu seperti ousia, homoousios, dan homoiousios, dengan menyatakannya sebagai di luar jangkauan pengetahuan manusia.
Tetapi perpecahan sudah terlanjur terjadi. Para penganut Arianisme sejati mulai memperlihatkan belangnya, dan mereka memaksa penganut semi-arianisme yang paling konservatif ke dalam kamp Nicene.
Sementara itu muncullah suatu pihak baru di Nicene, yang terdiri atas orang-orang yang merupakan murid Mazhab Origenis, tetapi cenderung dikelompokkan sebagai pengikut Athanasius dan Nicene Creed (Pernyataan Nicaea) karena mereka mempunyai interpretasi yang lebih sempurna tentang kebenaran. Tokoh-tokohnya antara lain adalah Tiga Bersaudara yaitu: Cappadocians, Basil yang Agung, Gregory dari Nyssa, dan Gregory dari Nazianzus. Mereka melihat sumber kesalahpahaman di dalam pemakaian istilah hipostases; istilah ini dianggap sinonim dengan ousia (esensi) maupun prosopon (person), dan karena itu mereka membatasi penggunaan istilah ini hanya untuk arti personal subsistence dari Bapak dan anak (personal subsistence of Father and Son). Tidak seperti Athanasius yang mengambil titik tolak keesaan ousia abadi dari Tuhan (one divine ousia of God), mereka mencari titik tolak dari ketiga hipostases (person) dalam ada-kekal (divine being), dan mereka berusaha memasukkannya di dalam konsepsi ousia kekal atau ousia abadi (divine ousia). Gregory memperbandingkan hubungan ketiga person dalam Godhead dengan ada-kekal dengan hubungan ketiga orang tersebut dan dengan humanitasnya.
Dengan penekanan mereka terhadap ketiga hipostases dalam ada-kekal nyatalah bahwa mereka membebaskan doktrin Nicaea dari noda Sabellianisme di mata pengikut Eusebius, dan bahwa personalitas Logos adalah cukup jelas. Bersamaan dengan itu dipertegas dan dipertahankannya ide keesaan ketiga person tersebut di dalam Godhead serta mengilustrasikan pengertian ini dengan berbagai cara.
d. Perselisihan tentang roh kudus
Hingga kini, roh kudus belum banyak mendapat perhatian dan pembahasan, walaupun telah muncul berbagai opini yang simpang-siur tentang subyek tersebut. Arius berpendapat bahwa roh kudus adalah sesuatu yang pertama diciptakan oleh anak, suatu pendapat yang dalam banyak hal sesuai dengan pandangan Origen. Athanasius berpendapat bahwa esensi roh kudus sama dengan esensi Bapak tetapi pernyataan Nicene hanya mengeluarkan satu pernyataan yang tidak pasti tentang hal ini, "Dan (saya percaya) di dalam roh kudus." Kelompok Cappadocian mengikuti atau menganut opini atau pandangan Athanasius dan dengan penuh semangat mempertahankan opini
yang menyatakan homoousios roh kudus. Hilary dari Poitiers di Barat berpendapat bahwa roh kudus sebagai pencarian ke dalam Tuhan, bukanlah sesuatu yang di luar esensi kekal (divine essence). Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Macedonius, bishop Kota Konstantinopel, yang menyatakan bahwa roh kudus adalah suatu ciptaan yang lebih rendah (subordinate) daripada anak (tunduk terhadap anak), akan tetapi pendapat ini pada umumnya dianggap heretik (berbau murtad), dan para pengikutnya digelari aliran Pneumatokis (pneuma = spirit, machomai = ucapan iblis). Pada waktu Dewan Umum Konstantinopel mengadakan pertemuan pada tahun 381, dewan ini mengumumkan bahwa mereka mengakui pernyataan Nicaea, yang dipimpin Gregory dari Nazianzus menerima perumusan berikut tentang roh kudus: "Dan kami percaya di dalam roh kudus, Tuhan Pemberi Kehidupan, yang berasal dari Bapak yang akan dimenangkan oleh Bapak dan anak, dan yang berbicara melalui para nabi."
e. Penyempurnaan doktrin Trinitas
Pernyataan Dewan Konstantinopel ternyata tidak lengkap dalam dua hal: pertama, istilah homoousios tidak digunakan, sehingga konsubstansialitas roh dengan Bapak tidak dipastikan secara langsung; kedua, hubungan roh kudus dengan kedua person lain tidak didefinisikan. Pernyataan ini berimplikasi bahwa roh kudus berasal dari Bapak, sementara tidak ada sangkalan maupun pembenaran bahwa dia (roh kudus) juga berasal dari anak. Tidak ada kesepakatan pendapat tentang masalah ini. Mengatakan bahwa roh kudus berasal dari Bapak saja, seakan-akan menyangkal keesaan anak dengan Bapak; dan mengatakan roh kudus juga berasal dari anak, bagaikan menempatkan roh kudus pada kedudukan yang lebih dependen daripada kedudukan anak dan sekaligus merupakan
sangkalan akan sifat ketuhanan roh kudus itu sendiri. Athanasius, Basil dan Gregory dari Nyssa meyakini
keberasalan roh kudus dari Bapak tanpa menentang doktrin bahwa roh itu juga berasal dari anak. Tetapi Epiphanius dan Marcellus dari Ancyra secara positif membenarkan doktrin ini.
Ahli-ahli teologi Barat meyakini bahwa roh kudus berasal dari Bapak dan anak; dan pada sinode di Toledo pada tahun 589, filioque yang terkenal itu ditambahkan ke dalam lambang aliran Konstantinopel (Constantinopolitan Symbol). Di Timur, perumusan akhir doktrin itu dibuat oleh Johannes dari Damascus (John of Damascus). Menurut dia, hanya ada satu esensi kekal (divine essence), tetapi ada tiga person atau hipostases. Ketiga hipostases atau person ini dipandang sebagai realitas dalam ada-kekal (divine being), tetapi satu sama lain berhubungan tidak seperti tiga orang. Mereka (ketiga orang) tersebut adalah satu dalam segala hal, kecuali dalam cara penampakannya (pola eksistensinya). Bapak dicirikan oleh non-generation, anak dicirikan oleh generation dan roh kudus dicirikan oleh prosesi (procession). Hubungan antarperson itu disebutkan sebagai satu mutual interprenetation (circumincession). Dengan tidak menyangkal penolakannya atas pandangan subordinasionisme, Johannes dari Damascus masih menyebutkan Bapak sebagai sumber Godhead, dan menggambarkan roh kudus sebagai yang dianugerahkan Bapak melalui Logos. Ini masih tetap merupakan subordinasionisme dalam tafsir Yunani. Gereja Timur tidak pernah memberlakukan filioque Sinode Toledo. Inilah sumber perbedaan pandangan antara gereja Timur dan Barat.
Konsepsi Barat tentang Trinitas mencapai fase akhir di tangan Augustine melalui karya besarnya yang berjudul De
Trinitate. Dia juga menekankan atau menitikberatkan keesaan esensi dan trinitas person tersebut. Masing-masing person tersebut memiliki esensi keseluruhan dan sebegitu jauh identik dengan esensi person lainnya. Mereka tidak seperti tiga manusia, karena masing-masing manusia hanya memiliki sebagian dari sifat generik manusia. Lebih lanjut, satu person tidak, dan tidak akan pernah terpisah dari person yang lain; hubungan kebergantungan di antara ketiga person tersebut adalah hubungan mutual. Esensi kekal dimiliki ketiga person itu dilihat dari sudut yang berbeda; yakni sebagai yang menimbulkan, yang ditimbulkan, atau yang diberi jiwa. Di antara ketiga hipostases tersebut terjalin suatu hubungan interpenetrasi dan saling-pendiaman mutual. Istilah person menurut Augustine tidak cocok untuk menyatakan hubungan di mana ketiga person itu ada saling menempati; dia tetap menggunakan istilah itu bukan untuk menggambarkan hubungan itu, tetapi untuk tidak berdiam. Dalam konsepsi ini tentang Trinitas, roh kudus diakui sebagai berasal (proceeding) bukan hanya dari Bapak, tetapi juga dari anak.
adalah orang pertama yang secara gamblang menyatakan tri-personalitas Tuhan serta mempertahankan pendapat tentang keesaan substansial ketiga person tersebut. Namun dia belum mampu menerangkan dengan jelas tentang doktrin Trinitas.
Sementara itu muncullah aliran Monarkianisme yang menekankan keesaan Tuhan dan sifat ketuhanan Kristus, yang meliputi penyangkalan Trinitas (jadi Trinitas tidak diartikan seperti yang terkandung dalam arti kata tersebut). Tertullian dan Hippolytus memperjuangkan pandangan-pandangan mereka di Barat sementara Origen menentangnya habis-habisan di Timur. Mereka membela kedudukan kaum trinitarian sebagaimana diperlihatkan dalam keyakinan rasul (Kisah Rasul). Walaupun demikian, pandangan Origen tentang Trinitas tidak seluruhnya memuaskan. Dia berkeyakinan kuat bahwa baik Bapak maupun anak merupakan hipostases abadi (kekal) atau personal subsistence di dalam Tuhan. Sementara dia adalah orang pertama yang menerangkan hubungan Bapak dengan anak dengan
menggunakan ide eternaI generation, dia menganggap hal ini meliputi subordinasi orang kedua (second person) terhadap orang pertama (first person) dalam kaitannya dengan esensi. Bapak berkomunikasi dengan anak dan anak adalah sebagai spesies sekunder kekekalan, yang dinamakan Theos, tetapi bukan Ho Theos. Bahkan anak kadang-kadang dipanggil sebagai Theos Deuteros. Ini merupakan cacat paling radikal dalam doktrin Origen tentang Trinitas dan memberikan batu loncatan bagi Arius. Cacat lain yang terdapat dalam pendapatnya bahwa, penciptaan anak bukanlah perbuatan perlu (necessary act) dari Bapak tetapi bersumber pada kehendak-Nya yang berdaulat. Akan tetapi dia tidak melontarkan ide suksesi temporal. Dalam doktrinnya tentang Roh Kudus dia masih mengesampingkan representasi Kitab Injil. Dia bukan nanya menempatkan Roh Kudus sebagai "bawahan" terhadap anak, tetapi dia juga mengartikannya sebagai ciptaan anak. Bahkan salah satu pernyataannya berimplikasi bahwa Dia hanyalah sebagai suata ciptaan belaka.
2. Hakikat Kontroversi
a. Arius dan Arianisme
Perselisihan pendapat terbesar di kalangan pemikir Trinitas adalah kontroversi pandangan Arius, karena
pandangan-pandangan "anti-trinitas" yang dilontarkan Arius, seorang presbyter Alexandrux yang daya debatnya besar walaupun jiwanya atau imannya diragukan. Ide dominan Arius adalah asas monoteistis aliran Monarkianisme bahwa hanya ada satu Tuhan (tidak mempunyai anak). Ada yang tidak mempunyai asal usul, tanpa keberadaan sebelumnya. Dia membedakan antara Logos yang tetap ada di dalam Tuhan, yang merupakan kekuatan yang kekal dengan Anak atau Logos yang pada akhirnya berinkarnasi. Anak atau Logos terakhir ini diciptakan oleh Bapak yang dalam pandangan Arius berarti bahwa dia diciptakan. Dia diciptakan sebelum alam semesta ini diciptakan, dan dengan alasan ini berarti dia bukanlah esensi yang kekal. Dia hanyalah yang terbesar dan pertama di antara ciptaan-ciptaan lainnya dan melalui dialah alam semesta ini diciptakan. Karena itu dia dapat diganti, tetapi dia dipilih Tuhan demi keselamatan umat manusia, dan dia dinamakan anak Tuhan. Dalam pengangkatannya sebagai anak
dialah yang disembah oleh manusia.
Dalam mendukung pandangan-pandangannya, Arius mencari; sejumlah ayat Alkitab yang memperlihatkan anak berkedudukan di bawah atau inferior terhadap Bapak seperti "Prov 8:22, Mateus 28:18, Markus 13:32, Lukas 18:19, Johannes 5:19;14:28,1 Korintus 15:28."
b. Bantahan terhadap Arianisme
Arius mendapat bantahan pertama dari bishop Alexander yang meyakini sifat ketuhanan yang sesungguhnya dimiliki anak dan dalam waktu yang sama mempertahankan doktrin anak kekal yang diciptakan. Akan tetapi sesuai dengan perjalanan waktu, penentangnya ternyata adalah uskup Alexandria sendiri, yakni Athanasius, yang dalam sejarah dikenal sebagai tokoh kebenaran yang tegar, kukuh, dan tidak pernah ragu-ragu, Seeberg mengemukakan tiga kekuatan atau kelebihan utama Athanasius, yakni:
1. Keteguhan dan keaslian atau kemurnian karakternya;
2. Landasannya yang pasti di atas mana dia susun konsepsi tentang keesaan Tuhan;
3. Kebijaksanaannya dalam menerangkan kepada umatnya agar
mengakui hakikat dan makna Kristus.
Dia berpendapat bahwa memandang Kristus sebagai ciptaan sama dengan menyangkal pandangan bahwa iman terhadap dia membawa keselamatan bagi umat manusia.
Dia sangat menekankan keesaan Tuhan dan mau mengakui doktrin Trinitas yang tidak membahayakan konsep keesaan ini. Sementara bapak dan anak sama-sama memiliki sifat atau esensi kekekalan yang sama, sesungguhnya tidak ada pembagian atau pemisahan dalam The essential being of God, dan adalah salah bila disebutkan Theos Deuteros. Tetapi di samping menekankan keesaan Tuhan, dia juga mengakui adanya tiga hipostases dalam Tuhan. Dia menolak untuk meyakini "Anak yang diciptakan sebelum yang lain diciptakan" seperti yang dianut Arius dan mempertahankan eksistensi kekal dan independen anak. Dalam waktu yang sama dia berpendapat bahwa ketiga hipostases dalam Tuhan jangan dilihat sebagai hal yang sendiri-sendiri, karena jika demikian, bisa bermuara
kepada politeisme. Menurut dia, keesaan Tuhan maupun perbedaan-perbedaan dalam keberadaan-Nya paling tepat dinyatakan dengan "keesaan esensi." Ini berarti bahwa anak mempunyai substansi sama dengan substansi Bapak, tetapi juga berarti bahwa keduanya bisa berbeda dalam aspek lain, misalnya dalam personal subsistensinya. Seperti Origen, dia mengajarkan bahwa anak adalah hasil penciptaan (begotten by generation), tetapi berbeda dari Origen, dia menerangkannya penciptaan ini merupakan tindakan kerahasiaan Tuhan, bukan sebagai tindakan yang semata-mata bergantung kepada kedaulatan Tuhan.
3. Dewan Nicaea
Dewan Nicaea dibentuk tahun 325 untuk memecahkan pertentangan pandangan ini. Persoalan atau kontroversi ini diperjelas agar pembahasannya lebih mudah. Pengikut Arius menolak pandangan tentang penciptaan eternal (penciptaan yang bebas dari dimensi waktu), sementara Athanasius mempertahankannya. Pengikut Arius mengatakan bahwa anak diciptakan dari tidak ada, sementara Athanasius mengatakan bahwa dia diciptakan dari esensi Bapak. Pengikut Arius berpendapat bahwa anak tidak sama substansinya dengan Bapak sementara Athanasius berpendapat bahwa anak adalah homoousios dengan Bapak.
Di samping kedua pihak yang bertentangan itu masih ada pihak tengah yang merupakan mayoritas yang dipimpin oleh ahli sejarah gereja, yakni Eusebius dari Caesarea, dan juga dikenal sebagai pihak Origenistik dan landasan pandangannya adalah asas-asas yang dikemukakan Origen. Pihak ini condong kepada pihak Arius dan menentang doktrin bahwa anak sama substansinya dengan Bapak (homoousios). Pihak ini mengajukan suatu pernyataan yang telah diketengahkan Eusebius, yang menyerahkan segala sesuatunya kepada pihak Alexander dan Athanasius dengan satu pengecualian yakni doktrin di atas; dan menyatakan bahwa istilah homoousios hendaknya diganti
dengan homoiousios; jadi mereka mengajarkan bahwa anak sama substansinya dengan Bapak. Setelah melalui perdebatan yang panjang akhirnya pihak Athanasius berhasil memenangkannya. Dewan Nicaea akhirnya mengeluarkan pernyataan: Kita percaya kepada Tuhan Yang Esa, Bapak yang Mahabisa, Pencipta yang tampak maupun tidak tampak. Dan percaya pada satu tuhan Yesus Kristus yang sama substansinya (homoousios) dengan Bapak dan seterusnya. Ini merupakan pernyataan yang tegas, dimana esensi anak dinyatakan identik dengan esensi Bapak;
sama tingginya dengan Bapak serta mengakui Kristus sebagai autotheos.
4. Akibat-akibatnya
a. Dampak negatif keputusan tersebut
Keputusan yang dihasiIkan Dewan Nicaea tidak menyelesaikan kontroversi Trinitas, bahkan ternyata merupakan awal dari kontroversi tersebut. Penyelesaian yang diberlakukan Gereja dengan dukungan kerajaan tidaklah memuaskan dan juga diragukan tidak akan bertahan lama. Hal ini berakibat penentuan keimanan orang Kristen bergantung kepada pandangannya atau kekuasaan kerajaan dan bahkan bergantung kepada intrik-intrik pengadilan. Athanasius sendiri, walaupun memenangkan perdebatan, tidak puas dengan cara atau metode pemecahan masalah kegerejaan atau kerohanian seperti itu. Dia cenderung berusaha meyakinkan para penentangnya dengan kekuatan argumen-argumen yang diajukan karena dari kenyataan di atas nyatalah bahwa pergantian kaisar atau raja, perubahan suasana, bisa mengubah seluruh aspek kontroversi tersebut. Pihak yang dimenangkan sekarang bisa menjadi pihak yang dikalahkan atau dipersalahkan di kemudian hari oleh kerajaan. Dan inilah yang sering terjadi dalam sejarah selanjutnya.
b. Para penganut temporer semi-arianisme dalam Gereja Timur
Figur sentral terbesar dalam masalah kontroversi Trinitas pasca-Nicaea adalah Athanasius. Dia merupakan tokoh terbesar pada zaman tersebut; dia seorang cendekiawan yang pintar, karakternya teguh, dan teguh terhadap keyakinannya, serta rela mati atau menderita demi kebenaran. Gereja semakin cenderung menerima pandangan Arianisme, tetapi masih didominasi pandangan semi-arianisme, dan penguasa (kerajaan) biasanya berpihak kepada pandangan kaum mayoritas, sehingga akibatnya timbullah pernyataan atau desas-desus Unus Athanasius contra orbem yang artinya "Satu Athanasius melawan dunia." Lima kali hamba Tuhan ini mendapat hukuman pengasingan serta mendapat perlakuan-perlakuan buruk, serta dikucilkan dari gereja.
Tantangan terhadap Pernyataan Nicaea (Nicene Creed) berasal dari beberapa pihak yang berbeda. Ujar Cunningham: "Para pengikut Arius yang lebih ekstrim mengatakan bahwa anak adalah heteroousios, substansinya tidak sama dengan substansi Bapak; yang lain menyatakan bahwa anak adalah anomoios, tidak seperti Bapak, dan sebagian lagi, yang biasanya dinamakan semi-arianisme menyatakan bahwa: dia adalah homoiousios, artinya substansinya mirip substansi Bapak; tetapi mereka semuanya menolak fraseologi Nicaea karena mereka menentang doktrin Nicaea tentang ketuhanan anak dan mereka melihat serta berkeyakinan bahwa fraseologi tersebut secara akurat dan tegas menyatakan hal itu, walaupun mereka kadang-kadang menambah-nambahkan keberatan lain terhadap pemakaian fraseologi tersebut (lihat Historical Theology I halaman 290). Aliran semi-arianisme mendapat pengikut di daerah Timur wilayah Gereja. Akan tetapi, daerah Barat mempunyai pandangan yang berbeda tentang masalah tersebut, dan mereka setia kepada Dewan Nicaea. Hal ini terutama dapat kita lihat dari kenyataan bahwa sementara Gereja Timur didominasi oleh pandangan Origen bahwa anak lebih rendah daripada Bapak, Gereja Barat sebagian besar dipengaruhi oleh pandangan Tertullian serta mengembangkan suatu jenis teologi yang lebih serasi dengan pandangan-pandangan yarg diperjuangkan oleh Athanasius. Akan tetapi, di samping itu persaingan atau rivalitas antara Roma dan Konstantinopel hendaknya diperhitungkan juga. Pada waktu Athanasius diusir dari Timur, dia diterima dengan tangan terbuka di Barat; dan Dewan Roma (341) dan Sardica (343) secara tanpa syarat mengesahkan doktrin yang diperjuangkan oleh Athanasius.
Akan tetapi, kehadirannya di Barat diperlemah serta dihambat oleh naiknya posisi Marcellus dan Ancyra dalam tokoh-tokoh teologi Nicaea. Dia kembali meyakini perbedaan antara eternal Logos dan impersonal Logos yang terdapat dalam hakikat Tuhan, yang menyatakan diri di dalam bentuk kekuatan kekal (divine energy) dalam pekerjaan penciptaan, dan Logos menjadi personal pada saat reinkarnasi; menyangkal bahwa istilah generation (kelahiran) dapat diterapkan terhadap Logos yang tidak ada sebelumnya (pre-existent Logosi) dan karena itu membatasi penggunaan nama "Anak Tuhan" hanya kepada Logos yang berinkarnasi; dan berkeyakinan bahwa pada akhir masa hidup inkarnasinya, Logos akan kembali kepada hubungan premundanenya (premundane relation) dengan Bapak.
Teorinya ini jelas membenarkan tindakan para pengikut atau penganut paham Origenis atau Eusebius dalam menghadapi pandangan sabellianisme, dan karena itu juga merupakan faktor yang memperlebar perbedaan antara Barat (Roma) dengan Timur (Konstantinopel).
Ada berbagai usaha yang telah dilakukan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat atau perselisihan tersebut. Berbagai Dewan telah mengadakan persidangan di Antiokia; yaitu dewan-dewan yang mengakui definisi-definisi yang dikeluarkan Dewan Nicaea, walaupun dengan dua pengecualian penting. Mereka mengakui konsepsi homoiousios dan kelahiran anak sebagai perbuatan kehendak Bapak. Hal ini, sudah tentu tidak memuaskan pihak Barat. Sinode-sinode dan Dewan-dewan lain mengikut, di mana pengikut Eusebius mencari pengakuan Barat
akan deposisi Athanasius, dan membentuk mazhab-mazhab lain sebagai perantara. Tetapi, semua usaha ini sia-sia sampai naiknya Constantius sebagai kaisar tunggal dan dengan berbagai taktik cerdik dalam menarik para bishop Barat ke garis Eusebius pada Sinode di Arles dan Milan (355).
c. Pembalikan pasang
Sekali lagi terbukti bahwa kemenangan adalah hal yang berbahaya jika landasan kemenangan itu adalah keburukan. Ternyata hal serupa merupakan sinyal atau pertanda bagi kekacauan pihak anti-Nicene (penentang doktrin Nicaea). Unsur-unsur heterogen yang membentuk pihak ini, dipersatukan oleh sikap menentang mereka terhadap pihak Nicene (Nicaea). Tetapi, segera setelah tekanan-tekanan dari luar mereda, kelemahannya; yakni tidak adanya kesatuan intern menjadi semakin nyata dan menonjol. Penganut paham Arianisme dan semi-arianisme mulai berselisih, sementara kelompok terakhir ini sendiri tidak mampu bersatu. Pada Dewan Sirmium (357) ada usaha untuk mempersatukan semua pihak dengan mengesampingkan masalah-masalah penggunaan istilah-istilah tertentu seperti ousia, homoousios, dan homoiousios, dengan menyatakannya sebagai di luar jangkauan pengetahuan manusia.
Tetapi perpecahan sudah terlanjur terjadi. Para penganut Arianisme sejati mulai memperlihatkan belangnya, dan mereka memaksa penganut semi-arianisme yang paling konservatif ke dalam kamp Nicene.
Sementara itu muncullah suatu pihak baru di Nicene, yang terdiri atas orang-orang yang merupakan murid Mazhab Origenis, tetapi cenderung dikelompokkan sebagai pengikut Athanasius dan Nicene Creed (Pernyataan Nicaea) karena mereka mempunyai interpretasi yang lebih sempurna tentang kebenaran. Tokoh-tokohnya antara lain adalah Tiga Bersaudara yaitu: Cappadocians, Basil yang Agung, Gregory dari Nyssa, dan Gregory dari Nazianzus. Mereka melihat sumber kesalahpahaman di dalam pemakaian istilah hipostases; istilah ini dianggap sinonim dengan ousia (esensi) maupun prosopon (person), dan karena itu mereka membatasi penggunaan istilah ini hanya untuk arti personal subsistence dari Bapak dan anak (personal subsistence of Father and Son). Tidak seperti Athanasius yang mengambil titik tolak keesaan ousia abadi dari Tuhan (one divine ousia of God), mereka mencari titik tolak dari ketiga hipostases (person) dalam ada-kekal (divine being), dan mereka berusaha memasukkannya di dalam konsepsi ousia kekal atau ousia abadi (divine ousia). Gregory memperbandingkan hubungan ketiga person dalam Godhead dengan ada-kekal dengan hubungan ketiga orang tersebut dan dengan humanitasnya.
Dengan penekanan mereka terhadap ketiga hipostases dalam ada-kekal nyatalah bahwa mereka membebaskan doktrin Nicaea dari noda Sabellianisme di mata pengikut Eusebius, dan bahwa personalitas Logos adalah cukup jelas. Bersamaan dengan itu dipertegas dan dipertahankannya ide keesaan ketiga person tersebut di dalam Godhead serta mengilustrasikan pengertian ini dengan berbagai cara.
d. Perselisihan tentang roh kudus
Hingga kini, roh kudus belum banyak mendapat perhatian dan pembahasan, walaupun telah muncul berbagai opini yang simpang-siur tentang subyek tersebut. Arius berpendapat bahwa roh kudus adalah sesuatu yang pertama diciptakan oleh anak, suatu pendapat yang dalam banyak hal sesuai dengan pandangan Origen. Athanasius berpendapat bahwa esensi roh kudus sama dengan esensi Bapak tetapi pernyataan Nicene hanya mengeluarkan satu pernyataan yang tidak pasti tentang hal ini, "Dan (saya percaya) di dalam roh kudus." Kelompok Cappadocian mengikuti atau menganut opini atau pandangan Athanasius dan dengan penuh semangat mempertahankan opini
yang menyatakan homoousios roh kudus. Hilary dari Poitiers di Barat berpendapat bahwa roh kudus sebagai pencarian ke dalam Tuhan, bukanlah sesuatu yang di luar esensi kekal (divine essence). Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Macedonius, bishop Kota Konstantinopel, yang menyatakan bahwa roh kudus adalah suatu ciptaan yang lebih rendah (subordinate) daripada anak (tunduk terhadap anak), akan tetapi pendapat ini pada umumnya dianggap heretik (berbau murtad), dan para pengikutnya digelari aliran Pneumatokis (pneuma = spirit, machomai = ucapan iblis). Pada waktu Dewan Umum Konstantinopel mengadakan pertemuan pada tahun 381, dewan ini mengumumkan bahwa mereka mengakui pernyataan Nicaea, yang dipimpin Gregory dari Nazianzus menerima perumusan berikut tentang roh kudus: "Dan kami percaya di dalam roh kudus, Tuhan Pemberi Kehidupan, yang berasal dari Bapak yang akan dimenangkan oleh Bapak dan anak, dan yang berbicara melalui para nabi."
e. Penyempurnaan doktrin Trinitas
Pernyataan Dewan Konstantinopel ternyata tidak lengkap dalam dua hal: pertama, istilah homoousios tidak digunakan, sehingga konsubstansialitas roh dengan Bapak tidak dipastikan secara langsung; kedua, hubungan roh kudus dengan kedua person lain tidak didefinisikan. Pernyataan ini berimplikasi bahwa roh kudus berasal dari Bapak, sementara tidak ada sangkalan maupun pembenaran bahwa dia (roh kudus) juga berasal dari anak. Tidak ada kesepakatan pendapat tentang masalah ini. Mengatakan bahwa roh kudus berasal dari Bapak saja, seakan-akan menyangkal keesaan anak dengan Bapak; dan mengatakan roh kudus juga berasal dari anak, bagaikan menempatkan roh kudus pada kedudukan yang lebih dependen daripada kedudukan anak dan sekaligus merupakan
sangkalan akan sifat ketuhanan roh kudus itu sendiri. Athanasius, Basil dan Gregory dari Nyssa meyakini
keberasalan roh kudus dari Bapak tanpa menentang doktrin bahwa roh itu juga berasal dari anak. Tetapi Epiphanius dan Marcellus dari Ancyra secara positif membenarkan doktrin ini.
Ahli-ahli teologi Barat meyakini bahwa roh kudus berasal dari Bapak dan anak; dan pada sinode di Toledo pada tahun 589, filioque yang terkenal itu ditambahkan ke dalam lambang aliran Konstantinopel (Constantinopolitan Symbol). Di Timur, perumusan akhir doktrin itu dibuat oleh Johannes dari Damascus (John of Damascus). Menurut dia, hanya ada satu esensi kekal (divine essence), tetapi ada tiga person atau hipostases. Ketiga hipostases atau person ini dipandang sebagai realitas dalam ada-kekal (divine being), tetapi satu sama lain berhubungan tidak seperti tiga orang. Mereka (ketiga orang) tersebut adalah satu dalam segala hal, kecuali dalam cara penampakannya (pola eksistensinya). Bapak dicirikan oleh non-generation, anak dicirikan oleh generation dan roh kudus dicirikan oleh prosesi (procession). Hubungan antarperson itu disebutkan sebagai satu mutual interprenetation (circumincession). Dengan tidak menyangkal penolakannya atas pandangan subordinasionisme, Johannes dari Damascus masih menyebutkan Bapak sebagai sumber Godhead, dan menggambarkan roh kudus sebagai yang dianugerahkan Bapak melalui Logos. Ini masih tetap merupakan subordinasionisme dalam tafsir Yunani. Gereja Timur tidak pernah memberlakukan filioque Sinode Toledo. Inilah sumber perbedaan pandangan antara gereja Timur dan Barat.
Konsepsi Barat tentang Trinitas mencapai fase akhir di tangan Augustine melalui karya besarnya yang berjudul De
Trinitate. Dia juga menekankan atau menitikberatkan keesaan esensi dan trinitas person tersebut. Masing-masing person tersebut memiliki esensi keseluruhan dan sebegitu jauh identik dengan esensi person lainnya. Mereka tidak seperti tiga manusia, karena masing-masing manusia hanya memiliki sebagian dari sifat generik manusia. Lebih lanjut, satu person tidak, dan tidak akan pernah terpisah dari person yang lain; hubungan kebergantungan di antara ketiga person tersebut adalah hubungan mutual. Esensi kekal dimiliki ketiga person itu dilihat dari sudut yang berbeda; yakni sebagai yang menimbulkan, yang ditimbulkan, atau yang diberi jiwa. Di antara ketiga hipostases tersebut terjalin suatu hubungan interpenetrasi dan saling-pendiaman mutual. Istilah person menurut Augustine tidak cocok untuk menyatakan hubungan di mana ketiga person itu ada saling menempati; dia tetap menggunakan istilah itu bukan untuk menggambarkan hubungan itu, tetapi untuk tidak berdiam. Dalam konsepsi ini tentang Trinitas, roh kudus diakui sebagai berasal (proceeding) bukan hanya dari Bapak, tetapi juga dari anak.
Masalah Kristologis dapat didekati dari segi teologi dan dari segi soteriology. Walaupun Bapak Gereja yang terdahulu tidak kehilangan pandangan mengenai landasan soteriologis mengenai doktrin Kristus, tetapi mereka tidak menonjolkan hal tersebut dalam pembahasan-pembahasan pokoknya. Napas dari kontroversi trinitarian merupakan landasan pendekatan studi mengenai Kristus dari segi teologi saja. Keputusan-keputusan yang menimbulkan kontroversi trinitarian, yakni bahwa Kristus sebagai putra Allah (Allah anak) adalah konsubstansial dengan Father (Allah Bapak) dan oleh karena itu merupakan very God, hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai hubungan antara ketuhanan dan kemanusiaan dalam Kristus
Kontroversi Kristologis yang terdahulu tidak menyajikan suatu pembaharuan yang mendatangkan kebaikan. Nafsu sering dituruti, intrik-intrik yang tidak layak juga sering memainkan suatu bagian penting, dan bahkan kekerasan juga kadang-kadang dilakukan. Jadi dapat dilihat bahwa suasana seperti tersebut di atas hanya dapat menimbulkan error, dan kontroversi ini menimbulkan suatu formulasi mengenai doktrin dari person of Christ yang masih dianggap sebagai standar sekarang ini. Holy Spirit (Rohul Kudus) telah membimbing Gereja, ke dalam suasana kebenaran yang nyata, walaupun bimbingan tersebut sering shame dan confuse (membingungkan). Ada beberapa klaim bahwa Gereja tersebut terlalu banyak berusaha mendefinisikan atau menjelaskan misteri yang berasal dari seluruh definisi terdahulu. Namun demikian, akan lahir dalam pemikiran bahwa early Church (Gereja terdahulu) tidak mengklaim mampu untuk menembus kedalaman dari doktrin yang maha besar ini, dan tidak berpura-pura untuk memberikan suatu solusi mengenai masalah inkarnasi dalam rumusan Chalcedon. Hal tersebut hanya merupakan
kebenaran terhadap kesalahan teori saja, dan untuk memberikan suatu rumusan mengenai konstruksi kebenaran yang sejati.
Gereja melakukan penelitian mengenai konsepsi tentang Kristus, yang dipertimbangkan terhadap hal-hal berikut:
(a) Kebenaran tentang kematian Kristus;
(b) Kebenaran mengenai kemanusiaan Kristus;
(c) Gabungan dan kematian dan kemanusiaan dalam satu person, dan
(d) Perbedaan nyata dari kematian dan kemanusiaan dalam satu person.
Jelas bahwa sepanjang requirement ini tidak dipenuhi atau hanya sebagian dipenuhi maka konsepsi mengenai Kristus akan menjadi tidak sempurna (defective). Seluruh bid'ah Kristologis yang timbul dalam Gereja terdahulu berasal dari kegagalan untuk menggabungkan seluruh elemen-elemen ini dalam doctrinal statement mengenai kebenaran. Ada beberapa orang yang menyangkal secara keseluruhan atau sebagian mengenai kebenaran kematian Kristus, dan ada yang membantah secara keseluruhan atau sebagian mengenai kebenaran dari kemanusiaan Kristus. Beberapa orang menekankan keesaan dari person dengan mengorbankan dua nature lainnya, dan yang lainnya menekankan perbedaan karakter dari dua nature dalam Kristus dengan mengorbankan keesaan dari person.
Kontroversi Kristologis yang terdahulu tidak menyajikan suatu pembaharuan yang mendatangkan kebaikan. Nafsu sering dituruti, intrik-intrik yang tidak layak juga sering memainkan suatu bagian penting, dan bahkan kekerasan juga kadang-kadang dilakukan. Jadi dapat dilihat bahwa suasana seperti tersebut di atas hanya dapat menimbulkan error, dan kontroversi ini menimbulkan suatu formulasi mengenai doktrin dari person of Christ yang masih dianggap sebagai standar sekarang ini. Holy Spirit (Rohul Kudus) telah membimbing Gereja, ke dalam suasana kebenaran yang nyata, walaupun bimbingan tersebut sering shame dan confuse (membingungkan). Ada beberapa klaim bahwa Gereja tersebut terlalu banyak berusaha mendefinisikan atau menjelaskan misteri yang berasal dari seluruh definisi terdahulu. Namun demikian, akan lahir dalam pemikiran bahwa early Church (Gereja terdahulu) tidak mengklaim mampu untuk menembus kedalaman dari doktrin yang maha besar ini, dan tidak berpura-pura untuk memberikan suatu solusi mengenai masalah inkarnasi dalam rumusan Chalcedon. Hal tersebut hanya merupakan
kebenaran terhadap kesalahan teori saja, dan untuk memberikan suatu rumusan mengenai konstruksi kebenaran yang sejati.
Gereja melakukan penelitian mengenai konsepsi tentang Kristus, yang dipertimbangkan terhadap hal-hal berikut:
(a) Kebenaran tentang kematian Kristus;
(b) Kebenaran mengenai kemanusiaan Kristus;
(c) Gabungan dan kematian dan kemanusiaan dalam satu person, dan
(d) Perbedaan nyata dari kematian dan kemanusiaan dalam satu person.
Jelas bahwa sepanjang requirement ini tidak dipenuhi atau hanya sebagian dipenuhi maka konsepsi mengenai Kristus akan menjadi tidak sempurna (defective). Seluruh bid'ah Kristologis yang timbul dalam Gereja terdahulu berasal dari kegagalan untuk menggabungkan seluruh elemen-elemen ini dalam doctrinal statement mengenai kebenaran. Ada beberapa orang yang menyangkal secara keseluruhan atau sebagian mengenai kebenaran kematian Kristus, dan ada yang membantah secara keseluruhan atau sebagian mengenai kebenaran dari kemanusiaan Kristus. Beberapa orang menekankan keesaan dari person dengan mengorbankan dua nature lainnya, dan yang lainnya menekankan perbedaan karakter dari dua nature dalam Kristus dengan mengorbankan keesaan dari person.
Kontroversi Kristologis : Tahap Pertama
a. Latar Belakang Kontroversi ini juga mempunyai akar-akar di masa lalu. Monarki-monarki Ebionites, Alogi, dan Dynamic membantah kematian Kristus, dan monarki Docetae, Gnostics serta Modalests menolak kemanusiaan Kristus. Secara sederhana mereka menolak salah satu bentuk problem. Sedangkan yang lainnya, yang kurang radikal, membantah baik kematian maupun kemanusiaan yang sempurna dari Kristus. Bangsa Aria membantah bahwa Son-Logos , yang berinkarnasi dalam diri Kristus, memiliki Ketuhanan yang mutlak. Sebaliknya Apollinaries, yang merupakan seorang Bishop dari Laodicea (390 dc), membantah kebenaran kemanusiaan dari Yesus Kristus. Dia (Apollinaries) membuat konsep mengenai man (manusia) yang terdiri atas raga, jiwa dan roh, dan merupakan solusi masalah mengenai dua nature dalam Kristus menurut teori yang ditempatkan Logos pada human pneuma (spirit). Menurut pendapatnya lebih mudah untuk mempertahankan keesaan dari person of Christ, jika Logos diakui sebagai orang yang lebih banyak menempatkan prinsip rasional dalam man. Terhadap Arius dia mempertahankan kebenaran dari ketuhanan Kristus, dan mempertahankan atau memperkokoh ketidakberdosaan Kristus dengan jalan mensubstitusi Logos pada human pneuma yang dianggapnya sebagai tempat dosa. Menurut pendapatnya suatu human nature yang lengkap secara alamiah haruslah sinfulness (penuh dengan dosa). Lagi pula, dia berusaha untuk membuat inkarnasi yang dapat dipikirkan dengan jalan mengasumsikan suatu kecenderungan eternal pada kemanusiaan dalam Logos himself sebagai archetypal man. Tetapi solusi dari Apollinares ini tidak memuaskan, oleh karena sebagaimana yang dikatakan Shedd "bilamana bagian rasional dipisahkan dari bagian manusia, maka manusia tersebut menjadi idiot dan brutal." Namun demikian tujuannya dapat dipuji dalam hal usahanya untuk memperkokoh keesaan dari person dan ketidakberdosaan Kristus. Akan tetapi ada oposisi terhadap solusi permasalahan yang diajukan oleh Apollinaries. Cappadocians dan Hilary of Poitiers mempertahankan bahwa jika logos tidak dianggap human nature dalam integritasnya, maka dia tidak mungkin menjadi redeemer yang sempurna bagi kita. Sejak seluruh orang yang berdosa diperbaharui (ditebus), maka Kristus dianggap sebagai human nature secara keseluruhan, dan bukan merupakan bagian sederhana yang tidak penting dari human nature tersebut. Mereka juga menunjukkan bagian atau unsur docetic dalam pengajaran Apollinaries. Jika tidak ada real human dalam diri Kristus, maka tidak akan ada real probation dan tidak ada real advance dalam kemanusiaan Kristus. Akan tetapi, para penentang Apollinaries bahkan menekankan kemanusiaan yang lengkap dari Kristus, membuat konsep atau menganggap hal ini sebagai yang tertutupi oleh bayang-bayang Ketuhanan dari Kristus. Gregory of Nyssa berkata bahwa daging Kristus telah diubah dan hilang seluruh sifat-sifat awalnya karena bersatu dengan Ketuhanan. Salah satu hasil dari preliminary dari kekecauan ini adalah bahwa Synod of Alexandria pada tahun 362 menunjukkan adanya jiwa manusia dalam Kristus. Kata "jiwa" (soul) dipergunakan oleh Synod sebagai unsur nasional yang inklusif, yang disebut oleh Apo,llinaries sabagai pneum atau nous. b. Pembagian Kontroversi 1. Nestorian Party Beberapa di antara Gereja terdahulu mempergunakan ekspresi yang tampaknya menyangkal adanya dua nature dalam Kristus dan mempostulasikan suatu nature yang tunggal yakni "inkarnasi yang menarik." Dari segi pandangan ini Maria sering dinamakan sebagai theotokos, ibu dari tuhan. Sekolah Alexandria khususnya menolak kecenderungan ini. Sebaliknya, sekolah Antioch berada pada kutub pandangan yang lain. Hal ini khususnya terjadi dalam pengajaran dari Theodore of Mopsuestia. Dia mengambil titik awalnya dalam kemanusiaan yang utuh dari Kristus serta realita sempurna dari pengalaman kemanusiaan Kristus. Menurut pendapatnya (Theodora), sebenarnya Kristus berjuang dengan human passion, melalui berbagai godaan, dan keluar sebagai pemenang. Dia (Kristus) mempunyai kekuasaan untuk mencegah dirinya dari dosa atau membebaskan dirinya dari dosa melalui (a) kelahirannya yang suci, dan (b) kesatuan dari kemanusiannnya dengan ketuhanan Logos. Theodora menyangkal perlunya indwelling dari Kristus, dan membolehkannya hanya untuk indwelling moral. Dia tidak melihat adanya perbedaan yang penting tetapi hanya ada perbedaan derajat antara indwelling of God dalam Kristus dan yang percaya (believer). Pandangan ini benar-benar mensubstitusi inkarnasi moral indwelling pada Logos dalam diri Yesus. Meskipun begitu, Theodore enggan untuk membuat kesimpulan apakah pandangannya tak dapat dihindarkan, bahwa ada personalitas yang ganda dalam Kristus, dua person di mana terdapat suatu gabungan moral. Dia berkata bahwa gabungan tersebut sangat erat sehingga kedua-duanya dapat berbicara sebagai satu person, sebagaimana halnya suami dan istri dapat disebut satu tubuh. Pengembangan logika dari pandangan Antiochian dapat dilihat dalam Nestorianism. Nestorius mengikuti jejak Theodore yang menyangkal bahwa bentuk theotokos dapat benar-benar diterapkan pada Maria dengan alasan yang sederhana bahwa dia hanya melahirkan seorang anak laki-laki yang telah ditetapkan oleh Logos. Walaupun Logos tidak melukiskan kesimpulan yang layak bahwa diikuti dari posisi ini, namun penentangnya yaitu Cyril memberikan kepadanya tanggung jawab atas kesimpulan tersebut. Dia menunjukkan bahwa, (a) jika Maria bukan theotokos, yakni ibu seorang, dan orang itu adalah tuhan maka asumsi dari seorang human being tunggal pada fellowship dengan Logos disubstitusikan dari inkarnasi dari God; (b) jika Maria bukan theotokos, maka hubungan antara Kristus dengan kemanusiaan akan berubah, dan dia tidak lebih dari redeemer of mankind. Para pengikut Nestorius tidak ragu-ragu untuk membuat kesimpulan tersebut di atas. Nestorianism adalah defektif (tidak sempurna), ketidaksempurnaan ini bukan dalam doktrin dari dua nature dalam Kristus, tetapi dalam satu person. Baik kebenaran dari kematian ataupun kebenaran dari kemanusiaan adalah diakui, tetapi kedua hal tersebut tidak dikonsep dengan suatu cara sebagaimana halnya membentuk suatu kesatuan yang nyata dan mengkonstitusi seorang person yang tunggal. Kedua nature tersebut juga merupakan dua person. Pentingnya perbedaan antara nature sebagai substansi yang dimiliki secara umum dan person sebagai suatu substansi yang relatif independen dari nature tersebut, adalah benar-benar tidak diakui. Perihal perpaduan dua nature (sifat) dalam kesadaran akan diri yang tunggal, maka Nestorianism menempatkan perpaduan tersebut berdampingan dengan setiap lainnya tanpa melebihi gabungan moral dan simpatik di antaranya. The man Christ bukanlah God, tetapi God-bearer, theophoros, yaitu pemilik Godhead. Kristus dipuja, bukan karena Kristus adalah God, tetapi karena God ada dalam diri Kristus. Pendirian Nestorianism yang kuat ini yaitu pendirian yang melakukan pencarian keadilan sepenuhnya akan kemanusiaan Kristus. Pada waktu yang bersamaan tersebut pendirian itu bertolak belakang dengan seluruh scriptural proofs untuk kesatuan person dalam mediator. Pendirian tersebut mengabaikan Gereja dengan contoh agung akan kesalehan sejati dan moralitas akan human person of Yesus, tetapi menggali pendirian divine human Redeemer, menggali sumber seluruh kekuasaan atau kekuatan spiritual, keagungan, dan penyelamatan. 2. The Cyrillian Party Oponen Nestorianism yang paling menonjol adalah Cyril of Alexandria. Menurutnya Logos mengasumsikan sifat itu dalam keesaannya, agar mendapatkan kembali, walaupun demikian hanya membentuk personal subject dalam Godman. Terminologinya tidak selalu jelas atau benar. Di salah satu pihak dia menjelaskan kesederhanaan bahwa Logos mengasumsikan sifat kemanusiaan, agar ada dua sifat dalam diri Kristus, yang menyimpulkan gabungan mereka yang tak dapat dipisahkan dalam satu person of the logos, tanpa adanya perubahan dalam sifat-sifat tersebut. Tetapi dia juga menggunakan pernyataan dengan menekankan kesatuan dua sifat dalam Kristus dengan menggunakan mutual communication of attributes, dan penjelasan akan person of Christ seakan-akan merupakan keesaan resultan. Pengertiannya ini sungguh jelas menentang Nestorianism, karena dia menekankan keesaan person of Christ. Sesungguhnya tiga ketentuan di atas yang dia jelaskan tersebut sesuai dengan catholic doctrine of the day, yaitu: (a) the inseparable conjunction of the two natures; (b) the impersonality and dependence of the manhood, di mana Logos menggunakannya sebagai His instrument; dan (c) keesaan dan keabadian person in Christ. Walaupun kadang-kadang dia menyatakan, untuk mempertimbangkan kesalahan Eutychian selanjutnya. Dia menggunakan istilah phusis (nature) hanya pada Logos, dan tidak pada kemanusiaan Kristus, sehingga penggunaannya sebagai sinonim hypostases. Ini memberikan beberapa kesempatan untuk menggunakan doktrinnya, setelah inkarnasi, yaitu hanya ada satu sifat divine human Kristus dan memungkinkannya bagi Monophysites mempertimbangkan dirinya, apabila mereka ingin untuk membuktikannya, sebagaimana adanya hanya satu person, maka oleh karena itu ada juga hanya sifat mediator yang tunggal. Mereka melanjutkan pertimbangan atas dirinya walaupun penolakan kuat akan beberapa gabungan sifat tersebut. The Council of Ephesus melakukan suatu kompromi dengan mempertahankan bahwa di satu pihak theotokos dapat diberlakukan bagi Maria dan di lain pihak menegaskan doktrin mengenai dua nuture Kristus yang berbeda. 3. Eutycian Party Banyak di antara pengikut Cyrill merasa tidak puas. Banyak di antara mereka yang tidak menghargai doktrin mengenai dua nature yang berbeda. Eutyches mendukung penyebab dari teolog Alexandrian di Konstantinopel, Euthyches merupakan seorang rahib tua yang mempunyai pendirian yang tidak seimbang dan merupakan seorang antinestorian. Menurut Theodora dia mempertahankan pengaruh atribut manusia yang berassimilasi dengan Tuhan dalam Kristus baik dengan jalan penyerapan human nature dalam Ketuhanan maupun fusi dari dua nature tersebut, dengan demikian maka dia (Kristus) punya tubuh tidak konsubstansial dengan apa yang kita miliki (tubuh) dan dia (Kristus) bukan merupakan human yang seperti dalam pengertian sehari-hari. Dia memohon kepada Leo yang merupakan seorang Bishop di Roma karena dia dihukum(dikucilkan) oleh Council of Constantinople pada tahun 448. Setelah Leo menerima laporan lengkap mengenai kasus ini dari Flavian yang merupakan Bishop Konstantinopel dan telah mengemukakan pendapatnya maka dia mengalamatkan atau menunjukkan celebrated tome-nya kepada Plavian. Oleh karena tome ini sangat berpengaruh kepada formula Kaledonia, maka perlu diketahui poin-poin utamanya yakni sebagai berikut: (a) Ada dua nature dalam Kristus, kedua nature ini berbeda secara permanen; (b) Kedua nature tersebut bersatu dalam satu person, masing-masing nature tersebut memiliki fungsi sendiri-sendiri dalam kehidupan inkarnasi; (c) Dari kesatuan nature dalam person tersebut terjadi komunikasi (comunicatio idio-matum); (d) Pekerjaan atau tugas penebusan membutuhkan suatu mediator baik manusia dan Tuhan, passible dan impassible, mortal dan immortal. Inkarnasi merupakan suatu tindakan merendahkan diri dari Tuhan, tetapi dalam merendahkan diri tersebut Logos tidak berlaku seperti very God. Forma servi tidaklah mengurangi atau menurunkan formadei; (e) Kemanusiaan dari Kristus adalah permanen, dan penyangkalannya mengimplikasikan suatu penyangkalan docetic yang realitas dari penderitaan Kristus. Hal ini benar-benar merupakan suatu ikhtisar dari Kristologi Barat. 4. Keputusan dari Council Chalcedon Setelah beberapa Council lokal menemukan, membenarkan, dan menyalahkan Eutyches, maka ecumenical Chalcedon (Council-nya) melakukan sidang pada tahun 451, dan permasalahan utama dalam sidang tersebut adalah doktrin mengenai person of Christ. Hal ini dibaca sebagai berikut: "Kita, pengikut Holy Father's seluruhnya dengan satu consent, mengajar orang untuk mengakui satu dan Same Son yakni Yesus Kristus (Tuhan Yesus Kristus), yang sempurna dalam Godhead dan juga sempurna dalam manhood; dia merupakan truly God dan juga merupakan truly man, karena mempunyai jiwa dan tubuh; konsubstansial dengan Father menurut Godhead, dan konsubstansial dengan kita menurut manhood; dalam segala hal dia sama dengan kita, tapi dia tanpa dosa; diperanakkan sebelum all ages dari Father sesuai dengan Godhead, dan pada hari-hari terakhir ini, untuk kita dan untuk keselamatan kita, maka dia dilahirkan dari perawan Maria, yakni Mother of God, sesuai dengan manhood; one and the same Christ, Son, Lord, (hanya diperanakkan untuk berada dalam dua nature, inconfusedly (assugutos), kekal (tidak berubah-ubah/atreptos), tak dapat dipisahkan (adiairetos), inseparable (tidak dapat dipisahkan = archoristos), perbedaan dari nature tersebut tidak berarti oleh karena mereka bersatu, tetapi sifat-sifat dari masing-masing nature tetap tampak dan bergabung dalam satu person dan satu substansi, tidak terpisah atau terbagi dalam dua person tetapi hanya dalam one and the same Son, yang hanya dilahirkan, God the Word, the Lord Yesus Christ sebagai rasul telah diberitakan dari sejak mula, dan Lord Yesus Christ Himself memikirkan manusia dan Creed of Holy Fathers telah menurunkan dia untuk kita!" Implikasi-implikasi yang paling penting dalam statement ini adalah sebagai berikut: (1) Sifat-sifat dari kedua nature tersebut disandang oleh satu person, misalnya keterbatasan pengetahuan dan kemahatahuan. (2) Penderitaan dari Godman dapat dianggap sebagai penderitaan yang truly dan really infinited, sedangkan menurut nature ketuhanan hal tersebut tidaklah mungkin; (3) Yang merupakan dasar dari basis yang membentuk personalitas Kristus adalah divinity (ketuhanan) bukan humanity (kemanusiaan); (4) Logos tidak bersatu dalam seorang human individual yang berbeda, tetapi bersatu dengan satu human nature. Tidak ada seorang individual man yang pertama dengan siapa second person dalam Godhead bersatu dalam diri-Nya. Kesatuan tersebut dipengaruhi dengan substansi humanitas dalam diri perawan. Kontroversi Kristologis Tahap Kedua
|