Kini kita beralih kepada masalah penting kedua dalam kepercayaan Kristen. Saya harus menjelaskan bahwa semua orang Kristen tidak mempercayai sepenuhnya pada hal-hal berikut ini. Bahkan beberapa pemimpin gereja telah menyimpang dari sikap dogmatis Kristen yang kaku. Namun walau demikian, falsafah "Dosa dan Penebusan Dosa" merupakan suatu prinsip dasar dalam kepercayaan Kristen ortodoks.
Unsur pertama dalam pemahaman Kristen tentang Dosa dan Penebusan Dosa adalah, Tuhan itu adil, dan menerapkan keadilan alamiah. Dia tidak mengampuni dosa-dosa tanpa memungut ganti-rugi; sebab hal itu bertentangan dengan norma-norma keadilan mutlak. Sifat Tuhan yang satu inilah yang membuat penting versi Kristen mengenai penebusan dosa itu.
Unsur kedua adalah, manusia berdosa karena Adam dan Hawa telah melakukan dosa. Sebagai akibatnya, anak keturunan mereka mulai memperoleh dosa warisan, seolaholah dosa itu telah ditanamkan dalam gen-gen mereka, dan sejak itu, semua anak keturunan Adam lahir sebagai pendosa-pendosa turunan.
Unsur kedua adalah, manusia berdosa karena Adam dan Hawa telah melakukan dosa. Sebagai akibatnya, anak keturunan mereka mulai memperoleh dosa warisan, seolaholah dosa itu telah ditanamkan dalam gen-gen mereka, dan sejak itu, semua anak keturunan Adam lahir sebagai pendosa-pendosa turunan.
Unsur ketiga dari dogma ini adalah, seorang manusia berdosa tidak dapat menebus dosa-dosa yang dilakukan oleh orang lain: hanya seorang yang tidak berdosalah yang dapat melakukannya. Berdasarkan ini, menjadi jelas mengapa, menurut pemahaman Kristen, tidak ada nabi Allah betapa pun baik dan dekatnya ia dengan kesempurnaan, dapat mensucikan umat manusia dari dosa atau menyelamatkan mereka darinya serta akibat akibatnya. Sebagai seorang anak Adam, nabi itu tidak dapat menghindari unsur dosa bawaan, yang dengannya dia telah dilahirkan. Ini adalah sebuah garis besar sederhana dari seluruh ajaran tersebut. Berikut ini pemecahan yang dipaparkan oleh para theolog Kristen.
Penebusan Dosa Umat Manusia
Untuk memecahkan persoalan yang tampaknya tidak terpecahkan ini, Tuhan telah menyusun sebuah rencana yang cemerlang. Tidak jelas apakah Dia telah membincangkannya dengan Anak-Nya; atau mereka berdua yang telah menyusunnya secara bersama-sama; atau hal itu keseluruhannya merupakan ide Tuhan Anak, kemudian diterima oleh Tuhan Bapak. Bentuk-bentuk rencana itu yang telah dibukakan pada zaman Kristus adalah sebagai berikut: dua ribu tahun yang lalu Sang Anak Tuhan yang secara harfiah turut menikmati keabadian dengan Tuhan, telah dilahirkan melalui seorang perempuan. Sebagai "Anak Tuhan," dia memiliki kedua-duanya, sifat-sifat sempurna manusia dan juga sifat-sifat sempurna Tuhan Bapak. Berikutnya kita diberitahukan bahwa seorang perempuan perawan yang saleh, bernama Maryam, telah dipilih untuk menjadi ibu bagi "Sang Anak Tuhan." Dia telah mengandung Yesus karena berhubungan dengan Tuhan. Dalam kaitan ini, sebagai seorang Anak hakiki Tuhan, Yesus telah lahir tanpa dosa, tetapi walau bagaimana pun dia memiliki sifat-sifat dan wujud manusia. Demikianlah Yesus suka-rela mempersembahkan dirinya untuk memikul beban seluruh dosa umat manusia yang mau mengimaninya serta menerimanya sebagai juru selamat. Melalui muslihat cerdik ini, dinyatakan, Tuhan telah mengelak mengkompromikan sifat abadi-Nya sebagai Yang Maha Adil Mutlak.
Ingat, berdasarkan modus operandi (sistim kerja) ini, tidak ada manusia yang tidak akan dihukum, bagaimana pun dosa yang dia perbuat. Tuhan masih tetap dapat memungut ganti rugi dari seorang pelaku dosa tanpa mengkompromikan rasa keadilan yang Dia miliki. Perbedaan satu-satunya antara hal itu dengan kedudukan sebelumnya, yang bertanggung-jawab terhadap perubahan dramatis ini adalah kenyataan bahwa Yesus lah yang akan dihukum dan bukan anak-anak laki-laki maupun anak-anak perempuan Adam yang penuh dosa. Merupakan pengorbanan Yesus yang pada akhimya menjadi sarana dalam menebus dosadosa anak-keturunan Adam.
Betapa pun aneh dan ganjilnya logika tersebut, demikianlah yang diakui telah terjadi. Yesus suka-rela mempersembahkan diri beliau, dan akibatnya beliau telah dihukum atas dosa-dosa yang tidak pernah beliau lakukan.
Dosa Adam dan Hawa
Mari kita periksa kembali kisah Adam dari permulaan. Tidak ada satu langkah pun dalam ajaran tersebut di atas yang diterima oleh akal sehat dan logika manusia.
Pertama-tama, dinyatakan bahwa karena Adam dan Hawa melakukan dosa, anak keturunan mereka pun jadi tercemar oleh dosa secara genetika dan selamanya. Berbeda dengan itu, ilmu pengetahuan genetika mengungkapkan bahwa pemikiran-pemikiran dan amal perbuatan manusia, apakah itu baik atau buruk, bahkan walau terus menerus hal itu melekat di sepanjang hidup seseorang manusia, tidak dapat ditransfer dan ditanamkan ke dalam sistem reproduksi manusia. Panjangnya suatu umur terlalu pendek untuk menjalani suatu peran dalam membawakan perubahan yang demikian besar; bahkan keburukan-keburukan orang dari generasi ke generasi atau amal-amal mereka yang baik berkenaan dengan hal tersebut, tidak bisa diwariskan/ditransfer kepada keturunan mereka sebagai sifat-sifat genetik. Boleh jadi diperlukan jutaan tahun untuk melekatkan suatu karakter baru pada gen (plasma pembawa sifat pada keturunan) manusia.
Bahkan melalui wawasan imajinasi seseorang yang sangat tidak masuk akal serta yang tidak dapat diterima sekalipun seseorang akan mampu merasakan kejadian yang ganjil seperti itu, maka hal yang sebaliknya pun harus dapat diterima dengan logika yang sama.
Artinya, jika seorang pelaku dosa bertobat dan tarnpil suci pada akhir hidupnya, maka perbuatan itu harus terekam dalam sistim genetika; yang secara efektif membatalkan dampak-dampak dosa terdahulu. Secara ilmiah hal ini tidak mungkin dapat terjadi, tetapi yang pasfi ada hal yang lebih masuk-akal dalam gambaran ini dibandingkan dengan membayangkan bahwa hanya kecenderungan terhadap dosa saja yang secara genetika dapat ditanamkan dan bukan kecenderungan untuk berbuat baik.
Kedua, dengan berupaya memecahkan permasalahan Adam melalui pemaparan bahwa dosa ditransfer secara genetika kepada anak keturunan Adam di masa mendatang, yang sudah dicapai dari itu semua justru suatu penghancuran total terhadap pondasi dasar yang merupakan landasan bagi ajaran Kristen tentang "Dosa dan Penebusan Dosa." Jika Tuhan itu secara mutlak memang Maha Adil, maka di mana letaknya rasa keadilan dengan menghukum secara kekal seluruh anak keturunan Adam dan Hawa akibat dosasementara yang mereka lakukan berdua dan yang untuknya mereka telah bertobat? Justru itu adalah dosa yang karenanya mereka berdua telah dijatuhi hukuman berat dan diusir secara hina dari surga. Sikap adil apa namanya bagi Tuhan, yang setelah menghukum Adam serta Hawa karena dosadosa pribadi mereka, masih juga rasa dendam-Nya belum reda dan menghukum seluruh umat manusia dengan suatu penderitaan yang tak tertolongkan, yaitu lahir sebagai pendosa-pendosa turunan? Peluang apa yang dimiliki anakanak Adam untuk melarikan diri dari dosa? Jika kedua orangtua melakukan suatu kesalahan, mengapa anak-anak mereka yang tak berdosa itu harus menderita secara kekal akibat kesalahan tersebut?
Dengan demikian, betapa telah berubahnya rasa keadilan yang diakui dimiliki dan diterapkan oleh Tuhan, jika Dia menghukum orang-orang yang memang sudah dirancang untuk berperan penuh dosa, walau betapa pun mereka tidak menyukai dosa? Dosa sudah merupakan bagian dan bingkisan dalam mekanisme mereka. Tidak ada peluang lagi bagi seorang anak Adam untuk menjadi suci dari dosa. Jika dosa merupakan suatu kejahatan, akal menuntut bahwa seharusnya hal itu merupakan kejahatan Sang Pencipta, bukan kejahatan makhluk ciptaan. Dalam bentuk demikian, keadilan apa yang menuntut hukuman terhadap orang yang tak bersalah akibat kejahatan-kejahatan para pelaku kejahatan?
Jauh berbeda dari pemahaman Kristen tentang dosa dan akibat-akibatnya, adalah pernyataan Alquran Suci, yang berbunyi:
Tiada pemikul beban yang akan memikul beban orang lain. (Al-Fathir: 19)
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya. (Al-Baqarah : 287)
Dibandingkan dengan konsep Kristen tentang "Dosa dan Penebusan Dosa," pernyataan-pemyataan Alquran Suci ini merupakan musik murni bagi j iwa.
Sekarang mari kita beralih pada keterangan Bibel tentang apa yang sebenarnya telah terjadi pada masa dosa Adam dan Hawa serta dampak-dampak yang berlaku atas hukuman mereka. Menurut Kitab Kejadian, Tuhan telah mengabulkan permintaan maaf mereka hanya sebagian, sedangkan sebuah hukuman kekal telah dikenakan kepada mereka, sebagaimana yang tertera berikut ini:
Firman-Nya kepada perempuan itu: "Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu."
Lalu firman-Nya kepada Adam: "Karena engkau mendengar perkataan istrimu dan memakan dari buah pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu; semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu." (Kejadian 3:16-19).
Umat manusia sudah lama ada sebelum kelahiran Adam dan Hawa. Para ilmuwan Barat sendiri telah menemukan peninggalan-peninggalan banyak manusia prasejarah dan memberikan berbagai nama khusus pada mereka. Manusia Neanderthal mungkin yang paling banyak diketahui secara luas. Manusia-manusia Neanderthal ini hidup antara 100.000 hingga 35.000 tahun lalu, kebanyakan di kawasan Eropa, Timur Dekat, dan Asia Tengah. Sisa tubuh seorang manusia dewasa telah ditemukan, yang menjelajahi bumi sekitar 29.000 tahun sebelum Adam dan Hawa diketahui memulai masa menetap mereka yang singkat di surga. Pada masa itu, umat manusia secara fisik menyerupai kita dan hidup di Eropa, Afrika serta Asia, dan kemudian pada Zaman Es mereka menyebar ke Amerika. Demikian pula di Australia, sejarah kebudayaan asli orang-orang Aborigin dapat ditelusuri hingga 40.000 tahun yang lalu
Dibandingkan dengan zaman-zaman yang relatif masih dekat itu, kerangka seorang wanita dari Hedar di Ethiopia telah ditemukan berusia 2,9 juta tahun. Sekarang berdasarkan kronologi Bibel, Adam dan Hawa hidup sekitar 6.000 tahun yang silam. Seseorang dapat melihat ke belakang dengan penuh takjub pada sejarah yang tercatat tentang umat manusia, atau Homo Sapiens sebagaimana nama yang diberikan kepada mereka dalam bahasa ilmiah.
Penderitaan Manusia Berkelanjutan
Dengan membaca keterangan Bibel bagaimana Adam dan Hawa telah dihukum, seseorang tidak dapat menahan rasa herannya, apakah rasa sakit dan perih dalam melahirkan tidak dialami oleh para perempuan hingga datangnya zaman Adam dan Hawa? Seorang ilmuwan sulit untuk mempercayai khayalan-khayalan semacam itu. Sekali lagi, kita memiliki banyak bukti yang tidak terbantah bahwa jauh sebelum Adam dan Hawa, manusia telah menghuni seluruh benua di bumi ini, juga kepulauan-kepulauan terpencil di Pasifik, dan mereka selalu menjalani proses melahirkan yang sulit untuk selamat. Oleh sebab itu, mengatakan bahwa Adam dan Hawalah yang pertama kali melakukan dosa sehingga akibat itu proses melahirkan yang sangat sakit telah ditetapkan sebagai hukuman, terbukti salah sama sekali dengan mempelajari kehidupan. Bahkan hewan-hewan, yang lebih rendah dalam ordo kehidupan, melahirkan dengan rasa sakit. Jika seseorang menyaksikan seekor sapi melahirkan anaknya, penderitaan sapi itu serupa dengan penderitaan seorang perempuan. Banyak hewan, yang kita ketahui, telah menghuni bumi ini jutaan dan jutaan tahun sebelum Adam dan Hawa.
Meraih penghidupan dengan bekerja adalah biasa bagi manusia, tetapi bukanlah istimewa sama sekali. Kaum wanita juga bekerja untuk pencaharian dan penghidupan mereka. Sebelum itu, setiap spesies kehidupan mendapatkan penghidupan mereka dengan bekerja. Kenyataan ini merupakan kunci penggerak bagi evolusi kehidupan. Upaya gigih untuk tetap mempertahankan keberadaan, mungkin merupakan tanda pertama yang istimewa bagi kehidupan, yang memisahkannya dari dunia benda-benda mati. Ini adalah suatu gejala alami, yang tidak ada sedikit pun kaitannya dengan dosa.
Kembali, jika ini merupakan hukuman yang dinyatakan sebagai akibat dosa Adam dan Hawa, maka seseorang akan heran, apa yang bakal terjadi setelah Penebusan Dosa? Jika Yesus Kristus telah menebus dosa-dosa umat manusia yang berdosa, apakah hukuman yang dinyatakan bagi dosa Adam dan Hawa itu telah dihapuskan setelah peristiwa Penyaliban? Apakah orang yang mengimani Yesus Kristus sebagai "Anak Tuhan, jika mereka perempuan, tidak lagi merasakan sakit sewaktu melahirkan? Apakah orang-orang yang beriman mulai memperoleh penghidupan mereka tanpa melakukan kerja keras seperti biasa? Apakah kecenderungan terhadap dosa tidak lagi ditransfer kepada generasi-generasi mendatang dan anak-anak tidak berdosa mulai dilahirkan? Jika jawaban semua pertanyaan ini adalah "ya," maka sudah tentu akan timbul pembenaran dalam mempertimbangkan secara sungguh-sungguh falsafah Kristen tentang "Dosa dan Penebusan Dosa." Namun sayang, jawaban terhadap semua pertanyaan ini adalah tidak, tidak dan tidak. Jika memang tidak ada yang berubah, di dunia Kristen maupun non Kristen, sejak peristiwa penyaliban, maka apa artinya Penebusan Dosa?
Bahkan setelah [kedatangan] Yesus Kristus, rasa keadilan tetap mendikte umat manusia di seluruh dunia, yakni jika seseorang melakukan suatu dosa, maka hukuman bagi dosa tersebut harus diberikan kepada orang itu sendiri dan bukan kepada orang lain. Semua laki-laki maupun perempuan harus merasakan sendiri akibat-akibat dosa mereka. Anak-anak selalu lahir dalam keadaan tidak berdosa. Jika ini tidak benar, berarti sifat adil Tuhan telah dicampakkan.
Kami sebagai orang Islam mempercayai bahwa seluruh kitab samawi berlandaskan pada kebenaran abadi dan tidak ada yang dapat membuat pernyataan yang berlawanan dengan itu. Jika kami menemukan [berbagai] ketidakkonsekwenan dan pertentangan dalam suatu kitab yang disebut kitab samawi, sikap kami bukanlah mengingkari dan menolak secara keseluruhan, tetapi menelitinya dengan hatihati dan penuh simpati. Kebanyakan pemyataan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang kami dapati berbeda dengan kenyataan alam, kami mencoba mengadakan pendekatan melalui penelaahan terhadap beberapa pesan samar dan kiasan yang perlu diperhatikan, atau menolak bagian teks tersebut sebagai karya tangan manusia dan bukan dari Tuhan. Jika ajaran Kristen itu sendiri memang benar, ia seharusnya tidak mengandung penyimpangan apa pun, fakta-fakta yang tidak dapat diterima, atau kepercayaan--kepercayaan yang mendustai alam. Itulah sebabnya mengapa kami tidak memulai dengan penelitian tekstual, tetapi langsung pada dasar-dasarnya, yang melalui kesepakatan berabad-abad telah menjadi bagian-bagian falsafah Kristen yang tidak dapat dibantah. Salah satu ketidaksempurnaan itu diantaranya adalah pemahaman Kristen tentang "Dosa dan Penebusan Dosa." Saya lebih percaya bahwa seseorang, di suatu tempat dalam sejarah Kristen, keliru dalam memahami hal-hal tersebut dan mencoba menafsirkannya berdasarkan petunjuk pengetahuannya sendiri dan akibatnya dia telah menyesatkan generasi-generasi berikutnya.
Marilah kita umpamakan, demi suatu dalil, bahwa Adam Hawa benar-benar telah melakukan dosa sebagaimana diterangkan dalam Perjanjian Lama dan telah dijatuhi hukuman sesuai hal itu. Menurut kisah yang berlaku, hukuman itu tidak hanya dijatuhkan kepada mereka tetapi juga kepada seluruh anak keturunan mereka. Sekali hukuman itu telah ditentukan dan dijalankan, mengapa harus ada hukuman lainnya? Sekali suatu dosa telah dihukum; sudah selesai. Sekali suatu keputusan telah ditetapkan, tidak satu pun yang berhak menambahkan hukuman demi hukuman lebih banyak lagi secara terusmenerus. Dalam kasus Adam dan Hawa, tidak hanya tentang mereka telah dikecam secara keras dan dihukum melebihi dosa yang telah mereka lakukan, tetapi bentuk hukuman yang telah diteruskan kepada anak keturunan mereka sendiri, juga sangat layak dipertanyakan. Tentang hal itu sudah cukup banyak kami utarakan. Yang sedang kami coba tunjukan adalah suatu pelanggaran yang jauh lebih keji terhadap keadilan yang mutlak. Mendapat hukuman secara terus-menerus karena dosa-dosa nenek-moyang kita adalah suatu hal tersendiri, tetapi terpaksa melanjutkan dosa sebagai akibat kesalahan nenek-moyang seseorang adalah suatu hal yang buruk sekali. Marilah kita simak realita-realita nyata dalam apa yang dialami manusia, dan mencoba memahami falsafah Kristen tentang kejahatan dan hukuman dan kaitannya dengan pengalaman hidup kita sehari-hari. Misalnya suatu keputusan telah ditetapkan bagi seorang penjahat, yang bobotnya jauh lebih berat serta lebih keras dari kejahatan yang telah dilakukan. Hal itu tentu dapat menimbulkan kecaman kuat dan keras dari setiap orang berakal sehat terhadap suatu hukum yang berat dan tidak seimbang seperti ituAtas dasar pandangan ini sangat sulit bagi kita untuk mempercayai bahwa hukuman yang telah dijatuhkan terhadap Adam akibat dosanya itu berasal dari suatu Tuhan Yang Adil. Ini tidak hanya masalah hukuman yang tidak seimbang. Ini adalah suatu hukuman yang berdasarkan pemahaman Kristen terhadap perbuatan Tuhan--telah merentang melewati jangka masa kehidupan Adam dan Hawa serta telah diteruskan generasi demi generasi kepada anak keturunan mereka. Anak keturunan yang menderita akibat hukuman orang tua mereka itu sendiri; sebenarnya sudah merupakan suatu bentuk yang lebih jauh dari pelanggaran terhadap keadilan melampaui batas-batas terakhirnya. Namun kita tidak membicarakan hal itu. Jika kita sedang sial menyaksikan suatu keputusan yang ditetapkan oleh seorang hakim zaman sekarang � yang membuat anak-anak, cucu-cucu, cicit-cicit, dan seterusnya demi seorang penjahat, menjadi terpaksa oleh hukum melanjutkan perbuatan dosa dan melakukan kejahatankejahatan serta memperoleh hukuman sesuai itu sampai kiamat � maka bagaimana nantinya reaksi masyarakat zaman sekarang, yang telah mendapatkan suatu makna universal keadilan melalui peradaban?
Pembaca hendaknya diingatkan di sini, bahwa konsep Dosa Warisan hanyalah suatu kesalahan dalam penafsiran yang dilakukan oleh Paulus. Konsep itu tidak dapat dikaitkan secara benar kepada ajaran-ajaran Perjanjian Lama. Terdapat banyak bukti yang menentang hal itu dalam kitab-kitab Perjanjian Lama. Pada abad ke-5, Augustina, Bishop dari Hippo, terlibat dalam perlawanan dengan gerakan Pelagian, mengenai persengketaan tentang tergelincirnya Adam dan Hawa. Dia menyatakan gerakan Pelagian melakukan penyimpangan sebab gerakan itu menganggap dosa Adam hanya berdampak pada diri Adam sendiri dan tidak pada seluruh umat manusia, dan setiap anak lahir bebas dari dosa serta mampu menjalani kehidupan yang bersih dari dosa atas kekuatannya sendiri; dan banyak orang yang sudah berhasil melaksanakan hal itu.
Mereka yang benar telah dinyatakan sebagai pelaku penyimpangan. Siang telah dinyatakan sebagai malam, dan malam sebagai siang. Bid�ah dinyatakan sebagai kebenaran, sedangkan kebenaran dinyatakan sebagai bid�ah.
Pengalihan Dosa
Marilah kita simak kembali permasalahan bahwa Tuhan tidak mengampuni orang-orang berdosa tanpa menghukum mereka, sebab hal itu bertentangan dengan rasa keadilan-Nya. Seseorang jadi tercekam menyadari bahwa selama berabad-abad orang-orang Kristen telah mempercayai sesuatu yang sama sekali di luar jangkauan daya nalar manusia dan bertentangan dengan akal sehat manusia. Bagaimana mungkin Tuhan dapat mengampuni seorang pendosa hanya karena seseorang lainnya yang tidak berdosa secara sukarela telah mengambil alih hukuman tersebut? Jika Tuhan telah melakukannya, berarti pada saat itu Dia melanggar prinsip-prinsip dasar keadilan. Seseorang yang berdosa harus menanggung dosa-dosanya itu. Ringkasnya, berbagai macam permasalahan yang rumit pada manusia akan muncul jika hukuman dialihkan ke orang lain.
Para theolog Kristen membantah bahwa pengalihan hukuman semacam itu, tidaklah melanggar prinsip keadilan mana pun, sebab hukuman orang itu ditanggung secara sukarela oleh orang yang tidak berdosa tersebut. Apa pendapat kalian dalam kasus seorang pengutang, kata mereka, yang menanggung utang berlebihan di luar kemampuan nya untuk melunasi, dan seorang dermawan yang takut kepada Tuhan, mengambil keputusan untuk membebaskan orang itu dari bebannya dengan cara dia sendiri yang membayarkan utang orang tersebut? Jawaban kami adalah, memang kami sangat memuji sikap kedermawanan, kebaikan dan pengorbanan yang begitu besar. Namun, apa reaksi seseorang yang mengajukan pertanyaan kepada kita sebagai berikut, yakni jika hutang itu mencapai triliun poundsterling dan tampil seorang dermawan yang mengeluarkan satu sen dari sakunya, meminta supaya seluruh kewajiban si penghutang tersebut dihapuskan dengan ganti uang sen yang telah diberikan? Yang kita dapati dalam kasus Yesus Kristus yang telah mempersembahkan dirinya untuk dihukum, demi dosa-dosa seluruh umat manusia, ketidakseimbangannya adalah jauh lebih aneh. Sekali lagi, ini tidak hanya tentang satu orang penghutang tentang miliaran orang yang tidak sanggup melunasi hutang, yang lahir dan yang bakal lahir hingga Hari Kiamat.
Namun tidak hanya itu. Menjabarkan kejahatan melalui contoh seorang penghutang yang meminjam uang dari seseorang lainnya, menampilkan suatu definisi yang sangat naif tentang dosa yang pernah saya dengar. Skenario yang telah dipaparkan ini memang patut mengambil perhatian kita agak lama sebelum kita beralih kepada aspek-aspek lain kejahatan dan hukuman.
Mari kita pertimbangkan kasus seorang penghutang, kita sebut saja si A, yang meminjam uang 100.000 pound dari si B. Jika seorang dermawan kaya, atas dorongan penuh perasaannya, secara sungguh-sungguh dan tulus ingin meringankan beban si penghutang, ketentuan undangundang umum yang mensyaratkannya untuk membayar kepada si B sebesar hutang si A kepadanya. Namun, andaikan dermawan hipotetis (yang bisa saja dianggap benar, tetapi belum terbukti kebenarannya) itu tampil ke depan dengan suatu permohonan supaya si A dibebaskan dari tanggung-jawabnya untuk membayar kepada si B dan sebagai gantinya dia bersedia dipukul sedikit atau dipenjarakan paling lama tiga hari tiga malam. Bila hal ini benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata, sungguh akan menyenangkan dalam menyaksikan wajah mencengangkan para hakim yang sangat terkejut dan wajah B si pemberi hutang yang sangat malang. Namun, si dermawan itu masih harus melengkapi permintaannya berupa pengampunan. Lebih lanjut dia menetapkan: "Wahai Tuhan-ku, tidak hanya itu yang aku inginkan sebagai imbalan pengorbananku. Aku menghendaki supaya segenap penghutang di seluruh alam raya ini, yang hidup sekarang-maupun yang bakal lahir hingga Hari Kiamat, dibebaskan dari seluruh tanggung-jawab mereka sebagai imbalan terhadap penderitaan saya selama tiga hari tiga malam." Pada titik ini pikiran orang akan jadi kacau.
Bagaimana seseorang ingin mengajukan kepada Tuhan, Tuhan Yang Maha Adil, bahwa mereka yang hasil-hasil kerja keras mereka telah dirampas, atau simpanan-simpanan bagi kehidupan mereka telah dirampok, seharusnya memperoleh ganti rugi, paling tidak hingga batas-batas tertentu. Namun Tuhan orang Kristen, tampaknya jauh lebih baik hati dan lebih bersikap mengampuni terhadap pelaku kejahatan dibandingkan terhadap orang tak berdosa yang menderita di tangan pelaku kejahatan itu. Ini benar-benar suatu rasa keadilan aneh, yang menghasilkan pengampunanpengampunan bagi para perampok, perampas, penganiaya anak-anak, penyiksa orang-orang tak berdosa, dan pelaku segala macam kejahatan biadab terhadap manusia, yang diperoleh karena mereka beriman kepada Yesus Kristus pada saat-saat menjelang ajal mereka. Betapa tidak terhitungnya besar hutang yang mereka ambil dari para korban mereka yang sengsara itu? Apakah keberadaan Yesus beberapa saat dalam neraka cukup membersihkan mereka dari kesalahan keji sepanjang hidup mereka yang belum dijatuhi hukuman, yang berkelanjutan generasi demi generasi.
Hukuman Masih Terus Diberikan
Marilah kita pertimbangkan suatu kategori kejahatan yang berbeda dan lebih serius, yang dampak-dampaknya yang tidak dapat diterima oleh fitrat manusia sebagai sesuatu yang dapat dialihkan. Misalnya, seseorang secara biadab menyiksa seorang anak bahkan memperkosa dan membunuhnya. Perasaan-perasaan manusia tanpa diragukan lagi telah dilanggar sampai batas yang tidak tertanggungkan. Andaikan saja orang seperti itu tetap menimbulkan penderitaan demikian dan lebih besar dari itu, di sekitar dirinya, tanpa sempat tertangkap dan diadili. Setelah dia menjalani hidupnya yang penuh kejahatan itu tanpa memperoleh hukuman melalui tangan-tangan manusia, pada saat dia mendekati kematiannya dia mengambil sikap untuk menghindarkan dirinya dari hukuman yang jauh lebih besar pada Hari Pembalasan, tiba-tiba saja dia akhimya mengimani Yesus Kristus sebagai juru selamatnya. Apakah seluruh dosanya serta-merta akan lenyap sama sekali dan dia akan dibiarkan melayang ke alam lain dalam keadaan bebas dari dosa seperti bayi yang baru lahir? Mungkin orang yang menunda keimanannya terhadap Yesus hingga menjelang kematiannya terbukti lebih cerdik daripada orang yang beriman pada masa-masa awal kehidupannya. Bagi orang-orang yang beriman lebih awal senantiasa terdapat bahaya untuk melakukan dosa-dosa setelah beriman dan jatuh menjadi korban makar-makar serta kejahatan syaitan. Mengapa tidak kalian tunggu saja sampai ajal mendekati kalian, sehingga memberikan peluang dan waktu yang sempit bagi syaitan untuk merampas keimanan kalian terhadap Yesus? Suatu kehidupan yang bebas penuh kejahatan dan kesenangan di dunia ini, dan suatu kelahiran kembali dalam bentuk pengampunan yang abadi, memang suatu jual-beli yang licik.
Apakah ini suatu kebijaksanaan tentang keadilan yang dinisbahkan oleh orang-orang Kristen kepada Tuhan? Rasa keadilan semacam itu atau Tuhan seperti itu sendiri sama sekali tidak dapat diterima oleh akal sehat manusia, yang Dia sendiri telah menciptakannya, tanpa mampu membedakan antara yang benar dan yang salah.
Menyimak pertanyaan yang sama, berdasarkan pengalaman dan pemahaman manusia, seseorang memiliki hak untuk mengecam falsafah tersebut sebagai sesuatu yang tidak berarti dan tidak memiliki dasar. Falsafah itu tidak memiliki kenyataan dan hakikat. Pengalaman manusia mengajarkan kepada kita, bahwa selamanya merupakan hak istimewa bagi orang-orang yang menderita di tangan pihak lain untuk mengampuni atau tidak mengampuni. Kadangkadang pemerintah-pemerintah, dalam rangka merayakan suatu hari kegembiraan nasional atau pun untuk hal-hal lainnya, memberikan pengampunan kepada para kriminal tanpa pilih bulu. Namun amnesti itu sendiri tidak membenarkan sikap pengampunan terhadap orang-orang yang telah melakukan beberapa kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dan yang telah mengakibatkan penderitaan berkepanjangan terhadap sesama manusia lainnya yang tidak berdosa. Jika sikap memberi pengampunan tanpa pilih bulu dapat dibenarkan dalarn ukuran apa pun oleh suatu pemerintahan dan jika hal itu tidak dianggap oleh para theolog Kristen sebagai suatu pelanggaran terhadap rasa keadilan, maka mengapa mereka tidak mengalamatkan kebaikan yang sama itu terhadap Tuhan dan menyerahkan kepada-Nya hak untuk memberi ampunan bagaimana dan kapan saja Dia kehendaki? Padahal Dia adalah Maha Kuasa, Pencipta dan Pemilik segala sesuatu. Jika Dia mengampuni seseorang atas suatu kejahatan yang telah dilakukan orang itu terhadap orang lain, Sang Maha Kuasa ini memiliki kekuatan tak terbatas untuk mernberikan ganti rugi terhadap pihak yang telah dirugikan dengan cara demikian baik, sehingga membuat orang [yang dirugikan] itu benar-benar puas terhadap keputusan-Nya. Dengan demikian apa perlunya pengorbanan Anak-Nya yang tidak berdosa itu? Hal ini sendiri sudah merupakan suatu penghinaan terhadap keadilan. Kita terlahir dengan fitrat yang seirama dengan sifat-sifat Tuhan. Dia telah menyatakan dalam Bibel:
Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita." (Kejadian 1:26)
Mengenai hal yang sama, Dia berfirman dalam Alquran Suci: Dan turutilah fitrat yang diciptakan Allah, yang sesuai dengan fitrat itulah Dia telah menciptakan umat Manusia. (Ar Rum : 31)
Prinsip ini, yang sama-sama umum bagi umat Kristen maupun Islam, menghendaki supaya dalam keadaan tertentu akal sehat manusia menjadi cermin sifat-sifat Tuhan. Ini merupakan suatu hal yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari, yakni sering kita mengampuni tanpa harus melanggar rasa keadilan sedikit pun. Jika secara pribadi kita melakukan kesalahan lalu terhadap kejahatan yang dilakukan terhadap diri kita, kita dapat memberikan pengampunan. Jika seorang anak menyakiti orang tuanya dengan cara tidak patuh atau mengakibatkan kerusakan beberapa barang rumah tangga yang berharga, atau mengakibatkan tercemarnya nama baik mereka, dia telah melakukan dosa terhadap mereka. Orang tuanya dapat saja memaafkannya tanpa dicerca dan dikecam oleh akal sehat mereka karena melanggar rasa keadilan. Namun jika anak mereka menghancurkan harta benda tetangga mereka, atau melukai anak orang lain, bagaimana mereka dapat mengambil keputusan untuk memaafkan anak demikian, hal itu akan dianggap sebagai suatu sikap yang tidak adil oleh akal mereka sendiri.
Kejahatan dan hukuman memiliki hubungan yang sama seperti halnya sebab dan akibat dan dalam tingkat tertentu keduanya harus seimbang. Aspek hubungan antara kejahatan dan hukuman ini sudah diperbincangkan cukup panjang dengan menampilkan sikap keliru seseorang dalam hal keuangan terhadap orang lain. Dalil yang sama berlaku lebih berat terhadap kejahatan-kejahatan lain, seperti melukai, merampok atau membunuh orang-orang yang tidak berdosa atau merusak kehormatan mereka dalam bentuk apa pun. Semakin besar bobot suatu kejahatan, semakin berat pulalah bentuk dan tingkat hukuman yang dapat dibayangkan oleh seseorang. Jika Tuhan dapat mengampuni semua orang, sebagaimana saya percaya bahwa Dia dan hanya Dia-lah yang dapat melakukannya, maka masalah Penebusan Dosa yang menghukum seseorang tidak berdosa sebagai gantinya, tidak berfungsi sama sekali. Jika masalahnya adalah pengalihan hukuman seorang pelaku kejahatan kepada orang lain yang tidak berdosa yang telah bersedia untuk itu, maka keadilan, paling tidak, menuntut supaya hukuman tersebut dialihkan sepenuhnya kepada orang tadi, tanpa menambah atau menguranginya. Hal itu pun sudah cukup banyak kita bicarakan.
Apakah orang-orang Kristen percaya bahwa tuntutan keadilan ini telah diterapkan oleh Tuhan-Bapak dalam kasus Yesus Anak Tuhan? Jika memang demikian, berarti seluruh hukuman bagi segenap pelaku kejahatan dari kalangan Kristen yang telah lahir pada zaman Kristus atau yang lahir sesudah itu hingga Hari Kiamat, telah dihimpun, dipadatkan dan dikumpulkan menjadi suatu bentuk neraka yang begitu hebatnya sehingga penderitaan Yesus Kristus yang hanya tiga hari tiga malam itu telah mengimbangi siksaan seluruh hukuman yang sepantasnya telah diterima maupun yang bakal diterima oleh para pelaku dosa tersebut di atas hingga Hari Kiamat. Jika demikian, seharusnya tidak ada orang Kristen yang pernah mengalami hukuman di bumi ini dari suatu pemerintahan Kristen manapun. Jika tidak, hal itu akan sama saja seperti suatu sikap yang sangat tidak adil. Yang seharusnya dilakukan oleh pengadilan setelah menjatuhkan keputusan bersalah [terhadap seorang warga Kristen] adalah meminta orang Kristen pelaku kejahatan itu supaya berdoa kepada Yesus Anak Tuhan agar menyelamatkannya. Dan perkaranya harus dihentikan dan ditutup setelah itu. Hal itu sesederhana kasus pengalihan buku dan rekening kejahatan seseorang kepada buku rekening Yesus Kristus.
Sebagai ilustrasi marilah kita tampilkan Amerika Serikat dalam fokus yang lebih tajam mengenai kondisi kejahatan di sana. Kejahatan-kejahatan merampok dan membunuh begitu luas sehingga sulit menghitungnya. Suatu kali saya teringat di New York, saya mendengar sebuah stasiun radio yang sepenuhnya diperuntukkan bagi berita kejahatan-kejahatan besar. Sungguh suatu hal yang mengerikan. Begitu menyakitkan sehingga saya hanya mampu mendengarnya setengah jam saja, tidak lebih dari itu. Hampir setiap lima menit terjadi sebuah pembunuhan baru di Amerika dan hal itu diberitakan, kadang-kadang dengan pemberitaan mengerikan yang disampaikan para wartawan yang benarbenar menyaksikan peristiwa pembunuhan itu sedang berlangsung. Kami tidak bermaksud memaparkan gambaran rinci tentang kejahatan di Amerika, tetapi sudah diketahui secara umum bahwa sekarang ini Amerika tampil paling atas dalam daftar negara tempat merajalelanya segala macam kejahatan; khususnya di kota-kota besar seperti Chicago, New York dan Washington. Di New York, perampokan sudah biasa terjadi; demikian pula penyerangan terhadap penduduk tak berdosa yang takut melawan. Kejadian seharihari ini menimbulkan suatu gambaran yang sangat menjijikkan tentang pengrusakan dan pembunuhan hanya untuk hal-hal yang sepele.
Dengan mengenyampingkan hal itu sejenak, meningkatnya pola kejahatan di seluruh dunia, dalam kasus Amerika sendiri, seseorang tidak dapat luput dari keterkejutannya mengenai hubungan antara konsep Kristen tentang "Dosa dan Penebusan Dosa" dan kejahatan-kejahatan yang dilakukan setiap hari. Walaupun mereka dapat saja meninggalkan nilai-nilai Kristen dalam amal perbuatan mereka, tetapi paling tidak hal ini jelas bahwa mereka memang mempercayai doktrin Kristen tentang "Dosa dan Penebusan Dosa" dan juga mempercayai Kristus sebagai juru selamat mereka, tetapi sayang, tidak ada gunanya. Mayoritas pelaku kejahatan di Amerika, jelas adalah mereka yang disebut orang-orang Kristen. Memang orang-orang Islam dan lainnya tidak terkecuaii. Dikarenakan seluruh pelaku kejahatan itu berasal dari kalangan Kristen dan mereka percaya pada pengorbanan sukarela Yesus Kristus demi para pelaku dosa yang beriman, apakah mereka semua akan diampuni oleh Tuhan? Jika ya, dengan cara apa? Kenyataannya, sebagian kecil dari mereka dapat tertangkap dan dijatuhi sanksi oleh hukum negara, tetapi tetap saja sebagian besar dari mereka tidak tertangkap atau dijatuhi hukuman setelah mereka melakukan kejahatan-kejahatan selama beberapa tahun.
Apa yang dapat ditawarkan Kristen kepada orang-orang yang telah dijatuhi sanksi oleh hukum dan apa yang dapat Kristen janjikan kepada mereka yang belum tertangkap di dunia ini? Apakah kedua kelompok itu akan dihukum dalam tingkatan yang berbeda atau akankah mereka dihukum tanpa pilih bulu?
Dilema lainnya yang berkaitan dengan pengampunan terhadap seorang pelaku kejahatan karena kepercayaannya terhadap Yesus Kristus, tampil dalam suatu situasi yang tidak jelas dan tidak menentu. Misalnya, apabila seorang warga Kristen melakukan suatu kejahatan terhadap seorang korban tak berdosa dari kalangan bukan Kristen, dia akan diampuni tentunya, karena berkat-berkat keimanannya terhadap Yesus. Hukuman terhadap kejahatannya akan dialihkan kepada Yesus. Namun bagaimana pula bentuk keuntungan dan kerugian si korban malang tak berdosa yang bukan Kristen itu? Yesus yang malang dan korban yang malang itu, keduanya telah dihukum untuk suatu kejahatan yang tidak mereka lakukan.
Kemampuan-kemampuan kita akan kacau jika kita mencoba membayangkan besarnya seluruh kejahatan yang pemah dilakukan umat manusia semenjak kebangkitan Kristen hingga masa kepunahan hidup manusia. Apakah seluruh kejahatan ini telah dialihkan kepada Yesus Kristus, semoga keselamatan dan berkat Allah berada atasnya? Apakah seluruh dosa tersebut telah tercakup dalam penderitaan yang dialami Yesus pada masa singkat selama tiga hari dan tiga malam? Tetap saja orang merasa aneh bagaimana mungkin suatu lautan luas para pelaku kejahatan yang begitu hebatnya dibuat pahit oleh racun kejahatan yang mematikan, telah dibuat menjadi manis dan sepenuhnya dibersihkan dari dampak-dampak kejahatan mereka hanya melalui sikap mereka yang mengimani Yesus. Sekali lagi, pemikiran seseorang ditarik jauh ke masa lampau, ketika Adam dan Hawa yang malang, dengan begitu lugunya telah melakukan pelanggaran pertama mereka hanya dikarenakan mereka telah ditipu dan dijebak secara licik oleh syaitan. Kenapa dosa mereka pun tidak turut dibersihkan? Tidakkah mereka itu memiliki keimanan terhadap Tuhan? Apakah memiliki keimanan terhadap Tuhan Bapak merupakan suatu amal baik yang kecil, dan apakah merupakan kesalahan mereka bahwa kepada mereka tidak pemah diberitahukan tentang keberadaan seorang "Anak� yang hidup secara abadi dan azali bersama Tuhan Bapak? Mengapa Tuhan Anak tidak mengasihani mereka dan memohon kepada Tuhan Bapak untuk menghukum Tuhan Anak demi kejahatan-kejahatan mereka? Betapa mungkin seseorang menginginkan hal itu terjadi, padahal lebih mudah untuk dihukum atas suatu kejadian tidak mengenakan yang dialami Adam dan Hawa. Seluruh kisah umat manusia tentu dapat ditulis kembali dalam buku takdir. Suatu dunia yang surgawi akan tercipta, dan Adam serta Hawa tidak akan dibuang selamanya dari surga, beserta seluruh anak keturunan mereka yang tidak bahagia dan yang tidak terhingga jumlahnya. Yesus sendiri terusir dari surga hanya untuk tiga hari dan tiga malam, dan seharusnya demikian. Sayangnya hal ini tidak terpikirkan oleh Tuhan Bapak maupun Yesus. Lihatlah, bagaimana dedikasi Yesus dan kenyataan (realita) yang menarik itu telah diubah menjadi suatu dongeng yang aneh dan tidak dapat dipercaya.
Keadilan dan Pengampunan
Falsafah Kristen tentang Kejahatan dan Hukuman tidak hanya sungguh membingungkan bagi intelektualitas manusia yang sederhana dan polos, tetapi juga menimbulkan banyak pertanyaan terkait lainnya yang sangat membingungkan. Falsafah hubungan antara keadilan dan pengampunan, seperti yang terbentuk melalui falsafah Kristen tentang Penebusan Dosa, berusaha memaparkan mengapa Tuhan sendiri tidak dapat memberikan pengampunan. Hal itu sepenuhnya bergantung pada suatu konsep keadilan yang keliru dan sewenang-wenang, yang menjamin bahwa keadilan dan pengampunan tidak pernah dapat berjalan bergandengan tangan. Dengan demikian, mengapa Perjanjian Baru menempatkan penekanan yang mendalam terhadap pengampunan pada saat membahas hubungan manusia? Saya tidak pernah membaca dalam suatu kitab samawi dari suatu agama di dunia ini, sebuah ajaran yang lebih condong ke satu arah dan banyak memberikan penekanan yang berlebihan pada peran pengampunan. Sungguh nyata perbedaan dengan penekanan tradisional mengenai keadilan, yang terdapat dalam ajaran-ajaran Yahudi. Mata dibalas dengan mata; gigi dibalas dengan gigi. Itulah keadilan, yang murni, sederhana dan tidak melemahkan. Sungguh suatu peralihan yang dramatis dari ajaran-ajaran Yahudi tersebut kepada ajaran Kristen yang memerintahkan supaya memberikan pipi sebelah lagi jika satu pipi ditampar. Siapa yang telah memberikan ajaran terakhir itu yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Taurat sebelumnya? Orang menjadi bingung, apakah ajaran pertama dalam Taurat, suatu ajaran yang berasal dari Tuhan Bapak, sama sekali bertentangan dengan ajaran Perjanjian Baru, suatu ajaran yang berasal dari Kristus "Tuhan Anak?" Jika demikian, mengapa Tuhan Anak begitu jauh berbeda dari Bapaknya? Haruskah pertentangan ini dianggap sebagai suatu kerusakan genetika atau suatu perubahan evolusi, atau apakah sikap Kristen terhadap pengampunan mutlak, yang sama sekali bertentangan dengan penekanan agama Yahudi terhadap pembalasan dendam itu, merupakan suatu contoh perubahan yang sangat nyata di pihak Tuhan Bapak? Dia tampaknya sangat menyesali apa yang telah Dia ajarkan kepada Musa dan para Ahli kitab, dan tampaknya Dia ingin sekali memperbaiki kesalahan-Nya itu.
Sebagai orang Islam, kami menilik pergeseran mendasar ini dalam hal penekanan, dan tidak melihat pertentangan dalamnya, sebab kami percaya terhadap Tuhan yang memiliki kombinasi sifat-sifat adil dan pengampun, tanpa ada pertentangan di antara kedua sifat tersebut. Kami memahami peralihan dari ajaran-ajaran Yahudi kepada ajaran-ajaran Yesus Kristus, bukan sebagai suatu perbaikan terhadap ajaran-ajaran aslinya, melainkan terhadap penerapan keliru yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Terhadap kami, Tuhan itu tidak hanya Maha Adil, melainkan juga Maha Pengampun, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jika Dia menghendaki, Dia tidak membutuhkan bantuan pihak luar untuk mengampuni orang yang berdosa. Namun dari sudut pandang Kristen, permasalahan itu menuntut bagian yang besar. Tampak bahwa Tuhan Bapak adalah Tuhan yang hanya tahu keadilan saja dan tidak memiliki rasa kasih maupun sayang. Tampaknya Dia tidak mampu memaafkan walau betapa besar keinginan-Nya melakukan hal itu. Kemudian datanglah Tuhan Anak untuk membantu-Nya dan melepaskan Tuhan dari dilema-Nya yang membakar itu. Tampaknya Sang Anak lebih Maha Pengasih dibandingkan Sang Bapak Yang Maha Pembalas. Bukan hanya kemustahilan tentang gambaran Sang Anak ini saja yang mengganggu akal sehat manusia, hal itu juga menampilkan kembali pertanyaan mengenai pertentangan dalam sifat-sifat mereka. Yesus tidak tampil sebagai anak sejati dari Bapaknya. Kemungkinan telah terjadi suatu kesalahan genetika lagi.
Hal penting lainnya yang perlu diteliti adalah sikap agama-agama lain yang ada di dunia ini terhadap dosa dan dampak-dampaknya. Kristen jelas bukan satu-satunya agama yang diwahyukan. Secara hitungan orang-orang bukan Kristen jauh lebih banyak melampaui jumlah orang-orang Kristen. Ribuan tahun dalam sejarah manusia yang diketahui, sebelum Yesus Kristus, menyaksikan banyak agama yang lahir dan yang mengakar di berbagai belahan dunia tempat hidup manusia. Apakah agama-agama ini pernah memaparkan suatu falsafah pengampunan bahkan walau sedikit saja hubungannya dengan dogma Kristen tentang Penebusan Dosa? Apa konsep mereka tentang Tuhan, atau tentang tuhan-tuhan jika sekarang mereka mulai mempercayai banyak tuhan? Apa konsep mereka tentang sikap Tuhan terhadap manusia yang berdosa?
Di antara agama-agama, dalam hal ini tampaknya yang paling dekat dengan agama Kristen mungkin agama Hindu, tetapi itu pun hanya sebagian, orang-orang Hindu juga percaya kepada Tuhan Yang Memiliki Keadilan mutlak, yang rasa keadilan-Nya menuntut agar Dia walau bagaimana pun harus menghukum setiap pelaku dosa. Namun persamaan tersebut berakhir di situ. Tidak ada pemaparan konsep Tuhan Anak yang memikul di atas pundaknya seluruh konsekuensi para pendosa di seluruh dunia. Sebaliknya kita mendapati suatu rangkaian kejahatan dan hukuman yang tak berakhir dalam lingkaran reinkarnasi (penitisan kembali) yang tidak putus-putusnya dari ruh ke dalam bentuk hewan. Pengampunan dosa hanya dapat dicapai setelah ruh yang mengalami reinkarnasi berkali-kali itu sudah memperoleh hukuman setimpal dengan jumlah kejahatan yang telah dilakukan selama pengalaman reinkarnasi tersebut berlangsung. Bagi sebagian orang, hal itu mungkin terasa sangat janggal dan aneh, tetapi yang jelas dalam falsafah tersebut terkandung makna-makna keadilan. Dalam pandangan tersebut terdapat suatu keseimbangan dan keselarasan yang sangat serasi dengan konsep keadilan mutlak.
Kita kesampingkan dahulu agama Hindu dan agamaagama lain yang mengajarkan falsafah reinkarnasi dengan segala kerumitannya dalam hal sebab dan akibat. Apa peran pengampunan di pihak Tuhan menurut agama-agama besar maupun kecil yang ada di dunia ini? Tampaknya seluruh agama dan lebih dari satu miliar pengikut agama-agama seperti Hindu, sepenuhnya tidak tahu menahu dan tidak memperoleh keterangan tentang Penebusan Dosa. Hal ini memang sangat membingungkan. Wujud apa lagi yang memiliki hubungan dengan umat manusia di mana pun dalam sejarah agama-agama? Jika bukan Tuhan Bapak, seperti dalam ajaran Kristen, apakah pimpinan seluruh agama di dunia ini, kecuali Yesus Kristus merupakan murid syaitan? Dan di mana Tuhan Bapak saat itu? Mengapa Dia tidak datang untuk menolong ketika sebagian umat manusia lainnya sedang disesatkan oleh syaitan dengan mengatas-namakan-Nya? Atau, apakah mereka, sebagian umat manusia tersebut merupakan ciptaan dari wujud selain Tuhan Bapak? Sekali lagi, mengapa mereka diperlakukan sebagai anak-tiri dan ditinggalkan dalam kekuasaan syaitan yang kejam?
Sekarang marilah kita memusatkan perhatian kita kepada permasalahan ini dengan merujuk kepada pengalaman umum manusia. Dapat ditampilkan bahwa pengampunan dan keadilan adalah seimbang dan dapat duduk berdampingan serta tidak selamanya bertentangan satu sama lain. Kadang-kadang keadilan menuntut supaya pengampunan harus dilakukan dan kadang-kadang menuntut supaya pengampunan tidak diberikan. Jika seorang anak diampuni dan hal itu mendorongnya untuk melakukan kejahatan lebih banyak lagi, maka pengampunan itu sendiri memberikan perlindungan pada kejahatan dan itu bertentangan dengan rasa keadilan. Jika seorang pelaku kejahatan diampuni, hanya untuk membuatnya melakukan aksi-aksi kejahatan lebih banyak lagi dan menimbulkan penderitaan terhadap orang-orang di sekelilingnya, hal itu juga bertentangan dengan asas-asas keadilan dan mirip dengan sikap keji terhadap warga lainnya yang tidak berdosa. Tidak terhitung banyak pelaku kejahatan semacam itu yang terlindungi oleh Penebusan Dosa Yesus. Hal itu sendiri bertentangan dengan keadilan. Namun jika seorang anak bertobat, misalnya, dan sang ibu merasa yakin bahwa kejahatan yang sama tidak akan diulangi kembali, maka menghukum anak tersebut akan bertentangan dengan rasa keadilan. Apabila seorang pelaku tobat merasakan penderitaan, hal itu merupakan suatu hukuman yang dalam beberapa kasus lebih berat dari suatu hukuman yang dijatuhkan dari luar. Orang-orang yang memiliki hati nurani hidup, senantiasa merasakan penderitaan setelah melakukan suatu dosa. Sebagai akibatnya, dampak yang bertumpuk dari keperihan-keperihan hati nurani yang berulang-ulang itu, mencapai suatu titik yang dapat menimbulkan curahan kasih-sayang Tuhan terhadap seorang hamba-Nya yang lemah, bimbang, dan bertobat. Ini adalah pelajaran tentang hubungan antara keadilan dan pengampunan, yang diambil oleh orang-orang berintelektual tinggi maupun oleh orang-orang yang memiliki pemahaman biasa, dari suatu pengalaman universal manusia.
Ini merupakan masa puncak bahwa orang-orang Kristen terbangun dari kondisi tidur mereka dalam menerima dogma Kristen tanpa pernah mempertanyakan kebijakan yang terkandung dalamnya. Jika mereka memeriksa kembali ajaran Kristen berdasarkan akal sehat saja dan daya nalar, mereka dapat saja tetap menjadi orang-orang Kristen yang menerapkan [agama] dengan baik, tetapi dengan tipe yang berbeda dan lebih realistis. Mereka akan mempercayai kenyataan Kristus sebagai manusia, dengan kecintaan dan dedikasi yang lebih dalam dan lebih besar dibandingkan Kristus yang semata-mata merupakan khayalan imajinasi mereka dan tidak lebih nyata dari kisah khayalan belaka. Keagungan Yesus tidak terletak pada legendanya, tetapi pada pengorbanan besar yang dilakukan Yesus sebagai manusia dan rasul. Yang dia lakukan adalah suatu pengorbanan yang menyentuh hati lebih kuat dan lebih dalam dibandingkan dengan dongeng seputar kematiannya di tiang salib dan kebangkitannya dari kematian setelah melewati beberapa jam yang mengerikan dalam neraka.
Yesus Tidak Mungkin Dapat Menebus Dosa
Selain itu, bagaimana mungkin Yesus dilahirkan dalam keadaan tidak berdosa sedangkan dia memiliki ibu manusia? Jika dosa Adam dan Hawa telah mencemari seluruh keturunan pasangan yang malang itu, maka sebagai dampak alamiahnya seluruh anak laki-laki dan perempuan harus mewarisi kecenderungan genetika terhadap dosa. Kaum wanita barangkali lebih cenderung dalam hal itu, sebab Hawa-lah yang telah menjadi alat syaitan untuk memperdayai Adam. Oleh sebab itu tanggung jawab dosa jatuh sepenuhnya pada pundak Hawa, dibandingkan Adam. Dalam kasus kelahiran Yesus, jelaslah bahwa seorang anak perempuan Hawa (Maryam) yang memainkan peranan besar. Pertanyaan yang timbul dengan sangat kuat adalah, apakah Yesus mewarisi gen pembawa kromosom dari ibunya yang manusia itu atau tidak? Jika ya, maka tidak mungkin baginya melarikan diri dari dosa warisan yang tak terelakkan itu. Jika dia tidak mewarisi kromosom dari ibunya atau dari Tuhan Bapak, maka tentu kelahirannya itu menjadi keajaiban dua kali lipat. Hanya suatu keajaibanlah yang dapat menciptakan seorang anak yang bukan berasal dari bapaknya maupun dari ibunya. Hal yang masih tidak dapat dimengerti adalah mengapa kromosom-kromosom yang diberikan oleh Hawa tidak membawa kecenderungan fitrati terhadap dosa bagi si bayi Yesus? Andaikan hal itu terjadi, dan Yesus memiliki kondisi yang suci dari dosa yang dibutuhkan untuk memikul dosa-dosa umat manusia, dalam keadaan mereka mempercayai Yesus dan bukan sebaliknya, maka masalah lain akan muncul: "Seseorang dapat saja bertanya, bagaimana nasib anak keturunan Adam dan Hawa yang telah mati sebelum kebangkitan Kristen? Miliaran jumlah mereka yang telah tersebar di seluruh dunia, di lima benua, generasi demi generasi. Mereka telah hidup dan mati tanpa memiliki harapan ataupun kemungkinan pernah mendengar tentang Kristus, Juru Selamat mereka yang belum lahir saat itu. Pada kenyataannya seluruh umat manusia antara Adam dan Kristus tampaknya benar-benar telah mengalami malapetaka abadi. Mengapa kepada mereka tidak pernah diberikan peluang yang kecil sekali pun untuk memperoleh pengampunan? Akankah kepada mereka diberikan ampunan berlaku surut oleh Yesus Kristus? Jika benar demikian, mengapa?
Pada bagian-bagian lain dunia ini, yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tanah Judea yang kecil itu, terdapat orang-orang yang tidak pernah mendengar tentang Kristen bahkan selama masa hidup Yesus Kristus, bagaimana nasib mereka? Mereka tidak pernah dan tidak memperoleh kemampuan untuk mempercayai kedudukan Yesus Kristus sebagai "Anak Tuhan." Apakah dosa-dosa mereka tidak diampuni, ataukah mereka akan diampuni? Jika mereka tidak diampuni, apa alasannya? Jika mereka dihukum, sekali lagi atas dasar logika apa? Peluang apa pula yang mereka miliki? Mereka benar-benar tidak berdaya. Sungguh-sungguh ini merupakan suatu rasa keadilan mutlak yang sangat menyimpang!
Pengorbanan yang Tidak Diinginkan
Sekarang marilah kita beralih pada peristiwa Penyaliban itu sendiri. Di sini kita dihadapkan pada dilema lain yang tidak terpecahkan. Yesus, sebagaimana berkali-kali diberitahukan kepada kita, mempersembahkan dirinya secara sukarela kepada Tuhan Bapak dan dijadikan sebagai tumbal bagi dosa-dosa seluruh umat manusia, yang tentunya diperuntukkan buat mereka yang mempercayai Yesus. Namun, ketika waktu pengabulan keinginannya .itu sudah mendekat dan akhirnya kilauan harapan bagi umat manusia yang penuh dosa mulai tampil bagai fajar di pagi hari, sebagaimana kita beralih kepada Yesus mengharapkan dapat menyaksikan kesenangan, kegembiraan dan kenikmatan yang dia rasakan pada detik yang sangat penting dalam sejarah umat manusia itu, betapa mendalamnya kekecewaan dan kebingungan kita. Bukannya kita mendapatkan seorang Yesus yang tidak sabar menanti saat sorak-sorai kegirangan, justru yang kita saksikan adalah seorang Yesus yang merintih, menangis, berdoa, dan memohon kepada Tuhan Bapak untuk menjauhkan cawan pahit kematian itu darinya. Dia benar-benar mengecam seorang muridnya ketika dia mendapatkan muridnya itu tertidur setelah mengalami suatu lari yang panjang dan penderitaan sepanjang malam yang gelap-gulita sehingga tidak memperhatikan Yesus, junjungan sucinya. Keterangan Bible tentang peristiwa tersebut adalah sebagai berikut:
Maka sampailah Yesus bersama-sama muridnya ke suatu tempat yang bernama Getsemani. Lalu ia berkata kepada murid-muridnya: "Duduklah di sini, sementara aku pergi ke sana untuk berdoa." Dan ia membawa Petrus dan kedua anak Zebedeus sertanya. Maka mulailah ia merasa sedih dan gentar, lalu katanya kepada mereka: "Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya." Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan aku." Maka ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, katanya: "Ya Bapaku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini berlalu dari padaku, tetapi janganlah seperti yang kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." Setelah itu ia kembali kepada murid-muridnya itu dan mendapati mereka sedang tidur. Dan dia berkata kepada Petrus: "Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan aku? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam percobaan: ruh memang penurut, tetapi daging lemah." Lalu ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa, katanya: "Ya Bapaku, jikalau cawan ini tidak mungkin berlalu, kecuali apabila aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!" Dan ketika ia kembali pula, ia mendapati mereka sedang tidur, sebab mata mereka sudah berat. Ia membiarkan mereka disitu lalu pergi dan berdoa untuk ketiga kalinya dan mengucapkan doa yang itu juga. (Matius 26:36-43)
Demikianlah, seperti yang diungkapkan sendiri oleh cerita Kristen, doa-doa dan permohonan Yesus maupun murid-muridnya tidak dikabulkan oleh Tuhan Bapak, dan mau tidak mau, walaupun Yesus mengungkapkan pernyataannya yang kuat, dia akhirnya telah disalibkan. Apakah dia orang yang sama, pangeran tak berdosa yang sama, dan tokoh suri tauladan pengorbanan yang dengan gagah berani mempersembahkan dirinya secara sukarela untuk memikul beban seluruh dosa umat manusia di atas kedua pundaknya, ataukah dia orang yang lain? Sikapnya, pada saat-saat menjelang penyaliban dan selama peristiwa penyaliban itu sendiri, dengan kuat menebarkan bayangbayang keraguan, mengenai identitas Yesus Kristus maupun mengenai hakikat dongeng yang beredar di seputar dirinya. Namun, tentang itu akan kita bahas belakangan. Sekarang marilah kita kembali pada penelitian cermat yang kita tinggalkan tadi.
Beberapa persoalan lain yang timbul dari jeritan penderitaan terakhir Yesus Kristus adalah sebagai berikut: Siapa yang telah memanjatkan doa-doa yang sangat pedih dan menyentuh itu? Apakah Yesus sebagai manusia, ataukah Yesus sebagai Tuhan Anak?
Jika itu merupakan Yesus sebagai inanusia, yang telah ditinggalkan, maka ditinggalkan oleh siapa? Dan mengapa? Jika kita terima pilihan ini, hal itu akan menjamin bahwa hingga saat terakhir Yesus sebagai manusia memiliki sebuah identitas yang berdiri sendiri, yang dapat berpikir dan merasakan secara bebas dan secara pribadi. Apakah dia mati pada detik terlepasnya ruh Yesus Tuhan Anak dari tubuh manusia yang telah dia duduki? Jika ya, mengapa dan bagaimana? Jika memang demikian dan tubuh manusialah yang telah mati setelah ruh Tuhan meninggalkannya, maka pernyataan yang muncul adalah: Siapa pula yang telah dihidupkan kembali dari kematian ketika ruh Tuhan mendatangi kembali tubuh yang sama beberapa saat kemudian? Kembali, pilihan ini akan menggiring kita untuk mempercayai bahwa bukanlah Yesus Tuhan Anak yang merasakan penderitaan saat itu, tetapi tokoh Yesus sebagai manusialah yang merintih dalam penderitaan sedemikian rupa, dan dialah yang merasakan penderitaan, sementara Yesus Tuhan Anak menyaksikannya dengan sikap tidak acuh dan tidak peduli sama sekali. Lalu bagaimana dia dapat menggenapi pendawaan bahwa dialah Tuhan Anak yang telah menanggung penderitaan demi umat manusia, bukan tokoh manusia yang berada dalamnya?
Pilihan lain adalah, kita menganggap bahwa Yesus Tuhan Anaklah yang merintih itu, sementara tokoh manusia yang berada dalam dirinya, mungkin berharap dapat memulai suatu kehidupan baru bagi dirinya sendiri, menyaksikan dengan dugaan yang tidak menentu, sepanjang pengorbanan yang dilakukan Yesus Tuhan Anak, maka dia, Yesus sebagai manusia, dia suka atau tidak, juga akan
dibunuh di atas altar rekannya yang tidak berdosa. Rasa keadilan apa yang telah mendorong Tuhan untuk membunuh dua ekor burung dengan batu yang sama, mungkin suatu misteri yang lain lagi.
Jika itu merupakan Yesus Tuhan Anak, dan memang dialah menurut kesepakatan umum gereja-gereja Kristen, maka persoalan kedua yang muncul dari jawaban pertama adalah tentang identitas pihak kedua yang terlibat dalam ucapan Yesus (Matius 26:39,42). Ada dua pilihan yang terbuka bagi kita:
Pertama, Tuhan Anak berbicara kepada Tuhan Bapak, mengeluhkan bahwa dia telah ditinggalkan pada saat dia membutuhkan. Hal ini dengan tidak terelakkan lagi menggiring kita untuk mempercayai bahwa mereka merupakan dua tokoh berbeda yang tidak hidup bersama dalam satu kepribadian yang saling tergabung, yang secara sepadan bersama-sama memiliki semua sifat dan menerapkannya secara beriringan dengan andil yang seimbang. Satu tokoh tampil sebagai wasit agung, pemilik terkuat kekuasaan tertinggi untuk mengambil keputusankeputusan. Yang satu lagi, Tuhan Anak yang malang, tampaknya darinya telah dicabut secara penuh, atau mungkin secara sementara telah dilepaskan hak-hak kepemilikannya terhadap sifat-sifat kuasa yang dimiliki Bapaknya. Hal utama yang tetap harus diperhatikan adalah kenyataan bahwa keinginan dan kemauan-kemauan mereka yang saling bertentangan tampak paling banyak bertabrakan dan berselisih satu sama lain selama babak akhir dari drama penyaliban.
Persoalan kedua adalah, apakah kedua tokoh yang berbeda itu, dengan pemikiran-pemikiran pribadi masingmasing, nilai-nilai pribadi masing-masing, dan kapasitaskapasitas pribadi masing-masing merasakan keperihan dan penderitaan jika mereka merupakan "dua dalam satu" dan "satu dalam dua?" Jadi, persoalan lain menuntut dialog panjang di antara para theolog mengenai kemungkinan bahwa Tuhan mampu merasakan keperihan dan hukuman.
Bahkan walaupun Dia mampu melakukan hal itu, hanya separuh Tuhan yang akan merasakannya, sementara yang separuh lagi (Yesus) tidak mampu melakukan, karena memang sudah demikian strukturnya atau kemutlakan alamiahnya. Sebagaimana kita masuk lebih jauh ke dalam dunia bayangan dari falsafah yang berbelit ini, cahaya mulai semakin redup dan redup, serta kita mendapatkan kebingungan demi kebingungan.
Masalah lain adalah, dengan siapa Kristus berbicara, padahal dia sendiri adalah Tuhan? Ketika dia berbicara kepada Bapaknya, dia sendiri merupakan bagian yang tidak terpisalkan dari sang Bapak, demikianlah yang diberitahukan kepada kita. Jadi, apa yang dia katakan dan kepada siapa? Pertanyaan ini harus dijawab dengan suatu akal sehat yang bebas, tanpa dipaksa oleh dogma. Hal itu menjadi sebuah dogma hanya apabila tidak dapat diuraikan dalam istilahistilah [pemahaman] manusia. Berdasarkan penyataan Bible, ketika Yesus hampir melepaskan nyawanya, dia merintih kepada Tuhan Bapak: "Mengapa Engkau telah meninggalkan aku?" Siapa yang telah meninggalkan, dan siapa yang telah ditinggalkan? Apakah Tuhan telah meninggalkan Tuhan?
Siapa yang Telah Dikorbankan?
Masalah lain yang harus kita catat adalah, tokoh manusia yang ada dalam Yesus tidak dihukum, dan tidak pula dia harus dihukum berdasarkan logika apa pun, sebab dia tidak pernah dihadapkan pada pilihan untuk memikul beban dosa umat manusia. Unsur baru ini, yang masuk dalam perdebatan kita, menggiring kita ke dalam suatu situasi sangat janggal yang tidak kita sadari sebelumnya. Orang terpaksa merasa heran mengenai hubungan tokoh manusia dalam Yesus dengan warisan kecenderungan melakukan dosa, yang berlaku umum bagi seluruh anak keturunan Adam dan Hawa. Paling tidak, seseorang dapat mempercayai bahwa dalam dualisme Tuhan Anak dan tokoh manusia yang menduduki satu tubuh yang sama, hanya Tuhan Anaklah yang suci dari dosa. Namun, bagaimana pula tokoh manusia sekandungan yang hidup dengannya? Apakah dia juga dilahirkan dengan gen dan sifat yang disediakan oleh Tuhan? Jika ya, maka dia harus bersikap- seperti tokoh Tuhan dalam Yesus dan tidak ada alasan yang dapat diterima jika dia lalai dalam berbagai hal, dengan dalih bahwa dia melakukan hal itu sebab dia seorang manusia. Jika tidak ada unsur Tulan dalam dirinya, yakni dalam tokoh manusia pada Yesus, maka kita harus mengakui bahwa dia hanyalah seorang manusia biasa [bahkan] mungkin separuh manusia. Selain itu, tokoh manusia tersebut yang telah menyatu dalam Yesus, harus tampil sebagai manusia yang mewarisi kecenderungan terhadap dosa. Jika tidak, apa sebabnya?
Jelaslah, tidak ada untungnya mengatakan bahwa sebagai manusia yang secara nyata terpisah dari pasangan Tuhannya, dia tentu telah melakukan dosa secara terpisah dengan seluruh tanggung jawab akan dosa di atas pundaknya sebagai manusia. Skenario ini tidak akan sempurna tanpa memaparkan Yesus Tuhan Anak mengalami kematian; cukup mementingkan diri sendiri tampaknya demi umat manusia tetapi yang menjadi pertimbangan utamanya mungkin demi saudaranya yang separuh itu, yakni tokoh manusia yang ada dalam dirinya.
Semua ini sangat sulit, kalau bukan tidak mungkin, untuk mencernanya secara intelek. Namun, sudut pandang kami tidak menampilkan masalah-masalah seperti itu. Adalah Yesus tokoh manusia yang tidak berdosa di situ � tanpa dualisme dalam dirinya � yang telah melontarkan rintihan keheranan dan penderitaan tersebut.
Dilema yang Dihadapi Yesus
Sekali lagi saya perjelas bahwa bukannya saya tidak percaya kepada Yesus, justru saya memiliki rasa hormat yang mendalam terhadapnya sebagai seorang utusan Tuhan dengan pengorbananpengorbanan yang luar biasa. Saya memahami Yesus sebagai orang suci yang menjalani suatu masa cobaan berat. Namun beriringan dengan mulai terbukanya pengisahan peristiwa penyaliban dan semakin mendekati saat akhirnya, kita tidak memiliki pilihan lain kecuali mempercayai bahwa Yesus tidak mempersembahkan dirinya dengan sukarela untuk menghadapi kematian di tiang salib. Pada malam sebelum musuh-musuhnya bermaksud membunuh beliau melalui penyaliban, kita mendengar bahwa beliau berdoa sepanjang malam, didampingi seluruh muridnya, sebab kebenaran pendawa'an beliau sedang dipertaruhkan. Telah dikatakan dalam Perjanjian Lama bahwa seorang pendusta yang mengaitkan hal-hal tertentu terhadap Tuhan yang Dia sendiri tidak pernah mengatakannya, akan digantung di sebuah tiang dan dengan itu menjalani kematian yang terkutuk:
Namun seorang nabi yang menganggap dirinya mengucapkan atas nama-Ku sesuatu yang tidak pemah Aku perintahkan kepadanya untuk diucapkan, atau seorang nabi yang berbicara atas nama tuhan-tuhan lain, harus dihukum mati. (lihat Ulangan 18:20).
"Apabila seseorang berbuat dosa yang sepadan dengan hukuman mati, lalu ia dihukum mati, kemudian kau gantung dia pada sebuah tiang, maka janganlah mayatnya dibiarkan semalam-malaman pada tiang itu, tetapi haruslah engkau mengubur dia pada hari itu juga, sebab seorang yang digantung terkutuk oleh Allah. (Ulangan 21:22,23).
Yesus mengetahui, jika hal ini terjadi, orang-orang Yahudi akan merayakannya dengan gembira dan menyatakan dirinya seorang pendusta yang kepalsuannya telah terbukti secara jelas berdasarkan kitab-kitab samawi. Inilah sebabnya mengapa dia .sangat gelisah untuk menyelamatkan diri dari cawan kematian yang pahit; bukan karena pengecut tetapi karena takut bahwa umatnya akan terkecoh dan gagal mengenali kebenarannya apabila dia mati di atas salib. Sepanjang malam dia berdoa dengan begitu memilukan dan begitu tidak berdayanya, sehingga dengan membaca tentang penderitaan dan kesengsaraannya itu, hati jadi tersaya-sayat. Namun pada saat drama kehidupan nyata itu mendekati saat kehidupan terakhirnya, puncak ketegangan emosinya, kekecewaan dan ketidakberdayaannya secara penuh telah ditampilkan dalam rintihannya yang terakhir: "Eli, Eli, lamma sabaktani? " yang artinya, "Tuhan-ku, Tuhan-ku, mengapa Engkau telah meninggalkan aku?"1
Hendaknya dicatat bahwa bukan penderitaan saja yang tergambar dalam rintihan itu, tetapi jelas di situ tercampur unsur keterkejutan, mendekati kengerian. Setelah dia disadarkan kembali atas bantuan beberapa murid setianya yang membubuhkan suatu salep terhadap luka-lukanya � yang telah mereka persiapkan sebelum penyaliban dan yang mengandung ramuan-ramuan yang diperlukan untuk mengurangi rasa sakit serta menyembuhkan luka-luka � dengan sangat luar biasa serta gembira, dia kagum dan keimanannya terhadap Tuhan yang sangat dicintai menjadi bangkit serta hidup kembali dalam suatu corak yang jarang dialami manusia dalam hal kehebatan dan ketidakterbatasannya. Kenyataan bahwa salep itu telah dipersiapkan secepatnya, menunjukkan suatu bukti kuat bahwa murid-murid Yesus memang memiliki harapan bahwa dia diturunkan dari tiang salib dalam keadaan hidup, sehingga sangat membutuhkan pengobatan.
Dari hal di atas jadi sangat jelas bahwa konsep-konsep Dosa Warisan dan Penyaliban hanyalah berlandaskan pada dugaan dan khayalan para theolog Kristen pada masa belakangan. Sangat mungkin bahwa hal-hal itu muncul dari beberapa dongeng sebelum Kristen yang memiliki sifat sama, yang ketika diterapkan pada kondisi-kondisi Yesus Kristus, menarik mereka untuk mendapatkan persamaan-persamaan yang dekat antara keduanya dan menciptakan sebuah dongeng yang serupa. Ringkasnya, apa pun misteri (hal yang belum terbuka) dan paradoks (hal yang ber lawanan dengan asas) yang ada, seperti yang kita saksikan, sebegitu jauh tidak ada bukti bahwa falsafah Kristen tentang Dosa dan Penebusan Dosa itu berlandaskan pada sesuatu yang telah dikatakan atau telah dilakukan atau telah dipikirkan oleh Yesus. Dia tidak pernah mengajarkan hal yang sangat bertentangan itu, dan yang jelas-jelas melawan akal manusia
Apakah Tuhan Bapak Juga Menderita?
Memperhatikan sifat Tuhan Anak, kita tidak dapat mempercayai bahwa dia.telah dicampakkan ke dalam api neraka, sebab hal itu akan berarti suatu pertentangan dalam dirinya sendiri. Kembali pada konsep dasar kekristenan, kita melihat bahwa telah dikatakan, Tuhan dan Tuhan Anak merupakan dua tokoh tetapi memiliki sifat dan zat yang sama. Tidak mungkin satu tokoh mengalami suatu peristiwa sedangkan yang satu lagi tidak mengalaminya. Bagaimana kita dapat mempercayai bahwa satu segi dari Tuhan, yakni Tuhan Anak, telah mengalami penyiksaan, sementara Tuhan Bapak tetap tidak cedera? Jika Dia tidak mengalami penderitaan, hal itu sama dengan terbelahnya Keesaan Tuhan (Tauhid). Konsep Tiga dalam Satu (Trinitas) lebih tidak dapat dibayangkan lagi, sebab pengalaman-pengalaman yang dilalui oleh masing-masing unsur dalam Trinitas tersebut begitu. berbeda dan jauh satu sama lain, sehingga tidaklah mungkin bagi satu tuhan untuk berada dalam api neraka yang menyala-nyala dan pada saat yang sama tuhan yang satu lagi benar-benar jauh dan tidak tersentuh oleh api tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi umat Kristen zaman sekarang kecuali mengorbankan Keesaan Tuhan dan mempercayai tiga tuhan yang berbeda � seperti para penyembah berhala sebelum zaman Kristen, misalnya orang-orang Romawi dan Yunani -atau tetap jujur terhadap diri mereka sendiri dan percaya bahwa Tuhan adalah satu, dan dua segi yang dimiliki Tuhan tidak dapat mengalami kondisikondisi yang saling bertentangan. Apabila seorang anak mengalami penderitaan, tidak mungkin bagi ibu untuk tetap diam dan tenang. Dia pasti menderita juga, kadang-kadang lebih menderita dari si anak. Apa yang terjadi pada Tuhan Bapak ketika Dia membuat Anak-Nya mengalami penderitaan selama tiga hari di neraka? Apa yang telah terjadi pada Tuhan Anak? Apakah Dia telah dipecah menjadi dua person dengan dua bentuk dan substansi [yang berbeda]? Satu person mengalami penderitaan di neraka sedangkan yang satu lagi benar-benar berada di luar, sama sekali tidak mengalami penderitaan? Apabila Tuhan Bapak menderita lalu apa perlunya menciptakan anak? Jadi ini adalah pertanyaan yang langsung. Mengapa tidak Dia tanggung sendiri penderitaan itu? Mengapa Dia harus membuat sebuah rencana sulit seperti itu untuk memecahkan masalah pengampunan?
Azab Neraka
Berikut ini, persoalan neraka, yang menurut doktrin Kristen, Yesus telah ditahan dalamnya, harus diteliti lebih cermat. Neraka jenis apa itu, apakah sama dengan neraka yang kita baca di Perjanjian Baru, yang mengatakan: "Anak Manusia akan menyuruh malaikat-malaikat-Nya untuk mengumpulkan segala sesuatu yang menyesatkan dan semua orang yang melakukan kejahatan di Kerajaan-Nya. Semuanya akan dicampakkan ke dalam dapur api; di sanalah akan ada ratapan dan hentakan gigi. (Matius 13:41-42).Sebelum kita maju lebih lanjut, harus dipahami dengan jelas apa yang dimaksud oleh Perjanjian Baru dengan azab api atau azab neraka. Apakah itu api yang membakar ruh ataukah api lahiriah yang membakar tubuh sehingga dengan demikian api itu menyiksa ruh? Apakah orang-orang Kristen percaya bahwa sesudah mati kita akan kembali ke tubuh semula yang telah ditinggalkan ruh untuk hancur menjadi tanah dan debu, atau akankah diciptakan suatu tubuh baru untuk masing-masing ruh dan apakah orang yang dibangkitkan kembali itu akan mengalami semacam reinkarnasi? Jika itu merupakan api lahiriah dan suatu azab badaniah, maka orang terpaksa menarik imajinasinya sampai ke batas akhir untuk membayangkan apa yang mungkin telah terjadi dalam kasus Yesus Kristus. Sebelum Yesus dijerumuskan ke dalam api, apakah ruhnya telah dimasukkan kembali ke dalam tubuh manusia yang telah Yesus tumpangi terus sepanjang hidupnya di bumi, atau apakah Yesus dengan cara tertentu telah dipindahkan ke dalam suatu tubuh samawi? Jika kasusnya adalah tubuh samawi, maka tubuh samawi tersebut tidak dapat disentuh oleh api lahiriah neraka untuk dihukum, diazab ataupun dihancurkan. Sebaliknya jika kita menerima skenario bahwa tubuh manusia yang Yesus diami itulah yang akan dibentuk kembali bagi Yesus untuk menjadi semacam medium/sarana guna merasakan azab neraka, maka orang tidak dapat luput mencatat suatu serangan lain yang dilakukan terhadap asas keadilan Ilahi. Sungguh malang si manusia itu, pertama-tama dirinya telah dibajak sepanjang hidupnya oleh suatu ruh asing, tetapi kemudian sebagai imbalan dari sikapnya yang mau menampung ruh asing tersebut yang dipaksakan kepadanya, dia akan dibakar dalam neraka demi suatu kejahatan yang tidak dia lakukan. Pahala atas pengorbanannya itu telah dikuasai sepenuhnya oleh si penumpang asing yang bernaung dalam dirinya. Sekali lagi, bagaimana nasib ruh si manusia itu? Barangkali dia tidak punya suatu ruh miliknya sendiri. Jika dia tidak punya, maka manusia yang ada dalam Yesus dan Tuhan yang ada dalam Yesus seharusnya satu dan merupakan tokoh yang sama; sedangkan dalil yang mengatakan bahwa Yesus kadangkadang bersikap atas dorongan-dorongan nurani manusianya dan kadang-kadang atas kehendak Ilahi, telah gugur. Satusatunya konsep yang dapat diterima oleh akal adalah, satu ruh dan satu tubuh adalah sama dengan satu orang/tokoh. Dua ruh dan satu tubuh adalah suatu pemikiran aneh yang hanya dapat dipaparkan oleh orang-orang yang percaya bahwa manusia dapat ditumpangi/dirasuki oleh hantu-hantu atau makhluk-makhluk sejenisnya.
Pengorbanan dan Kebahagiaan Ruhani
Jika pilihan kedua lebih dapat diterima oleh para theolog Kristen � yakni menganggap bahwa hanya ruh Yesuslah yang telah masuk ke dalam neraka dan nerakanya pun adalah neraka ruhani � maka tampaknya tidak ada alasan mengapa kita harus menolak gagasan ini sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Akan tetapi neraka ruhani hanya tercipta melalui keperihan-keperihan hati nurani atau rasa bersalah. Dalam kasus Yesus Kristus, tidak satu pun yang dapat diterapkan. Jika anda mendapat hukuman atas kejahatan orang lain, anda sebagai orang yang tidak bersalah, di situ bukanlah keperihan-keperihan hati nurani yang diberlakukan, melainkan sebaliknya. Ruh orang seperti itu akan bergetar dengan suatu rasa mulia dan pengorbanan diri, yang akan sama dengan surga ruhani, bukannya neraka.
Sekarang kita kembali kepada permasalahan tubuh yang telah ditumpangi oleh Yesus dan tentang makna mati dalam kaitan dengan tubuh tersebut serta mengenai makna kehidupan/ kebangkitan kembali dalam konteks yang sama. Menurut pengetahuan kita, tubuh Yesus Kristus merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dalam kedudukan Yesus sebagai Anak Tuhan. Jika tidak, dia tidak akan memiliki landasan titik-temu bagi sisi ketuhanannya dan sisi kemanusiaannya untuk berpadu serta memainkan peranperan yang benar-benar berbeda dalam kondisi-kondisi tertentu. Kadang-kadang kita menyaksikan sisi manusialah yang memegang kendali yang menggambarkan bahwa dia memiliki suatu ruh tersendiri bagi dirinya. Dan kadangkadang kita menyaksikan sisi Tuhanlah yang menegaskan keberadaannya dan mengendalikan kemampuan--kemampuan otak serta kalbu si manusia itu. Sekali lagi kami menekankan bahwa hal itu hanya dapat terjadi apabila terdapat dua tokoh berbeda terikat dalam satu wujud
Makna Kematian dalam Kaitan dengan Kristus
Setelah memahami dengan jelas pilihan-pilihan yang berbeda mengenai peran-peran berkaitan yang dimainkan oleh tokoh Tuhan dan tokoh manusia dalam wujud Yesus, kami mencoba memahami penerapan kata "mati" dan seluruh maknanya yang berkaitan dengan Yesus.
Jika dia mati selama tiga hari tiga malam maka dalam hal itu kematian harus dipahami dalam makna bahwa ruh telah dipisahkan dari tubuh, dan ruh meninggalkannya. Hal itu berarti ruh harus meninggalkan tubuh dan memutuskan hubungannya secara penuh sehingga yang tertinggal hanyalah jasad yang tak bemyawa. Sejauh ini masih bagus. Yesus akhimya telah dibebaskan dari kurungan dalam tubuh lahiriah seorang manusia. Pembebasan dari kurungan ini seharusnya tidak dianggap sebagai suatu hukuman sama sekali. Kembalinya ruh Ilahiah Tuhan Anak ke dalam perwujudan mulia yang sama, dalam bentuk apa pun tidak dapat diperlakukan seperti kematian manusia biasa. Kematian manusia menakutkan bukanlah karena ruh meninggalkan tubuh dan memutuskan hubunganhubungannya dengan memperoleh suatu kesadaran baru, tetapi rasa takut tentang kematian pada dasarnya karena terputusnya secara permanen hubungan-hubungan seseorang dengan banyak orang yang dia cintai yang tertinggal di dunia ini, serta meninggalkan hartanya dan berbagai hal yang dia cintai. Seringkali terjadi bahwa seorang manusia yang tidak memiliki apa-apa untuk hidup memilih lebih baik mati daripada menjalani suatu kehidupan yang hampa.
Dalam kasus Yesus, rasa penyesalan mendalam tidak tampil. Baginya jendela-kematian telah terbuka hanya pada satu arah, yakni berupa keuntungan dan bukan kerugian. Mengapa perpisahannya dari tubuh itu dianggap sebagai suatu hal yang sangat menyedihkan dan sebagai peristiwa yang menyengsarakan? Kembali, jika sekali dia mati dan secara hakiki, tidak secara kiasan, melepaskan nyawa, sebagaimana yang diinginkan orang-orang Kristen agar kami mempercayainya, maka kembalinya dia ke dalam tubuh yang sama adalah suatu langkah yang paling tidak bijaksana yang diterapkan kepada Yesus. Apakah dia dilahirkan lagi ketika dia kembali pada tubuh yang telah dia tinggalkan saat kematian? Jika proses ini akan dinyatakan sebagai hidupnya kembali atau kebangkitan kembali bagi Yesus, maka tubuh pun harus diabadikan juga. Namun, yang kami baca dalam Bible adalah suatu kisah yang benar-benar berbeda. Menurut kisah itu, Yesus telah dibangkitkan kembali dari kematian dengan cara memasuki tubuh yang dengannya dia telah disalibkan, dan itulah yang disebut sebagai kembalinya Yesus memperoleh kehidupan. Dengan demikian, apa artinya langkah Yesus untuk meninggalkan tubuh itu sekali lagi? Tidakkah hal itu akan sama dengan kematian kedua?
Jika perpisahan pertama dari tubuh itu merupakan kematian, sudah pasti yang kedua kalinya dia diyakini telah meninggalkan tubuh manusia, maka seharusnya dia dinyatakan telah mengalami kematian abadi. Ketika ruh meninggalkan tubuh untuk pertama kalinya, anda namakan hal itu kematian; ketika ruh kembali kepada tubuh semula, anda namakan hal itu kehidupan sesudah mati. Namun akan anda namakan apa ketika ruh sekali lagi meninggalkan tubuh yang sama dan tidak pemah kembali lagi � akankah hal itu dinamakan kematian abadi ataukah kehidupan abadi menurut istilah Kristen? Hal itu pasti merupakan kematian abadi dan tidak lebih dari itu. Hal itu merupakan pertentangan di atas pertentangan. Sungguh merupakan suatu peristiwa yang sangat mengerikan!
Jika dinyatakan bahwa tubuh tersebut tidak ditinggalkan pada kali yang kedua, maka kita mendapatkan suatu skenario aneh di dalamnya Tuhan Bapak tampil sebagai suatu wujud ruhani non badaniah yang tidak terbatas, sementara Tuhan Anak terperangkap dalam batas-batas sempit wujud yang tidak abadi.
Penderitaan Terbatas untuk Dosa Tak Terbatas
Dapat dinyatakan, tidak selamanya hanya penderitaanpenderitaan hati nurani saja yang menimbulkan suatu kondisi menyedihkan dalam pikiran dan kalbu orang-orang yang peka terhadap kesalahan-kesalahan mereka. Pada sisi lain, rasa simpati mendalam terhadap penderitaanpenderitaan orang lain juga dapat menimbulkan suatu keperihan seumur hidup bagi seseorang yang bersih dari kejahatan secara penuh maupun sebagian, tetapi memiliki penderitaan dengan nilai ruhani yang luhur demi orang-orang lain. Hal itu juga dapat membentuk suatu neraka yang setara. Ibu-ibu mengalami penderitaan untuk anak-anak mereka yang sakit. Pengalaman manusia memberikan kesaksian tentang fakta bahwa kadang-kadang demi seorang anak yang cacat secara permanen, maka seluruh kehidupan sang ibu berubah menjadi suatu neraka yang nyata. Jadi, mengapa kita tidak dapat akui bagi Yesus kemampuan mulia untuk menanggung penderitaan demi orang-orang lain? Mengapa tidak. Namun, mengapa hanya tiga hari tiga malam saja? Mengapa tidak selama perjalanan sementaranya di dunia, dan bahkan sebelum serta sesudah itu? Orang-orang yang mulia tidak hanya mengalami penderitaan secara sementara dalam suatu jangka waktu maupun hari yang terbatas. Kalbu-kalbu mereka tidak tenteram kecuali mereka menyaksikan bahwa kesengsaraan itu telah dihapuskan atau dilenyapkan secara menyeluruh. Neraka yang kita bicarakan ini bukanlah hak istimewa yang hanya dimiliki oleh seorang suci tidak berdosa; hal itu merupakan suatu nilai luhur yang pada batas-batas tertentu juga dimiliki oleh binatangbinatang buas di hutan belantara demi sesama mereka.
Setelah beberapa uraian lagi saya akan menyudahi masalah ini, tetapi saya memiliki satu hal penting lainnya yang akan saya singgung secara ringkas. Hukuman yang telah ditentukan oleh Tuhan bagi Yesus Kristus hanya berlangsung tiga hari tiga malam, sedangkan para pelaku dosa yang untuk mereka Yesus telah dihukum, telah melakukan dosa-dosa yang begitu mengerikan dan sekian lama, menurut Bible, hukuman bagi mereka adalah penderitaan abadi dalam neraka. Jadi, Tuhan adil yang bagaimana Allah itu, yakni ketika tiba saat hukuman bagi ciptaan-ciptaan-Nya, orang-orang yang bukan anak laki-laki atau anak perempuan-Nya, mereka dihukum secara abadi? Namun ketika tiba saat hukuman bagi Anak-Nya sendiri, demi dosa-dosa yang secara sukarela telah dia pikul, tiba-tiba saja hukuman itu dikurangi. Hanya tiga hari tiga malam. Tidak sebanding sama sekali. Jika ini yang dinamakan keadilan, maka tidak perlu ada keadilan. Bagaimana Tuhan memandang perilaku umat manusia, yang telah Dia ciptakan melalui tangan kanan-Nya sendiri, jika mereka menerapkan keadilan seperti yang mereka pelajari dari Tuhan dengan cara memberlakukan ukuran yang berbeda bagi anak-anak mereka sendiri sedangkan bagi orang-orang lain ukurannya lain lagi? Apakah Tuhan Bapak memandang penjiplakan yang sangat setia itu dengan rasa senang atau rasa ngeri? Memang sangat sulit untuk menjawabnya.
Perubahan Apa yang Ditimbulkan oleh Penebusan Dosa?
Sejauh yang berkaitan dengan dampak penyaliban Yesus Kristus dalam kaitannya dengan hukuman terhadap dosa, kami telah buktikan bahwa keimanan terhadap Yesus Kristus tidak mengurangi hukuman terhadap dosa dalam bentuk apa pun, yang telah ditetapkan oleh Tuhan untuk Adam dan Hawa serta anak keturunan mereka. Semua ibu masih melahirkan anak mereka dengan rasa sakit dan kaum pria masih mencari nafkah dengan kerja keras. Kita dapat tinjau hal ini dari sudut lain, yakni suatu perbandingan luas antara dunia Kristen dan bukan Kristen sejak zaman Yesus Kristus. Tidak seorang pun dari kalangan orang yang mempercayai Yesus dapat menunjukkan suatu perubahan nyata, dalam periode sejarah mana pun, yakni berupa kenyataan bahwa kaum wanita mereka melahirkan anak-anak mereka tanpa rasa sakit dan kaum pria mereka mencari nafkah tanpa kerja keras. Mereka tidak menampakkan perbedaan apa pun dalam hal ini jika dibandingkan dengan dunia bukan Kristen.
Sejauh yang berkaitan dengan kecondongan untuk melakukan dosa, dunia orang-orang yang mengimani Kristus dibandingkan dengan dunia orang-orang yang tidak mengimani beliau, tidak membuktikan bahwa takdir untuk melakukan dosa telah dihapuskan secara menyeluruh di kalangan orang-orang yang masuk dalam kategori beriman pada Yesus Kristus. Sebagai tambahan, orang menjadi heran mengapa beriman kepada Tuhan telah dianggap begitu rendah derajatnya dibandingkan beriman kepada Anak-Nya. Hal itu masih relevan khususnya pada zaman sebelum terbukanya bagi umat manusia rahasia kuno yang disimpan erat-erat selama berabad-abad itu (bahwa Tuhan memiliki seorang Anak). Banyak orang yang percaya kepada Tuhan dan keesaan-Nya. Demikian pula tidak terhitung banyaknya orang yang lahir di setiap agama dan negeri di bumi ini sejak masa Kristus, yang percaya kepada Tuhan dan keesaan-Nya. Mengapa kepercayaan terhadap Tuhan tidak memberikan pengaruh apa pun pada kejahatan manusia dan hukumannya? Sekali lagi mengapa Tuhan Bapak tidak dapat memperlihatkan kemuliaan berupa penderitaan demi para pelaku dosa, seperti yang telah ditampakkan oleh anaknya yang lebih mulia? Tampaknya Tuhan Anak sudah barang tentu memiliki nilai-nilai akhlak lebih tinggi (na'udzubillah � kita berlindung kepada Allah) daripada Bapaknya yang kurang beradab. Orang dapat saja bertanya, apakah kedudukan Tuhan sedang mengalami perubahan dan masih dalam proses menuju kesempurnaan?
.