Sejarah Gerakan Misionaris Di Dunia Islam
Bagian Pertama
Di antara realitas dan berita mengenai negara-negara Islam, adakalanya kita bertemu dengan masalah yang memang penting dan layak untuk diperhatikan. Kehadiran dan aktivitas misionaris agama di negara-negara Islam merupakan salah satu topik penting yang beberapa waktu lalu menjadi pembahasan dalam media massa di negara-negara ini.
Kehadiran misionaris agama di negara-negara Islam merupakan satu gerakan yang kompleks dan ada kalanya berbentuk kegiatan kebudayaan yang tersembunyi. Kegiatan ini sebagian besar mendapat dukungan moral dan materil dari para kapitalis besar di barat. Dengan melihat kepada aktivitas dan kinerja mereka dalam masyarakat Islam selama beberapa dasawarsa yang lalu, banyak pengamat masalah sejarah dan politik yang menilai bahwa para misionaris ini adalah pelaksana kebijakan imperialisme dunia.
Pembahasan yang ingin kami sampaikan pada pertemuan kita kali ini ialah aktivitas misionaris di negara-negara Islam serta meninjau sejarah kedatangan, tujuan, dan metode aktivitas mereka dalam masyarakat Islam.
Aktivitas misionaris di negara-negara Islam memiliki sejarah yang panjang. Misionaris adalah sebutan untuk siapa saja yang mengemban tanggungjawab untuk menyebarkan kristen. Misionaris masuk ke berbagai negara dengan tujuan untuk memperkenalkan dan memperluas penyebaran akidah Kristen. Tetapi seiring dengan berlalunya zaman, mereka masuk seiring dengan invasi kaum imperialis. Dengan cara ini mereka mampu menyusup masuk dan melakukan infiltrasi di kawasan-kawasan yang telah ditaklukkan kaum imperialis tersebut. Pak, peneliti Cina dalam bukunya yang berjudul China and The West menukil ucapan Napoleon sbb:
“Delegasi misionaris agama bisa memberikan keuntungan buatku di Asia, Afrika, dan Amerika karena aku akan memaksa mereka untuk memberikan informasi tentang semua negara yang telah mereka kunjungi. Kemuliaan pakaian mereka tidak saja melindungi mereka, bahkan juga memberi mereka kesempatan untuk menjadi mata-mataku di bidang politik dan perdagangan tanpa sepengetahuan rakyat.”
Pada awalnya aktivitas misionaris hanya bergantung pada tenaga manusia. Seiring dengan perkembangan zaman, para misionaris bergerak secara lebih sistematik dan dalam rangka mencapai tujuannya, mereka membentuk lembaga-lembaga dan organisasi. Aeten Sezar, penulis Turki mengenai hal ini menulis:
“Pada abad ke17 masehi, gereja Katolik Roma yang memiliki kekuasaan atas pemerintahan Eropa, mendirikan Kementerian Propaganda Agama di Vatikan dengan mendirikan dan mengembangkan agama kristen di dunia. Bersamaan dengan gerakan ini, sekolah propaganda agama asing telah dibangun di Paris dengan pembiayaan dari kementrian tersebut. Berbagai institusi juga telah didirikan di Jerman, Perancis, dan Belgia disertai dengan aktivitas misionaris yang berpengaruh. Dalam rangka propaganda ini pula, sekolah-sekolah baru turut didirikan untuk memberikan latihan yang lebih baik kepada misionaris.
Yang memberikan kesempatan bagi meluasnya kehadiran misionaris kristen di negara-negara timur adalah masuknya tentara imperialis di kawasan itu. Seperti yang kita ketahui bersama, aksi penjajahan Portugis dan Spanyol mendapat dukungan Paus Iskandar ke-enam pada abad ke 15 masehi. Paus memberi dukungan kepada pemerintah Spanyol dan Portugal dengan syarat kedua imperialis ini memberi jalan kepada misionaris kristen untuk masuk ke negara jajahan dan mendukung segala upaya dan aktivitas delegasi misionaris kristen dalam menyampaikan ajaran mereka kepada rakyat di sana.
Kardinal Ximenes pada tahun 1516, dalam rangka perluasan infiltrasi dan pengokohan gerakan kristen, memberi perintah supaya setiap serangan ke India Timur dan Barat haruslah diiringi oleh misionaris kristen. Adakalanya delegasi dakwah agama juga disertai oleh penemu dunia. Abdulhadi Haeri, penulis buku ‘Pertentangan pertama pemikiran Iran’ menulis :
“Langkah pertama dunia barat dalam menaklukkan bumi timur pada dasawarsa 15 masehi dilakukan oleh orang-orang Portugis. Pelopor pertama dari kaum penjajah itu adalah Henry si Pelaut. Dia juga disebut sebagai pemimpin besar kelompok Kristen. Ambisinya yang terbesar adalah menumpas umat Islam. Dia berusaha keras memperluas imperialisme portugis di timur dan melakukan kristenisasi di sana.”
Sebagian percaya bahwa sebab utama permusuhan di antara sebagian kapitalis dengan umat Islam adalah dampak dari perang salib. Karl Heinrich Bekker, orientalis dan politikus Jerman, menyebutkan bahwa permusuhan kapitalis gereja dengan Islam mempunyai sejarah yang bermula sejak zaman kemunculan Islam. Islam kemudian semakin berkembang pada abad pertengahan dan secara gradual masuk ke negara-negara berpenduduk kristen. Gairdner juga membenarkan pernyataan Bekker ini. Dia menyatakan bahwa kekuatan yang tersembunyi dalam Islam menyebabkan Eropa merasa takut dan terjadilah permusuhan antara gereja dan Islam.
Invasi dua negara imperialis Portugis dan Spanyol ini, kemudian diikuti pula oleh negara Eropa yang lain seperti Belanda, Perancis, Inggeris, dan Russia. Mereka pun turut melaksanakan kebijakan mengembangkan agama kristen dan menggunakannya sebagai sebuah faktor pendukung bagi penguasaan dan penaklukan daerah jajahan.
Selepas itu, agama Protestan juga turut melakukan aktivitas mereka di dunia timur dan memperluas agama mereka di negara-negara jajahan. Para misionaris agama Protestan yang mendapat dukungan eropa dan berbagai perusahaan mereka di timur ini memulai aktivitas mereka dengan mengkristenkan penduduk daerah jajahan.
Bagian Kedua
Pada bagian pertama acara ini, telah disebutkan proses masuknya misionaris Kristen bersama tentara imperialis Eropa ke negara-negara timur, termasuk negara-negara Islam, untuk menyampaikan ajaran agama mereka. Aktivitas dan kinerja misionaris ini bisa disebut sebagai bantuan terhadap imperialis. Kini timbul pertanyaan, faktor apakah yang menyebabkan gerakan misionaris ini bekerjasama dengan imperialisme di negara-negara Islam?
Sebagian para pakar menyebutkan bahwa akar utama kerjasama antara gerakan misionaris dengan para imperialis ialah perang salib. Salah satu periode yang amat penting dalam sejarah hubungan dunia Islam dan Kristen adalah era Perang Salib. Perang Salib dimulai pada tahun 1095 Masehi atau 489 Hijriah dan berlangsung sampai selama hampir dua abad. Jumlah perang yang terjadi selama masa itu tidaklah jelas, namun perang terbesar terjadi sepuluh kali dan di setiap perang terjadi banyak pertempuran. Di sepanjang Perang Salib, yang dimulai dengan serangan orang-orang Kristen ekstrim untuk menaklukkan Baitul Maqdis, ratusan ribu umat Islam telah terbunuh. Namun, umat Islam berhasil mempertahankan Baitul Maqdis dan tentara salib terpaksa meninggalkan Suriah, Mesir, dan kawasan muslim lainnya.
Banyak pendapat yang dikemukakan mengenai penyebab dan motivasi terjadinya Perang Salib ini. Doktor John L. Esposito, dosen universitas George Town Amerika menulis: Sebagian besar masyarakat Barat mengakui adanya kenyataan tertentu yang berhubungan dengan Perang Salib, tetapi banyak di antara mereka yang tidak mengetahui bahwa Perang Salib yang mengakibatkan korban yang amat besar ini adalah atas perintah Paus. Bagi umat Islam, kenangan atas Perang Salib merupakan satu contoh nyata dari militerisasi kristen ekstrim, sebuah kenangan yang membawa pesan bagi serangan dan imperialisme Kristen barat.
Menurut para ahli sejarah, Perang Salib adalah hasil dari kebijakan para pemimpin gereja, pemerintah Eropa, serta misionaris yang menentang Islam. Sikap tamak dan kefakiran yang melanda masyarakat Barat membuat mereka berambisi merebut kekayaan umat Islam dan inilah salah satu alasan dimulainya Perang Salib. Alasan-alasan lainnya adalah keinginan mengekspansi wilayah Eropa, timbulnya fanatisme terhadap agama, keinginan untuk menaklukkan Baitul Maqdis, serta membebaskan pemakaman suci di sana.
Perang Salib pertama dimulai di bawah pimpinan Urbanus kedua. Dengan fatwa para pendeta kristen, pasukan besar Eropa, disertai tokoh-tokoh pemerintah Eropa dan pimpinan gereja bergerak menuju Baitul Maqdis yang berlokasi di tanah pendudukan Palestina. Di sepanjang kota-kota Islam yang mereka lalui, mereka membunuhi ratusan ribu manusia, lelaki, wanita, dan anak-anak. Sejarawan terkenal Perancis, Gustav Lubon mengenai Perang Salib menulis, “Di zaman terjadinya Perang Salib, peradaban timur berada dalam tahap kegemilangannya berkat Islam. Sebaliknya, Eropa tenggelam dalam kegelapan dan kezaliman. Ada sekelompok tentara salib yang ganas. Mereka membunuh dan merampok kawan maupun lawan, kelompok sendiri maupun pasukan asing.”
Perang Salib membawa kemajuan sosial bagi masyarakat Barat. Rakyat Eropa yang saat itu berperadaban rendah, mulai mengenal kecemerlangan peradaban umat Islam dan mereka mulai mempelajari ilmu dan peradaban dari rakyat muslim. Tetapi, seperti apa yang telah ditulis oleh sejarawan terkenal bernama Twin B, “Orang-orang Kristen mengambil manfaat dari kemajuan peradaban dan kesenian umat Islam tetapi permusuhan bersejarah fanatisme Kristen dengan Islam Timur tidak pernah berkurang.”
Will Durant penulis sejarah yang terkenal, mengenai infiltrasi dua dunia, yaitu Kristen dan Islam, di sepanjang Perang Salib, menulis, “Infiltrasi dunia Kristen terhadap Islam hanya terbatas pada sebagian budaya agama dan perang, tetapi dunia Islam melakukan berbagai infiltrasi dalam dunia kristen. Sebaliknya, dari Islam, Eropa mengadopsi makanan, minuman, obat-obatan, kedokteran, persenjataan, selera dan kecenderungan seni, metode industri dan perdagangan, undang-undang, dan metode kelautan.
Di sepanjang era perang Salib dan pasca perang, terutama ketika Byzantium jatuh ke tangan umat Islam, mereka mulai merusak citra Islam dan menyajikan gambaran yang telah diubah di kalangan orang-orang Kristen. William Montgomery Watt, seorang peneliti Inggris, pernah menulis bahwa wajah Islam yang telah diubah oleh pendeta Kristen. Dalam pemikiran umat Kristen pada abad ke-12 ditanamkan penggambaran bahwa Islam itu agama pedang dan kekerasan serta Nabi Muhammad SAW adalah penentang Nabi Isa a.s. Menurut Watt, hasil dari distorsi penggambaran Islam ini berlanjut hingga abad ke-19 dalam pemikiran orang-orang Eropa. Malah, hingga saat ini, distorsi itu tetap kekal dalam pemikiran masyarakat Barat dan dampaknya masih bisa dilihat sampai hari ini. Watt juga menambahkan bahwa pembentukan gambaran buruk mengenai Islam sebagian besar merupakan reaksi umat Kristen yang melihat bahwa peradaban umat Islam di Andalus amat tinggi melampaui mereka.
Sebagian peneliti menyebutkan selain Perang Salib, alasan politik juga menjadi penyebab lain terjadinya kerjasama antara misionaris dengan imperialis. Mereka menggunakan ucapan pemimpin gereja seperti Yulius Richter sebagai dalil. Yulius telah mencerca umat Kristen yang telah membiarkan kekaisaran Byzantium secara berangsur-angsur digantikan oleh emperator Islam dan berlanjut dengan jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453 ke tangan umat Islam. Para peneliti yang berpendapat seperti ini sepertinya lupa bahwa infiltrasi umat Islam di berbagai penjuru dunia muncul sebelum adanya gerakan militer. Infiltrasi ini berakar dari masalah kebudayaan dan kepercayaan.
Dari sudut ini, bisa dipahami mengapa umat Islam dalam masa yang singkat dan dengan fasilitas yang sedikit bisa memperluas kekuasaannya. Thomas V Arnold, menerangkan falsafah kemajuan Islam sebagai berikut.
“Ketika tentara Islam tiba di Jordan, orang-orang Kristen Jordan menulis surat yang isinya sbb: Wahai umat Islam, kalian lebih kami sayangi daripada orang-orang Roma, meskipun mereka seagama dengan kami, tetapi kalian berperilaku lebih mulia, lebih adil, dan lebih baik terhadap kami.”
Infiltrasi dan perkembangan Islam di Eropa, bisa disebutkan sebagai salah satu dari penyebab terjadinya kerjasama antara gerakan misionaris gereja dengan pihak imperialis. Menurut pandangan Norman Daniel dalam bukunya berjudul “Islam and the West: The making of an image”, penentangan politik dunia Kristen terhadap dunia Islam berubah menjadi satu pemikiran yang menguasai Barat. Ide ini terus tertanam dalam pikiran Barat meskipun ideologi persatuan Eropa telah hancur dan agama Kristen telah terpecah menjadi Katolik dan Protestant
Bagian Ketiga
Saudara, selamat bersua kembali dalam rangkaian acara yang membahas gerakan misionaris Kristen di negara-negara Islam. Pada pertemuan yang lalu, kami sudah menyampaikan pembahasan alasan kerjasama antara gerakan misionaris dan imperialisme berakar dari Perang Salib dan kedengkian mereka atas kemajuan peradaban Islam yang sangat pesat. Pada pertemuan ketiga ini, kita akan membahas akibat-akibat kehadiran misionaris di negara-negara Islam.
Pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas Masehi, misionaris Eropa masuk ke negara-negara Islam dan memulai kegiatannya secara luas. Awalnya, gerakan ini bertujuan untuk menyebarkan pemikiran Kristen dan mengganti agama kaum muslimin. Namun, usaha mereka mengalami kegagalan. Karena itu, mereka mengganti metode penyeberluasan misi mereka. Alih-alih mengajarkan ajaran Kristen, mereka malah mempropagandakan kebudayaan Barat dan nasionalisme. Metode ini banyak dilakukan oleh misionaris asal Amerika. Berdasarkan pengakuan sebagian penulis Barat, seperti George Antonius, benih-benih pemikiran pertama Barat seperti penolakan agama, liberalisme, dan sekularisme secara terus-menerus ditanamkan oleh misionaris Kristen di negara-negara Islam. Tujuan mereka adalah untuk memperlemah keyakinan kaum muslimin di kawasan itu tehadap agama Islam dan mempersiapkan kondisi bagi terlaksananya imperialisme di sana. Para misionaris, dengan mendirikan sekolah-sekolah, pusat keilmuan, dan universitas, menyebarkan dasar-dasar pemikiran Barat dan dengan jalan ini mereka mempromosikan peradaban Barat di dunia Islam.
Universitas St. Joseph di Suriah dan Universitas Amerika di Beirut dan Libanon, adalah beberapa contoh dari pusat keilmuan yang didirikan para misionaris. Tentang aktivitas dua universitas itu, J.B. Gibb dalam bukunya “Suriah, Libanon, dan Jordania” menulis, “Kedua universitas ini membuka jalan bagi masuknya pemikiran Barat ke Suriah, Libanon, dan Jordania dan unsur pemikiran baru yang terpenting yang mereka sebarkan adalah nasionalisme.” Universitas St. Joseph didirikan pada tahun 1874 Masehi, sementara Universitas Amerika di Beirut didirikan tahun 1866. Universitas St. Joseph menekankan pada pengkristenan kaum muslimin dan penyebaran kebudayaan Barat di Suriah. Sementara Universitas Amerika di Beirut yang nama awalnya adalah Sekolah Protestan Suriah, berusaha menyampaikan pahamnya dengan metode westernisasi dan liberalisasi. Universitas ini menerapkan rencananya dengan jalan menyebarluaskan materialisme, nasionalisme, dan liberalisme. Oleh karena itu, Universitas Amerika di Beirut dengan tujuan memecah-belah dunia Islam dan kaum muslimin, mempropagandakan nasionalisme Arab dan anti-Turki.
Akibat pengajaran sistem pendidikan Barat yang dilakukan oleh kedua universitas ini dan universitas serupa lainnya yang didirikan di berbagai negara Islam, terjadi gelombang penjajahan budaya dan penindasan budaya pribumi dan juga masuknya ideologi-ideologi dan pendidikan Barat. Namun, bidang industrialisasi dan kemajuan ekonomi dan ilmu-teknologi sama sekali tidak dikembangkan di negara-negara Islam. Joseph Szyliowicz, dalam bukunya yang berjudul Pendidikan dan Modernisasi di Timur Tengah mengakui bahwa program-program kedua universitas ini lebih banyak bermanfaat bagi Perancis dan Amerika daripada memenuhi kebutuhan masyarakat Timur Tengah.
Pengakuan ini menjelaskan jatidiri dan tujuan yayasan pendidikan yang didirikan oleh misionaris. Yayasan-yayasan itu jelas-jelas merupakan alat propaganda dan westernisasi yang bertujuan untuk mengamankan posisi kaum imperialis. Dengan memperhatikan catatan sejarah, masuknya misionaris ke negara-negara Islam biasanya diikuti oleh para pedagang Eropa. Menyusul setelah itu, datang pula tentara-tentara Inggris, Perancis, Portugis, Belgia, dan Rusia. Setelah pemerintahan imperialis berdiri, para penjajah itu amat melindungi gerakan misionaris dengan tujuan agar penyebaran kebudayaan Barat terus berlanjut. Perlindungan ini tampak dalam berbagai bentuk materil dan moril. Contohnya, dalam masalah pendidikan, pemerintah imperialis memberikan dana yang cukup bagi pendirian berbagai yayasan oleh misionaris. Di samping itu, sistem pendidikan serta tanah air yang mereka kuasai, secara terbatas diserahkan kepada misionaris untuk dikelola.
Salah satu tujuan sekolah-sekolah dan pusat-pusat keilmuan yang dikelola oleh misionaris adalah mendidik manusia menjadi penurut dan pendiam. Seperti misalnya di Afrika, misionaris mendidik rakyat Afrika agar tidak menentang hukum. Patrice Lumumba, ketua Gerakan Nasional Kongo, yang pernah belajar di sebuah sekolah misionaris, dalam bukunya “Hidup dan Peperanganku” menulis:
“Tidak pernah bisa kupahami mengapa di sekolah-sekolah selalu diajarkan kepada kami agar menjaga dasar perdamaian dan kesucian Al-Masih, sementara di luar sekolah orang-orang Eropa melakukan penindasan kepada kami.”
Di sini kita bisa menyimpulkan bahwa misionaris juga memainkan peranannya dalam menenangkan warga pribumi dan menidurkan semangat perlawanan mereka terhadap penjajah. Misionaris juga berada di balik peristiwa pembunuhan Patrice Lumumba di Katanga pada periode Musa Chumbe tahun 1961, perang dalam negeri Nigeria, juga pembangkangan dan revolusi bersenjata separatis Kristen di selatan Sudan.
Ahmad Sekou Toure, Presiden Ghana pada tahun 1983, telah mengusir semua misionaris Eropa dari negara itu. Sekou Toure adalah pemimpin perjuangan rakyat melawan penjajahan Perancis di tahun 1957. Dalam masalah pengusiran misionaris Eropa ini, dia berkata bahwa misionaris agama dan pendeta Eropa adalah musuh terbesar Afrika karena mereka melakukan kegiatan mata-mata dan perusakan.
Bagian Keempat
Meskipun India bukanlah negara muslim, namun aktivitas para misionaris di sana juga patut kita cermati. Di negeri ini, para misionaris ternyata menggunakan metode lain, yaitu dengan berkedok sebagai turis. Pendeportasian seorang misionaris Amerika Joseph W. Cooper dari India memperlihatkan aktivitas ilegal kaum misionaris di kawasan barat India.
Cooper adalah seorang misionaris Amerika yang berkunjung ke India dengan menggunakan visa turis. Tapi, ia di sana malah sibuk menyampaikan agama Kristen. Pemerintah India akhirnya memberikan dia tempo satu minggu untuk meninggalkan India. Menurut polisi India, Cooper telah melanggar undang-undang tahun 1995 pemerintah India. Berlandaskan kepada undang-undang ini, tidak dibenarkan seseorang melakukan aktivitas penyebaran agama dengan menggunakan visa turis.
Sebenarnya, tidak ada laporan menyangkut isi ceramah misionaris Kristen di Propinsi Kerala itu. Tetapi, serangan terhadapnya oleh sekelompok extremis Hindu hingga ia cedera, memperlihatkan betapa sensitifnya ucapan Joseph W. Cooper. Untuk mencegah berlanjutnya ketegangan, sembilan orang anggota sebuah organisasi extrim Rashtriya Swayamsevak Sangh telah ditangkap.
Pengesahan undang-undang tahun 1995 mengenai larangan aktivitas penyebaran agama bagi pengunjung yang memiliki visa turis menunjukkan bahwa kasus serupa pernah terjadi. Untuk menghalangi aktivitas misionaris agama yang menggunakan visa turis itulah akhirnya pemerintah India telah mengesahkan undang-undang ini. Dengan melihat keragaman ras, agama, dan bahasa, juga kemiskinan yang meluas, India merupakan lapangan yang potensial bagi aktivitas misionaris agama.
Pertumbuhan penduduk secara berlebihan, juga keterbatasan sumber dana pemerintah India untuk melaksanakan program pembangunan, kesehatan, dan pendidikan, telah menyebabkan meningkatnya kemiskinan di India. Selain masalah kemiskinan, terdapat 44 persen orang dewasa di India yang buta huruf. Ini merupakan salah satu faktor pendukung maraknya aktivitas misionaris agama di negara tersebut. Dari sudut ini, yang mengkhawatirkan pemerintah India ialah pemanfaatan atas kondisi ini oleh pihak asing untuk mencapai tujuan dan kepentingan mereka.
Salah satu metode negara asing ialah pengiriman para misionaris dengan kedok turisme. Oleh sebab itu, pemerintah India memperhatikan perilaku para turis dengan lebih teliti sehingga mereka jangan sampai berceramah masalah keagamaan.
Aktivitas misioner di India sepanjang tahun-tahun terakhir ini telah menggerakkan sentimen orang-orang Hindu extrim dan meningkatkan kekerasan berdarah. Tampaknya sentimen atas gerakan misioner ini menjadi bertambah kuat dengan berkuasanya Partai Bharatiya Janata. Extrimis Hindu memiliki agenda pelaksanaan kebijakan Hinduisme di India dan aktivitas religius apapun yang berpotensi menyinggung agama Hindu pasti akan ditentang.
Orang-orang Kristen yang merupakan dua persen dari satu milyar penduduk orang India, hingga kini hidup dalam keadaan damai dengan para penganut agama lain ataupun kelompok minoritas lainnya.
Oleh karena itu, terdapat kekhawatiran dalam masyarakat Kristen India bahwa sebagian oknum ingin menjalankan aktivitas misionernya di bawah kedok turis, dan masalah ini bisa menyebabkan hubungan Hindu dan Kristen menjadi runcing.
Menurut pandangan para pengamat politik, dengan memperhatikan kondisi ekonomi rakyat negara-negara Asia Selatan, lahan aktivitas misioner tidak saja terbatas di India. Di negara-negara lain juga aktivitas itu sangat mungkin ada. Oleh karenanya, keberhasilan aktivitas misionaris Kristen berkedok turisme di India itu akan berakibat kepada semakin merebaknya aktivitas serupa di kawasan lain.
Dari sudut ini, para pengamat percaya bahwa salah satu faktor meningkatnya perang di antara kelompok di kawasan Asia Selatan termasuk India, ialah aktivitas misionaris agama. Dalam hal ini, salah satu metode adikuasa dan imperialis untuk mengembangkan infiltrasinya, ialah dengan menggunakan missionaris di perbagai kawasan dunia. Memberi hadiah dan membangun pusat yang secara lahiriah memberikan manfaat pragmatis bagi masyarakat setempat, termasuk salah satu langkah misioner di berbagai negara.
Sebagaimana yang disebutkan dalam surat kabar, misionaris yang telah dideportasi dari India itu sebenarnya telah bertahun-tahun keluar masuk ke negara ini. Realitas ini menyebabkan kekhawatiran pemerintah India bahwa dengan menggunakan paspor turis, Joseph W. Cooper telah mengunjungi berbagai kawasan untuk meneliti tradisi, budaya, serta kondisi sosial-politik dan kebudayaan setempat.
Sebagian organisasi India dan aktivis keagamaan menilai aktivitas misionaris Amerika di bawah kedok turisme itu dilakukan secara terorganisir. Karenanya, aktivitas agama Kristen mendapat reaksi negatif yang sangat keras.
Karena dianggap menciptakan suasana saling curiga di antara orang-orang Hindu dan Kristen, pada tahun-tahun lalu, sejumlah gereja diserang oleh orang yang tidak dikenal. Tahun 2000 lalu, untuk pertama kalinya selepas kemerdekaan India, minoritas Kristen India merasa tidak aman. Sebagian organisasi India melihat aktivitas misioner untuk menarik orang-orang Hindu kepada agama kristen itu dilakukan dalam rangka sebuah program yang meluas dengan tujuan untuk mengubah India menjadi sebuah negara Kristen. Oleh sebab itu, Hindu extremis menentang keras kehadiran misionaris agama.
Tahun 2000 lalu, kelompok Bajrang Dal, sebuah cabang militer Organisasi RSS meminta penganut Kristen supaya dikeluarkan dari wilayah Uttar Pradesh. Dengan demikian, yang menciptakan kekhawatiran tidak saja aktivitas agama misioner dan ruhaniawan Kristen.
Tentu saja, sikap fanatisme ekstrim kaum Hindu di India tidak hanya mengambil korban kaum Kristen, melainkan juga umat muslim India yang telah hidup di India sejak berabad-abad yang lalu. Umat muslim India bahkan turut serta secara aktif dalam perang memperjuangkan kemerdekaan India.
Reaksi yang ditunjukkan oleh kelompok extrim Hindu di India sangatlah mengkhawatirkan. Peperangan berdarah di antara umat beragama terjadi di berbagai kawasan India. Dalam hal ini, dipastikan bahwa tidak ada satu golongan pun yang akan mendapatkan keuntungan
Bagian Kelima
Saudara pendengar, pecinta Radio Melayu Suara Republik Islam Iran, selamat bersua lagi dalam rangkaian acara “Gerakan Misionaris di Negara-Negara Muslim” bagian ke lima”. Dalam acara bagian lalu, kami sudah menyampaikan pembahasan mengenai metode para misionaris Barat dalam memilih orang-orang pribumi dan mengajarkan dasar-dasar ajaran Kristen. Kami juga sudah menyampaikan pembahasan mengenai pendirian berbagai lembaga keilmuan dan universitas di berbagai negara Eropa dan Amerika yang bertujuan untuk mendidik para misionaris. Pada pertemuan kita kali ini, kami akan mengajak Anda untuk membicarakan karakteristik delegasi misionaris yang dikirim ke berbagai negara muslim itu. Selamat mengikuti.
Para misionaris Kristen yang dikirim oleh berbagai pusat keagamaan di Barat ke berbagai negara dunia ketiga, termasuk negara-negara Islam, bekerja secara sendiri-sendiri maupun berkelompok. Mereka memiliki tujuan yang berbeda-beda. Sebagian dari mereka bekerja untuk menarik perhatian terhadap ajaran Al-Masih dan memberi pengajaran, sebagian untuk berdialog, dan sebagian lainnya datang untuk bekerja di pusat-pusat keilmuan dan pengajaran gereja-gereja.
Berkaitan dengan hal ini, meskipun tujuan asli mereka adalah menyebarkan agama Kristen, namun ada sekelompok misionaris datang dengan berbagai tujuan yang ditentukan oleh gereja dengan berkedok di balik berbagai profesi, seperti dokter, insinyur, psikolog, dosen, pedagang, dan penasehat militer. Tentu saja ada pula kelompok misionaris yang datang secara terang-terangan sebagai pendakwah resmi agama Kristen. Berdakwah di balik kedok berbagai profesi merupakan metode yang paling banyak dipakai para misionaris. Dengan cara ini, mereka bisa menyampaikan ajaran Kristen tanpa perlu memberitahukan kepada penduduk pribumi mengenai tujuan asli mereka.
Salah satu delegasi misionaris yang bisa kita jadikan bahan pembahasan adalah delegasi misionaris Inggris yang dikirim ke Uganda. Menurut buku “Century of Christiating in Uganda”, anggota delegasi misionaris itu adalah Stephan Shergoldsmith, seorang perwira angkatan laut yang menjadi ketua delegasi ini; C.T. Wilson, seorang uskup lulusan Universitas Oxford; James Collyhust, seorang arsitektur; James Robertson, seorang petani; dan John Smith, seorang dokter. Anggota-anggota lain delegasi ini berprofesi sebagai insiyur teknik sipil dan ahli mekanik. Dalam komposisi ini, bisa terlihat bahwa anggota delegasi misionaris yang berprofesi sebagai ruhaniwan hanya satu orang. Namun demikian, semua anggota delegasi itu mengambil peran sesuai dengan profesinya dalam kegiatan penyebaran agama Kristen.
Para misionaris itu, dengan menggunakan prinsip psikologis dan ilmu-ilmu lainnya, berusaha menancapkan pengaruh mereka di hati orang-orang pribumi dan dengan cara itu, mereka menyebarkan ajaran Kristen. Bahkan, di negara-negara muslim, para misionaris berusaha mempelajari ajaran Islam demi menarik perhatian penduduk pribumi. Salah satu contoh dalam hal ini adalah penggunaan ayat Al-Quran berkenaan dengan Isa Al-Masih oleh para misionaris sebagai alat untuk memperkenalkan ajaran Kristen kepada penduduk pribumi negara-negara muslim. Al-Quran menyebut Al-Masih sebagai Ruhullah atau RuhTuhan.
Para misionaris dengan menunjukkan ayat ini dan menyebut nama Quran berusaha untuk menarik perhatian penduduk pribumi. Kemudian, mereka menyampaikan pandangan Kristiani mereka berkenaan tentang Isa Al-Masih dan syafaat Al-Masih terhadap para pengikutnya. Dengan demikian, tujuan mereka untuk menyampaian ajaran Kristen dilakukan dengan cara tidak langsung dan dengan menarik kepercayaan dan keyakinan kaum pribumi.
Karakteristik lain dari delegasi misionaris ini adalah pengenalan mereka terhadap adat istiadat penduduk pribumi. Mereka mempelajari bahasa-bahasa pribumi sehingga bisa berhubungan langsung dengan penduduk pribumi. Mereka juga mempelajari kebudayaan pribumi agar bisa menarik perhatian para penduduk di sana dan kemudian memanfaatkan kelebihan dan kekurangan kebudayaan asli itu untuk menyebarkan ajaran mereka. Para misionaris dengan berdialog dan berhubungan langsung dengan penduduk pribumi dan masuk dalam kehidupan pribadi mereka, menyelami rahasia kehidupan mereka, dan memanfaatkannya demi mencapai tujuan misionarisme.
Doktor Mustafa Khaledi dan Doktor A. Farukh, penulis buku “Misionaris dan Imperialisme” dengan menyebutkan berbagai contoh alasan-alasan pengiriman misionaris ke berbagai negara muslim menyatakan bahwa tujuan para misionaris itu bukanlah perbaikan kehidupan maknawi penduduk pribumi, melainkan merusak dan menjadikan kaum muslimin berada di bawah kekuasaan mereka. Dalam salah satu bagian buku ini, disebutkan pula bahwa seorang misionaris bernama Roise di Tarablus barat pernah berkata, “Penyebaran ajaran Kristen di Tarablus sangatlah sulit. Setelah lima belas tahun berusaha, baru saya memahami bahwa satu-satunya cara untuk mengkristenkan bangsa ini adalah dengan mempengaruhi mereka dan mengubah kehidupan pribadi dan perilaku khusus mereka sehingga dengan cara ini kami bisa mencapai tujuan kami.”
Kardinal Lavigerie dan Charles De Foucauld melarang anggota delegasi misionarisnya menggunakan cara-cara langsung dalam menyebarkan ajaran Kristen, terutama bila berhadapan dengan kaum muslimin. Speer E. Robert, juga mengajarkan kepada para misionaris agar menjauhi pembahasan dan perdebatan dengan kaum muslimin dan memulai pekerjaan mereka dari poin-poin yang selaras dengan ajaran Islam. Misionaris lainnya, J.H.Bavick, menghimbau agar para misionaris berhati-hati sehingga dalam pikiran para pribumi tidak tercipta gambaran bahwa para misionaris itu menganggap peradaban dan kebudayaan mereka lebih tinggi dari kebudayaan kaum pribumi.
Masalah ini juga disinggung oleh William Montgomery Watt dalam bukunya “Muslim-Christian Encounter”. Dia menulis, “Para misionaris, sebagaimana orang Eropa lainnya, menganggap diri mereka lebih unggul daripada kaum pribumi. Dengan anggapan seperti ini, para misionaris secara gradual malah mencampuradukkan ajaran Kristen dengan keyakinan atas superioritas orang Eropa atau peradaban Barat.”
Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa kegiatan penyebaran agama menurut pandangan para misionaris adalah menciptakan perubahan dalam pikiran umum sesuai yang mereka inginkan demi tercapainya tujuan asli mereka. Dalam rangka ini, ajaran Kristen memperbolehkan mereka menggunakan cara apapun juga.
Bagian Keenam
Salah satu metode penyerangan Barat terhadap kebudayaan dan berbagai ajaran slam, ialah dengan mengadakan berbagai penelitian dan penyelidikan mengenai Islam. Para misionaris merupakan peneliti Barat pertama, yang hadir di berbagai negara Islam dan melakukan penelitian mengenai Islam dan kaum muslimin. Di masa-masa lalu, motivasi terpenting para misionaris adalah motivasi agama. Sebagian besar tulisan-tulisan mereka mengenai Islam menggunakan berbagai sumber abad pertengahan dengan memperhatikan kondisi waktu itu, misalnya berbagai perang Salib, dan interaksi antara kaum muslimin dan kristen di Andalusia dan Spanyol.
Berbagai tulisan tersebut dibuat agar orang-orang Kristen Eropa berpandangan jelek terhadap Islam. Tujuan utama para misionaris pada tahun-tahun tersebut ialah untuk menjauhkan orang-orang Kristen dari pengenalan atas Islam yang sebenarnya. Para misionaris tersebut berupaya menunjukkan pandangan dan citra Islam yang negatif dan mereka menggambarkan wajah Islam yang telah tercoreng dan tidak bisa diterima dikalangan masyarakat Barat. Tentu saja, setelah terjadinya Renaisance, motivasi politik dan ekonomi telah bercampur-baur dengan motivasi agama.
Pada tahun-tahun ini, terbentuklah kelompok baru dari kalangan peneliti Barat yang disebut sebagai orientalis atau ahli ketimuran, yang secara lahiriah mengadakan penelaahan dan penelitian mengenai Islam dengan cara dan metode ilmiah. Namun, beberapa lama kemudian terbukti bahwa penelitian ini menghasilkan penulis-penulis yang menulis mengenai Islam dengan cara menyimpang dan tendensius. Mereka berusaha menciptakan keragu-raguan terhadap agama-agama samawi.
Para misionaris selalu berusaha menciptakan keragu-raguan terhadap Islam dan menghapuskan kesucian agama Ilahi ini. Mereka mengenalkan agama Islam sebagai sebuah agama duniawi yang jauh dari nuansa dan eksistensi Ilahi. Mereka menginginkan agar proses tahrif atau penyelewengan yang terjadi pada sejarah dua agama Ilahi terdahulu, yaitu Yahudi & Kristen, juga terjadi dalam sejarah agama Islam. Sebagaimana yang kita ketahui dalam sejarah Yahudi dan Kristen, tampil sebuah kelompok yang mengklaim diri sebagai pendukung utama agama. Orang-orang tersebut, meski secara lahiriah menjaga dan berpegang teguh pada risalah mereka, yaitu Taurat dan Injil, namun secara bertahap menyampaikan khutbah-khutbah yang bertentangan dengan kitab suci mrka.
Penyimpangan dalam kedua agama ini terlihat secara jelas dan bahkan diakui oleh para pemuka gereja dengan dikeluarkannya sebuah perintah dari Paus untuk membentuk sebuah komisi penyelidikan khusus guna menyusun penafsiran baru terhadap Injil. Masalah ini dilaporkan oleh berbagai kantor berita pada tahun 1993. Komisi penelitian itu menyebutkan bahwa setelah mengadakan pengkajian dan mengamatan berbagai segi terhadap berbagai versi kitab Injil, disimpulkan bahwa isi kitab tersebut tidak relevan dengan hukum-hukum Ilahi.
Surat kabar Australia “Australian” terbitan Sydney, pada tahun 1995 telah melaporkan berita bahwa Dewan Yahudi dan Kristen Australia mengusulkan penghapusan nama orang-orang Yahudi dari Injil, kemudian diganti dengan nama-nama sebagian penduduk Baitul Maqdis. Surat kabar Australia ini menulis bahwa revisi terhadap berbagai pasal Injil yang bertujuan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan umat manusia dewasa ini, mendapatkan reaksi negatif dan luas dari kalangan orang-orang Kristen.
Para misionaris dengan memunculkan berbagai keraguan terhadap dengan kitab suci kaum muslimin, yakni Al-Qur’anul Karim, berusaha mengurangi nilai kesucian kitab Ilahi ini. Para misionaris ini meyakini bahwa melalui cara tersebut… yang terjadi dalam agama yahudi dan Kristen juga terjadai dalam agama Islam. Oleh karena itu, salah satu cara propaganda kelompok misionaris dan orientalis ini, berusaha agar orang-orang Islam menerima bahwa Nabi saww memiliki guru orang-orang Yahudi dan Kristen. Hal ini dinyatakan oleh David Shamuel Margoliuth, seorang dosen Univ. Oxford yang hidup antara tahun 1858 sampai 1940.
Dalam bukunya yang berjudul “Mohammad and The Rise of Islam dia menulis bahwa Jabir adalah seorang guru yang mengajar Nabi Muhammad. Lalu, setelah dia mendengar wahyu Ilahi yang disampaikan oleh nabi Muhammad, uaitu beberapa ayat dari Surat Yusuf, jabir pun akhirnya masuk Islam. Fakta yang ditulis Margoliuth ini memiliki kontradiksi. Bagaimana mungkin seseorang yang awalnya adalah guru nabi, kemudian bisa dipengaruhi oleh muridnya dan memeluk agama Islam?
Metode dakwah kaum Misionaris, selalu menyelewengkan Islam dan berupaya untuk merendahkan nilai-nilai Islam, serta menunjukkan wajah buruk Islam yang jauh dari peraban kaum muslimin. Hendry Jesp seorang propagandis AS, menyebut kaum msulimin tidak berperadaban, menulis : Islam telah memberikan pukulan yang telak terhadap kebudayaan dan peradaban manusia. Tidak bisa dilupakan bahwa dalam periode kegelapan Abad Pertengahan, dimana saat itu Eropa berada dibawah kekuasaan Gereja, sehingga tak seorang pun dapat berkata dengan Ilmu, namun kaum muslimin telah berpengalaman dan menjadi bukti sejarah, betapa mereka yang senantiasa dibawah ajaran-ajaran Islam, telah tampil menjadi pelopor pada salah satu periode berkembangnya Ilmu dan Peradaban Sejarah Ummat Manusia.
Ny. Dr. Zigrid Hunakeh seorang peneliti Jerman dalam sebuah buku yang berjudul : Kebudayaan Islam di Eropa, menyinggung berbagai kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Industry kaum Muslimin. Beliau dalam mukaddimah bukunya menulis : Meski Dunia Islam timbul di Eropa spanjang 1400 tahun, namun berbagai informasi mengenai peradaban Islam sangat sedikit mereka peroleh bila dibandingkan dengan berbagai peradaban lainnya, meski demikian kebanyakan informasi mengenainya (Islam) adalah salah…Dan ini merupakan dosa orang-orang Barat dalam sejenis penulisan sejarah, yang senantiasa mencegah menjelaskan hakikat. Para penulis sejarah Kristen sengaja melakukan penyelewengan yang serius terhadap kaum muslimin, sehingga pekerjaan-pekerjaan yang besar berupa Peradaban Islam nampak menjadi remeh dan tidak ada artinya samasekali. Bahkan para penulis sejarah yang baru, juga melakukan tekhnik meremehkan semacam ini, sekecil apapun konspirasi yang nampak mereka tutup mulut dan membiarkan hal itu terus berlanjut.
Ny. Dr. Zigrid Hunakeh dalam lanjutan pernyataannya menulis : Seseorang tidak bisa berkata apapun, dimana pada Abad-abad perengahan tetangga Eropa yang paling dekat adalah kaum Muslimin, yang selama 800 tahun menjadi pelopor Dunia Peradaban. Berkembangnya Peradaban Islam mencapai dua kali lipat Peradaban Yunani, sehingga mempengaruhi Dunia Barat. Siapa lagi yang berbicara dari kenyataannya, dan siapa pula yg disebut-sebut mengenainya dalam sejarah ?
Peneliti Jerman ini menandaskan : yang penting kita harus menyatakan jujur mengenai kebenaran Peradaban Islam. Dan sikap seseorang terhadap pembenaran yang benar, dimana masyarakat Eropa hingga saat ini tidak mampu menjadi juri yang benar, jujur dan tidak memihak, serta menyatakan hormat terhadap hal tersebut diatas, bahkan mereka menutupi kepala dan tidak menjelaskan peranan mendasar mereka dalam pembangunan Peradaban Eropa…. mereka telah merajut berbagai perangkat Peradaban. Mereka semua dengan kemampuannya berkecimpung dalam tersebut, sehingga mereka semua berhak unuk mendapatkan ucapan terima kasih.
Dengan memperhatikan aktifitas para Misionari semacam ini, nampaknya secara maksimal mereka berusaha melakukan propaganda terhadap dasar-dasar Kristen, meski mereka juga memiliki berbagai informasi terbatas mengenai ajaran-ajaran Islam dan sejarah Agama Ilahi ini, karena itu barangsiapa yang tidak mengenal cara-cara debat kaum Misionaris ini, maka pastilah tidak mengerti terhadap tujuan Delegasi-delegasi pembawa berita gembira ini.
Bagian Ketujuh
Pada bagian lalu, kita telah membahas aktifitas kelompok misionaris Kristen yang telah berjalan selama bertahun-tahun, bahkan berbad-abad, dengan mengirimkan utusan mereka ke tengah-tengah masyarakat Islam. Mereka pun bahkan telah membentuk suatu lembaga yang terorganisasi dan rapi. Para misionaris telah berusaha menciptakan keraguan-raguan di tengah kaum muslim terhadap ajaran Islam. Kini, kami akan berbicara mengenai usaha misionaris yang lain, yaitu penyelewengan penerjemahan Al-Quran.
Sebagian besar dari terjemahan-terjemahan Al-Qur’an ke dalam berbagai Bahasa Eropa yang telah bertahun-tahun dilakukan oleh para misionaris dan kelompok orientalis, jauh dari kebenaran dan hakikat. Peneliti seperti Marakachi dari Italia, memperoleh inspirasi dalam menerjemahkan Al-Qur’an dari para misionaris. Andre Duryer (1580-1660) seorang warga Burgan Prancis telah menerbitkan sebuah terjemahan sederhana mengenai Al-Qur’an dalam bahasa Prancis dengan judul Alcoron Mahomet. Dia bekerja sebagai pedagang dan melaksanakan urusan-urusan Konsuler Prancis di negara-negara Timur. Buku Duryer ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa, dan selama masa satu abad menjadi sumber pengetahuan masyarakat Eropa terhadap Islam.
Setelah itu, muncul tokoh lain bernama Arthur John Arberry (1905-1969) seorang Inggris ahli masalah timur. Dengan menyebutkan berbagai contoh kekurangan dalam terjemahan Andre Duryer, dia menulis, “Inilah pandangan penterjemah yang tendensius, fanatik, dan memiliki keyakinan terhadap Al-Qur’an. Terjemahan Andre sangat jauh dari kebenaran dan tidak melakukan penelaahan yang mendalam.”
George Sale (1697-1736), satu lagi orang Inggris ahli masalah timur dan juga seorang penerjemah Al-Qur’an, menulis, “Selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad, berbagai informasi yang diperoleh oleh masyarakat Eropa mengenai Islam dan Al-Qur’an, bersumber dari kelompok-kelompok Kristen fanatik. Dengan dasar tendensi dan dendam, mereka mengetengahkan berbagai alasan yang dibuat-buat. Sifat dan tindak tanduk kaum Muslimin yang baik, dilupakan samasekali. Namun, apabila mereka membicarakan kejelekan kaum muslimin, mereka justru menampilkan kekurangan itu sebesar gunung.
Salah satu cara yang ditempuh oleh kelompok misionaris, ialah melakukan berbagai penerjemahan Al-Qur’an ke dalam berbagai bahasa daerah secara tidak sempurna dan kurang, lalu menerbitkan dan membagi-bagikannya di antara kabilah-kabilah dan suku-suku yang jauh. Misalnya, sewaktu kelompok misionaris Kristen masuk ke Afrika, mereka langsung mencetak Injil dan terjemahan sebagian dari surat-surat Al-Qur’an. Sudah barang tentu para misionaris menterjemahkan Al-Qur’an sedemikian rupa sesuai dengan pandangan mereka, kemudian dibagi-bagikan kepada masyarakat setempat. Tujuan utama kelompok misionaris ini adalah agar warga pribumi mengerti bahwa Al-Qur’an telah diselewengkan, sehingga mereka dapat membandingkan dan mengesankan sedemikian rupa bahwa Kristen lebih baik dari Islam.
Sekalipun kelompok misionaris ini telah berupaya dalam bidang tersebut, namun berbagai peristiwa sejarah dan berlalunya zaman telah menunjukkan, betapa para misionaris tersebut tidak berhasil mencapai tujuannya. Karena itulah penduduk asli Afrika tidak menggubris pernyataan dan perbuatan mereka, bahkan mereka memalingkan wajah mereka. Hasil dari perbuatan kelompok misionaris yang memutarbalikkan fakta ini adalah semakin berkembangnya Islam di Afrika. Bahkan, Islam menyebar ke benua Amerika dari Afrika. Contoh-contoh gerakan ini juga dapat dilihat di Asia. Misalnya di Libanon pendeta Kristen yang fanatik bernama Yusuf Haddad, telah menerbitkan puluhan buku Islam & Al-Qur’an yang banyak mengandung ayat-ayat yang diselewengkan.
Perlu disebutkan pula bahwa pertentangan yang ada di dunia Kristen telah melahirkan empat versi Injil yang saling berbeda, yaitu Injil Markus, Johanes, Lukas, dan Matius. Di dunia Islam, hanya terdapat satu kitab Al-Qur’anul Karim. Al-Qur’an yang hingga dewasa ini sampai ke tangan kaum muslimin adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saww. Isinya tidak berbeda dan tidak ada perubahan samasekali, baik pada ayat atau kalimat-kalimatnya. Ini adalah amanat Allah swt yang sampai kepada kita dari generasi demi generasi.
James A. Mechz, seorang wartawan surat kabar, menulis : Al-Qur’an bukan seperti Injil. Ia tertulis dalam bentuk untaian indah, tapi bukan syair, dan bukan pula sajak-sajak biasa. Isi Al-Quran dapat memberikan kenikmatan dan gelora iman kepada yang mendengarnya.
Upaya kelompok misionaris untuk mencoreng citra dan ajaran-ajaran Al-Qur’an ini, memiliki berbagai alasan yang berbeda-beda. Di antaranya adalah usaha untuk menutup-nutupi kekurangan dan kelemahan ajaran Kristen, takut kehilangan kekayaan dan kedudukan di dunia, serta karena kebodohan dan fanatisme yang tidak logis. Namun demikian, ada juga orang-orang orientalis yang berusaha secara obyektif mengetahui hakikat ajaran Islam yang cemerlang ini. Misalnya dalam menghadapi orang-orang seperti Ignaz Goldziher (1850-1921) seorang Orientalis asal Hungaria, yang menyebutkan bahwa Al-Qur’an bukanlah sebuah ajaran tunggal, Hertwick Hirchfield mengatakan :
Sejak saat kami menemukan bahwa Al-Qur’an merupakan sumber berbagai ilmu pengetahuan, tidak perlu diherankan lagi bila seluruh permasalahan yang berhubungan dengan langit dan bumi, kehidupan manusia, perdagangan, dan berbagai jenis transaksi dimuat dalam Al-Qur’an dengan sangat baik dan mengagumkan. Melalui cara inilah Al-Qur’an menghadapi berbagai masalah yang besar dan penting. Perkembangan ilmu pengetahuan yang menakjubkan yang dipelopori oleh dunia Islam yang selama 5 abad telah memberikan pengaruh positif pada dunia kemanusiaan, secara tidak langsung membuat kita berhutang budi pada dunia Islam ini.
Pada berbagai ayatnya, Al-Qur’an berkali-kali memerintahkan Nabi Muhammad saww untuk mengajak umatnya agar memperhatikan masalah maknawi. Pada bagian lain, ayat-ayat Allah ini menyeru umat manusia untuk membantu dan berbuat baik kepada orang lain. Al-Qur’an juga menciptakan berbagai perkembangan yang besar dalam penelitian kedokteran, bahkan secara global dan tersirat memberi petunjuk kepada dunia kedokteran. Dengan alasan itulah Nabi Mohammad saww dalam menyifati Al-Qur’an, berkata, “Al-Qur’an itu secara lahiriah indah dan secara batiniah mengandung makna yang sangat dalam. Ayat-ayatnya memiliki makna yang tak akan pernah berakhir dan tidak pernah ketinggalan zaman.”
Bagian Kedelapan
Lutfi Liqunian, seorang penulis Kristen, meyakini bahwa periode baru dalam metode misionaris telah dimulai. Dia menulis, “Eropa dalam Perang Salib menggunakan pedang, sekarang menggunakan penyebaran paham sebagai cara untuk mencapai maksud-maksudnya. Dengan Perang Salib baru ini, Eropa ingin mencapai tujuannya tanpa pertumpahan darah. Dalam usahanya ini, Eropa memanfatkan gereja, sekolah-sekolah, dan rumah sakit serta menyebarkan misionaris mereka.
Dewasa ini, penyebaran ajaran Kristen di berbagai negara, merupakan salah satu strategi politik para pemimpin negara Barat. Kerjasama antara gereja dan negara-negara Barat merupakan kerjasama bersejarah yang dimulai sejak abad pertengahan sampai pada periode kolonialisme baru. Negara-negara Barat dan perusahaan-perusahaan multinasional telah menanamkan modal yang sangat besar pada yayasan-yayasan penyebar ajaran Kristen. David Waren, penanggung jawab Ensiklopedia Dunia Kristen, berkenaan dengan biaya propaganda misionaris di seluruh dunia, menyatakan bahwa data statistik tahun 1970 menunjukkan bahwa 70 milyar dolar telah dihabiskan unutk membiayai aktivitas misionaris pada tahun itu. Menurutnya, kurang dari dua dekade jumlah ini telah mencapai hampir dua kali lipatnya dan terus akan meningkat.
Dalam dunia Kristen, terdapat banyak kelompok atau sekte yang berbeda-beda. Namun, dalam melakukan aktivitas propagandanya di seluruh dunia, kelompok-kelompok ini menghilangkan perbedaan di antara mereka dan bersatu-padu dalam kelompok yang sama. Kita bisa melihat bahwa di Afrika, misionaris Katolik dan Protestan saling berdampingan untuk menyebarkan ajaran yang sama. John B. Nas, seorang penulis Inggris dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Agama-Agama” menulis bahwa persatuan yang signifikan di antara berbagai kelompok Protestan terjadi dalam aktivitas misionaris yang memiliki kepentingan dan makna yang sangat besar. Penyebaran ajaran Kristen ke berbagai negara membuktikan bahwa perbedaan antara berbagai gereja dan kelompok Kristen sama sekali tidak memiliki hasil. Para misionaris terikat pada semua kelompok dan gereja. Mereka tidak menghabiskan waktu untuk mengurusi perbedaan ini. Jika diperlukan, mereka siap untuk melupakan berbagai perbedaan yang ada di antara mereka.
Benua Afrika adalah salah satu kawasan terpenting bagi penyebaran ajaran Kristen oleh kaum misionaris. Ajaran Kristen di Afrika memiliki sejarah yang panjang. Serangan Eropa ke Afrika yang terjadi sejak akhir abad ke-15, telah membuka jalan bagi infiltrasi kaum misionaris ke benua ini. Para misionaris selama berabad-abad berada di samping tentara kolonialis di berbagai tempat di Afrika. Dalam kongres Baitul Maqdis yang dibentuk tahun 1963, semua orang Afrika peserta kongres itu menyatakan bahwa menurut pandangan rakyat Afrika, kehadiran para misionaris menghidupkan kenangan kolonialisme. Kenyataannya, di mana saja misionaris menginjakkan kaki, kolonialisme di negara itu pun segera dimulai.
Sejarah kehadiran misionaris di Afrika menjelaskan adanya kesejalanan dan kerjasama mereka dengan negara-negara penjajah. Selama perang, para misionaris memberikan bantuan yang berharga kepada pasukan penjajah. Biasanya, ketika pasukan penjajah masuk ke sebuah negara, pusat-pusat misionaris akan dijadikan pangkalan militer. Para misionaris itu kemudian akan menjadi salah satu penyuplai senjata, pasukan, dan makanan bagi para kolonialis. Selain itu, karena mereka mengenal suku-suku dan daerah-daerah, mereka akan menjadi mata-mata dan sumber informasi untuk para kolonialis.
Dalam serangan tentara Belgia ke Stanleyville, kita bisa melihat bahwa para misionaris telah menjadi penunjuk jalan bagi para tentara penjajah. Kota Stanleyville yang pada tahun 1966 diubah namanya menjadi Kisangani, adalah salah satu kota berpenduduk muslim di Kongo. Rakyat kota ini berjuang gigih menentang kehadiran pasukan Belgia. Pada tanggal 24 dan 25 September 1964, penduduk kota ini diserang habis-habisan oleh tentara Belgia yang mendapat dukungan dari tentara Amerika.
Jenderal Mike, komandan kulit putih bayaran yang dipekerjakan oleh Musa Chumbe, pemimpin pemberontak Kongo, mengutarakan kenangannya atas kejadian tersebut, sebagai berikut.
“Kami tidak mengasihani anak kecil atau orang dewasa karena ada kemungkinan bahwa setiap mereka adalah anggota gerakan kemerdekaan Kongo. Kami telah membunuh minimalnya lima ribu orang Kongo sehingga kami kemudian bisa membebaskan para tawanan kulit putih. Dalam kejadian ini, para pendeta kulit putih yang terkait dengan gerakan misionaris telah memberi kami petunjuk karena mereka mengenal kondisi daerah itu.”
Harian Observer terbitan London pada tahun 1964 memuat tulisan seorang penulis yang membahas masalah pembunuhan massal di Stanleyville. Katanya, “Mungkin sebagian orang membayangkan bahwa kelompok-kelompok religius dan misionaris Kristen adalah orang-orang yang baik dan tidak melakukan kejahatan terhadap rakyat Kongo. Namun, saya menyaksikan sendiri bahwa pada masa Musa Chumbe, semua misionaris di Katanga menjadi pelindung politik yang kuat Rezim Chumbe, yang pada saat itu bahkan mengumumkan perang terhadap PBB.”
Patrice Lumumba, pemimpin rakyat Kongo, juga memperhatikan masalah ini. Setelah terpilih menjadi perdana menteri, dia mengumumkan bahwa sebagian misionaris merupakan anggota resmi Angkatan Bersenjata Belgia. Oleh karena itu, dia menuntut agar para misionaris meninggalkan Kongo.
Peran seperti ini juga dilakukan oleh para misionaris di negara-negara Afrika lainnya, seperti Uganda, Nigeria, Sudan, Ghana, dan Senegal. Sebagai contoh, uskup Richard Ruzdir dengan alasan campur tangan atas urusan internal Ghana telah diusir dari negara ini.
Dengan memperhatikan kenangan pahit rakyat Afrika terhadap para misionaris, komisi penyebaran agama Kristen pada tahun-tahun terakhir ini, telah mengubah metode dan politik mereka untuk hadir di Afrika. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa metode dakwah yang paling membawa hasil adalah metode tidak langsung. Oleh karena itu, kehadiran misionaris secara fisik dalam bentuknya yang khas, tidak akan banyak menarik perhatian kaum pribumi. Dewasa ini, para misionaris mengetahui bahwa dengan wajah dan profesi yang berbeda-beda, mereka akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menyebarkan paham kebudayaan mereka. Dokter, guru, insinyur, peneliti, anggota kelompok ilmuwan, dan perawat merupakan di antara profesi-profesi yang digunakan sebagai topeng oleh para misionaris. Mereka dikirim ke negara-negara tujuan untuk menyebarkan ajaran Kristen dengan tanpa menyinggung sensitivitas penduduk pribumi.
Bagian Kesembilan
Lutfi Liqunian, seorang penulis Kristen, meyakini bahwa periode baru dalam metode misionaris telah dimulai. Dia menulis, “Eropa dalam Perang Salib menggunakan pedang, sekarang menggunakan penyebaran paham sebagai cara untuk mencapai maksud-maksudnya. Dengan Perang Salib baru ini, Eropa ingin mencapai tujuannya tanpa pertumpahan darah. Dalam usahanya ini, Eropa memanfatkan gereja, sekolah-sekolah, dan rumah sakit serta menyebarkan misionaris mereka.
Dewasa ini, penyebaran ajaran Kristen di berbagai negara, merupakan salah satu strategi politik para pemimpin negara Barat. Kerjasama antara gereja dan negara-negara Barat merupakan kerjasama bersejarah yang dimulai sejak abad pertengahan sampai pada periode kolonialisme baru. Negara-negara Barat dan perusahaan-perusahaan multinasional telah menanamkan modal yang sangat besar pada yayasan-yayasan penyebar ajaran Kristen. David Waren, penanggung jawab Ensiklopedia Dunia Kristen, berkenaan dengan biaya propaganda misionaris di seluruh dunia, menyatakan bahwa data statistik tahun 1970 menunjukkan bahwa 70 milyar dolar telah dihabiskan unutk membiayai aktivitas misionaris pada tahun itu. Menurutnya, kurang dari dua dekade jumlah ini telah mencapai hampir dua kali lipatnya dan terus akan meningkat.
Dalam dunia Kristen, terdapat banyak kelompok atau sekte yang berbeda-beda. Namun, dalam melakukan aktivitas propagandanya di seluruh dunia, kelompok-kelompok ini menghilangkan perbedaan di antara mereka dan bersatu-padu dalam kelompok yang sama. Kita bisa melihat bahwa di Afrika, misionaris Katolik dan Protestan saling berdampingan untuk menyebarkan ajaran yang sama. John B. Nas, seorang penulis Inggris dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Agama-Agama” menulis bahwa persatuan yang signifikan di antara berbagai kelompok Protestan terjadi dalam aktivitas misionaris yang memiliki kepentingan dan makna yang sangat besar. Penyebaran ajaran Kristen ke berbagai negara membuktikan bahwa perbedaan antara berbagai gereja dan kelompok Kristen sama sekali tidak memiliki hasil. Para misionaris terikat pada semua kelompok dan gereja. Mereka tidak menghabiskan waktu untuk mengurusi perbedaan ini. Jika diperlukan, mereka siap untuk melupakan berbagai perbedaan yang ada di antara mereka.
Benua Afrika adalah salah satu kawasan terpenting bagi penyebaran ajaran Kristen oleh kaum misionaris. Ajaran Kristen di Afrika memiliki sejarah yang panjang. Serangan Eropa ke Afrika yang terjadi sejak akhir abad ke-15, telah membuka jalan bagi infiltrasi kaum misionaris ke benua ini. Para misionaris selama berabad-abad berada di samping tentara kolonialis di berbagai tempat di Afrika. Dalam kongres Baitul Maqdis yang dibentuk tahun 1963, semua orang Afrika peserta kongres itu menyatakan bahwa menurut pandangan rakyat Afrika, kehadiran para misionaris menghidupkan kenangan kolonialisme. Kenyataannya, di mana saja misionaris menginjakkan kaki, kolonialisme di negara itu pun segera dimulai.
Sejarah kehadiran misionaris di Afrika menjelaskan adanya kesejalanan dan kerjasama mereka dengan negara-negara penjajah. Selama perang, para misionaris memberikan bantuan yang berharga kepada pasukan penjajah. Biasanya, ketika pasukan penjajah masuk ke sebuah negara, pusat-pusat misionaris akan dijadikan pangkalan militer. Para misionaris itu kemudian akan menjadi salah satu penyuplai senjata, pasukan, dan makanan bagi para kolonialis. Selain itu, karena mereka mengenal suku-suku dan daerah-daerah, mereka akan menjadi mata-mata dan sumber informasi untuk para kolonialis.
Dalam serangan tentara Belgia ke Stanleyville, kita bisa melihat bahwa para misionaris telah menjadi penunjuk jalan bagi para tentara penjajah. Kota Stanleyville yang pada tahun 1966 diubah namanya menjadi Kisangani, adalah salah satu kota berpenduduk muslim di Kongo. Rakyat kota ini berjuang gigih menentang kehadiran pasukan Belgia. Pada tanggal 24 dan 25 September 1964, penduduk kota ini diserang habis-habisan oleh tentara Belgia yang mendapat dukungan dari tentara Amerika.
Jenderal Mike, komandan kulit putih bayaran yang dipekerjakan oleh Musa Chumbe, pemimpin pemberontak Kongo, mengutarakan kenangannya atas kejadian tersebut, sebagai berikut.
“Kami tidak mengasihani anak kecil atau orang dewasa karena ada kemungkinan bahwa setiap mereka adalah anggota gerakan kemerdekaan Kongo. Kami telah membunuh minimalnya lima ribu orang Kongo sehingga kami kemudian bisa membebaskan para tawanan kulit putih. Dalam kejadian ini, para pendeta kulit putih yang terkait dengan gerakan misionaris telah memberi kami petunjuk karena mereka mengenal kondisi daerah itu.”
Harian Observer terbitan London pada tahun 1964 memuat tulisan seorang penulis yang membahas masalah pembunuhan massal di Stanleyville. Katanya, “Mungkin sebagian orang membayangkan bahwa kelompok-kelompok religius dan misionaris Kristen adalah orang-orang yang baik dan tidak melakukan kejahatan terhadap rakyat Kongo. Namun, saya menyaksikan sendiri bahwa pada masa Musa Chumbe, semua misionaris di Katanga menjadi pelindung politik yang kuat Rezim Chumbe, yang pada saat itu bahkan mengumumkan perang terhadap PBB.”
Patrice Lumumba, pemimpin rakyat Kongo, juga memperhatikan masalah ini. Setelah terpilih menjadi perdana menteri, dia mengumumkan bahwa sebagian misionaris merupakan anggota resmi Angkatan Bersenjata Belgia. Oleh karena itu, dia menuntut agar para misionaris meninggalkan Kongo.
Peran seperti ini juga dilakukan oleh para misionaris di negara-negara Afrika lainnya, seperti Uganda, Nigeria, Sudan, Ghana, dan Senegal. Sebagai contoh, uskup Richard Ruzdir dengan alasan campur tangan atas urusan internal Ghana telah diusir dari negara ini.
Dengan memperhatikan kenangan pahit rakyat Afrika terhadap para misionaris, komisi penyebaran agama Kristen pada tahun-tahun terakhir ini, telah mengubah metode dan politik mereka untuk hadir di Afrika. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa metode dakwah yang paling membawa hasil adalah metode tidak langsung. Oleh karena itu, kehadiran misionaris secara fisik dalam bentuknya yang khas, tidak akan banyak menarik perhatian kaum pribumi. Dewasa ini, para misionaris mengetahui bahwa dengan wajah dan profesi yang berbeda-beda, mereka akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menyebarkan paham kebudayaan mereka. Dokter, guru, insinyur, peneliti, anggota kelompok ilmuwan, dan perawat merupakan di antara profesi-profesi yang digunakan sebagai topeng oleh para misionaris. Mereka dikirim ke negara-negara tujuan untuk menyebarkan ajaran Kristen dengan tanpa menyinggung sensitivitas penduduk pribumi.
Bagian Kesepuluh
John Moot, seorang misionaris Afrika dalam bukunya menulis, “Metode terang-terangan atau langsung para misionaris tidak berhasil menarik kaum muslimin untuk berpaling dari agamanya, karena baju yang digunakan oleh para misionaris hanyalah menimbulkan kebencian.” Roise, seorang misionaris lainnya juga mengkritik cara langsung gereja dalam menyebarkan ajarannya. Dia berkata, “Kami melihat sekelompok misionaris telah bertahun-tahun hidup di sebuah kota, namun mereka tidak mampu menemukan teman seorang pun.
Periode penjajahan Afrika oleh bangsa Barat memiliki dua dampak besar bagi agama Kristen. Pertama, masuknya pengaruh Kristen ke wilayah-wilayah Afrika yang belum disentuh oleh dakwah Islam, seperti Afrika Tengah dan Selatan. Kedua, meningkatkan semangat anak-anak kaum muslimin untuk bersekolah di sekolah-sekolah baru yang mengajarkan plajaran-pelajaran yang bersumber dari Barat. Dengan demikian, murid-murid di sekolah ini akan jauh dari ilmu-ilmu Islam. Apalagi, sekolah-sekolah Kristen tersebut telah mengajarkan huruf latin dan menyingkirkan pelajaran bahasa Arab sehingga rakyat Afrika akhirnya melalaikan peninggalan budaya dan bahasa mereka yang ditulis dalam huruf Arab.
Menurut para misionaris, pengajaran adalah cara dakwah yang paling bagus. Mereka amat mengutamakan pendidikan di kalangan anak-anak karena anak-anak memiliki kesiapan dan bakat untuk menerima pengajaran. John Moot, misionaris Amerika, juga menekankan pentingnya peran sekolah-sekolah dalam penyebaran ajaran Kristen. Dia berkata, “Kami harus mengajarkan ajaran agama kepada anak-anak. Sebelum dewasa, anak-anak itu harus kami tarik ke arah Kristen dan sebelum konsep Islam terbentuk dalam dalam jiwa anak-anak itu, jiwa mereka harus kami tundukkan.”
Dewasa ini, salah satu tujuan sekolah-sekolah dan pusat-pusat universitas yang terkait dengan misionaris adalah mendidik orang-orang yang kelak akan berpengaruh dalam pemerintahan dan bisa menjadi pemimpin di negara mereka. Adalah jelas bahwa misionaris akan mudah mencapai tujuannya bila yang digarapnya adalah orang-orang yang pernah mendapat pendidikan di sekolah-sekolah Kristen. Buktinya bisa kita lihat pada negara-negara Afrika, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ketika di antara tahun-tahun 1950-1970, negara-negara itu mencapai kemerdekaannya, tiba-tiba mereka mendapati bahwa presiden mereka ternyata seorang Kristen.
Kegagalan dalam menjalankan program pembangunan, kekeringan, kelaparan, dan utang yang sangat banyak yang dimiliki negara-ngara Afrika telah makin mempermudah masuknya pengaruh misionaris di negara-negara itu karena mereka mendapat perlindungan dana yang sangat luas dari negara-ngara barat.
Penyebaran ajaran Injil yang meluas dan dilakukan secara gratis di tengah masyarakat, propaganda dan penyebaran budaya sekularisme Barat, dan perluasan ajaran barat secara sangat luas merupakan beberapa metode misionaris di Afrika.
Metode lain yang dipakai para misionaris adalah pelayanan kedokteran dan kesehatan. Para dokter memberikan dukungan yang amat besar bagi gerakan misionarsi dalam mencapai tujuannya. Menurut mereka, di manapun manusia di dunia ini, orang yang sakit akan selalu ada dan orang sakit akan selalu memerlukan dokter. Di manapun ada kebutuhan terhadap dokter, di sanalah ada kesempatan untuk menyebarkan ajaran agama.
Di Afrika banyak terdapat rumah sakit dan klinik-klinik kesehatan yang dikelola para misionaris Kristen. Meskipun kaum misionaris mengatakan bahwa tujuan dari kegiatannya ini tidak lebih dari pemberian pertolongan kepada masyarakat, akan tetapi, di sebagian kawasan, para misionaris itu tanpa tedeng aling-aling menerangkan secara jelas tujuan asli kegiatan mereka itu. Mungkin hal ini didasari oleh pandangan mereka yang terlalu menganggap bodoh masyarakat pribumi.
Kondisi seperti ini tercatat dengan jelas pada sebuah buku berjudul “Christian Workers”. Contohnya adalah pada beberapa kawasan di Sudan. Di sana, ketika tengah mengobati para pasiennya, para dokter Kristen memulai aktivitas pengobatannya dengan meminta penyembuhan dari Al-Masih. Sejumlah dokter Kristen di kawasan Nasser bahkan secara terang-terangan memberikan syarat pengobatan kepada pasiennya berupa kesediaan para pasien untuk mengakui bahwa yang akan menyembuhkannya itu adalah Al-Masih.
Tanggal 20 Mei 2002 lalu, dua orang dosen universitas telah menulis surat pada redaksi majalah New York Times. Mereka menulis bahwa dalam kunjungan mereka ke Afrika Selatan, keduanya berkenalan dengan sejumlah besar misionaris Kristen yang mengaku datang ke sana membawa misi memerangi kefakiran dan penyakit AIDS. Akan tetapi, setelah beberapa kali berkomunikasi, kedua dosen itu menyadari bahwa tujuan asli kaum misionaris itu sama sekali bukan pertolongan terhadap masyarakat Afrika, melainkan secara prkatis mereka ingin mendirikan gereja yang besar untuk kemudian mengkristenkan warga pribumi. Koran New York Times juga menulis kesaksian kedua dosen itu bahwa para misionaris itu mengabaikan warga setempat dalam pendidikan cara-cara memerangi AIDS.
Para misionaris yang dikirim ke negara-negara Afrika umumnya dilatih untuk bisa menghormati seluruh adat dan budaya Islami yang dianut oleh masyarakat setempat dengan tujuan agar mereka bisa menarik perhatian masyarakat pribumi. Ketertarikan kaum pribumi terhadap para misionaris itu akan sangat memudahkan para misionaris dalam menyebarkan ajaran Kristen.
Contohnya, di Afrika, mereka menyebarkan ajaran melalui berbagai cerita rakyat yang tersebar di berbagai suku Afrika, akan tetapi, isi cerita rakyat yang awalnya berupa pesan khusus dari budaya masyarakat setempat itu, mereka ubah sesuai dengan tujuan misionaris mereka. Terkadang, kita bisa menyaksikan bahwa di beberapa kawasan Afrika, nyanyian-nyayian gereja mendapatkan inspirasi dari lagu-lagu rakyat. Contoh yang terkenal adalah lagu “Bambu” yang awalnya menggambarkan fase terakhir dari kedewasaan seorang pemuda Afrika, sekarang memiliki makna yang berbeda ketika dinyanyikan pada ritus-ritus gereja.
Lagu tersebut kini dimaknai sebagai masuknya seseorang kepada agama Kristen. Atau misalnya, pada hari Minggu, di beberapa kota Afrika para misonaris Kristen bersama-sama dengan orang-orang Kristen pribumi mengenakan pakaian kebesaran suku setempat dan dengan pakaian itulah mereka melakukan ritus keagamaan di gereja sambil memukul gendang menyanyikan lagu dan menari secara bersama-sama.
Bagian Kesebelas
Para misionaris ketika memasuki benua Afrika menemukan fakta yang mengejutkan yaitu sedemikian luasnya pengaruh Islam di benua ini. Penyebaran Islam di Afrika tidak dilakukan secara sistematis oleh kaum muslimin dan para muballigh Islam. Politik kolonialisme dan penjajahan terhadap berbagai wilayah Afrika oleh Belgia, Portugis, Perancis, dan Inggris dalam waktu yang sangat lama memberikan kesempatan yang luas bagi para misionaris untuk menyebarkan ajaran Kristen di benua ini.
Menyusul ucapan Paus pada akhir tahun 1960-an bahwa “dunia secara menyeluruh harus menjadi Kristen”, serangan para misionaris terhadap berbagai agama lain, terutama Islam, muncul dalam bermacam-macam bentuk. Dengan mengadakan berbagai konferensi, yayasan, organisasi, dan lembaga keagamaan di berbagai negara, para misionaris melakukan aktivitasnya secara amat luas di berbagai lapisan masyarakat. Yayasan-yayasan ini, setiap tahun membagi-bagikan ratusan ribu Injil, buku-buku, dan majalah secara gratis untuk menyebarkan pemikiran Kristen di tengah pemuda dan remaja dan berbagai lapisan masyarakat lainnya. Yayasan-yayasan ini memanfaatkan penulis, psikolog, dan spesialis lain yang terkemuka agar isi tulisan, warna, gambar dan desain grafis jilid buku, serta foto-foto bisa menarik perhatian pembaca.
Yayasan Emier merupakan salah satu contoh dari yayasan misionaris yang bertujuan utnuk memukul Islam. Yayasan ini memilki 13 penerbitan dan salah satu aktivitasnya adalah menerbitkan buku dengan gambar-gambar yang menarik bagi anak-anak. Yayasan “Amalur-rab” adalah contoh lain yayasan misionaris, yang memiliki ribuan pegawai profesional di berbagai bidang. Yayasan yang didirikan tahun 1928 dan didukung oleh Paus Johannes Paulus Kedua ini, juga bergerak di bidang politik. Di berbagai negara, yayasan ini melakukan mata-mata dan melakukan campur tangan dalam urusan pemerintahan.
Penerbitan Injil dalam bahasa lokal merupakan salah satu kegiatan yayasan-yasan misionaris. Seorang ustad muslim di negara Pantai Gading Afrika menceritakan bahwa suatu hari di desanya dia didatangi oleh sekelompok pendeta yang meminta dia mengajarkan bahasa tradisional, dan tidak lagi mengajarkan bahasa Perancis atau Arab demi menjaga bahasa asli desa itu. Ustad muslim itu dengan cerdas mengetahui tujuan sesungguhnya para pendeta tersebut.
Ustad muslim itu kemudian berkata keapda para pendeta tersebut, “Tujuan Anda untuk meminta saya mengajar bahasa tradisional kepada masyarakat adalah karena Anda sudah menerjemahkan Injil ke dalam bahasa asli kami dan Anda ingin agar pemikiran Kristen disebarkan kepada masyarakat dengan mudah. Sayang sekali Quran sangat sedikit diterjemahkan ke dalam bahasa asli dan karena itu Anda meminta saya untuk tidak mengajarkan bahasa Arab, karena itu akan membuat masyarakat lebh memahami Quran dan bila mereka sudah memahami Quran, mereka tidak akan mendengarkan perkataan Anda.”
Berkenaan dengan masalah penggunaan fasilitas canggih oleh para misionaris untuk menyebarkan pemikiran mereka, Doktor Zainab Abdul Aziz dalam pidatonya dalam Konferensi Toleransi Islam di Casablanca, Maroko, yang berjudul “Perluasan Propaganda Kristen dan Pentingnya Kewaspadaan Dunia Islam” berkata, “ Pada tahun 1990, di kota Brussel didirikan sebuah universitas bernama Penyebaran Kristen. Universitas ini memiliki pengajar-pengajar dari kalangan jurnalis dan pembicara terkemuka yang mahir dalam menyampaikan ilmu agama dan pengajaran gereja. Mereka bertujuan untuk mendidik para misionaris. Di antara perlengkapan canggih yang dimiliki universitas ini adalah satelit Luman 2000 yang bertujuan untuk menyebarkan terjemahan Injil dalam berbagai bahasa ke seluruh penjuru dunia sehingga bisa ditangkap oleh pesawat radio. Negara-negara seperti Sudan, Kenya, dan Uganda dengan mudah bisa menangkap siaran radio berisi terjemahan Injil ini dengan kualitas suara yang sangat bagus. Satelit ini dioperasikan dengan bekerjasama dengan Vatikan dan pejabat kota Dallas Amerika.
Tanzania, sebuah negara di timur Afrika yang lebih dari 60 persen penduduknya muslim, kekuatan politiknya lebih banyak berada di tangan orang-orang Kristen yang populasinya hanya 30 persen. Kaum Kristiani di negara ini memiliki aktvitas yang sangat luas, mulai dari radio, televisi, sampai internet untuk menyebarluaskan kebudayaan kristen di tengah masyarakat Tanzania. Sejumlah 6000 pendeta kristen di puluhan gereja melakukan aktivitasnya di negara ini. Mereka, sebagaimana juga di negara-negara Afrika lainnya, memanfaatkan tokoh-tokoh politik Tanzania untuk menyebarkan pemikirannya. Meskipun mereka menyatakan tidak campur tangan dalam urusan politik dalam negeri Tanzania, namun kenyataannya, dalam pemilu presiden, Dewan Gereja bahkan secara resmi menyampaikan pesan lewat radio dan koran mengenai keistimewaan seorang presiden. Aksi penguasaan terhadap sendi-sendi sebuah negara merupakan salah satu metode para misionaris untuk menyebarkan ajaran mereka.
Pendeta Peel, seorang pejabat gerakan misionaris di Afrika timur, pernah mengatakan, “Tidak boleh ada negara Kristen yang memperbolehkan agama Kristen diperlakukan sama seperti agama-agama lainnya. Agama Kristen harus dikenalkan sebagai agama superior. Sebuah pemerintahan Kristen haruslah menunjukkan kinerjanya hingga masyarakat merasakan bahwa mereka yang pernah mengecap pendidikan kerohanian Kristen ini memiliki nilai yang lebih dibandingkan dengan orang lain dalam pekerjaan di pemerintahnya.”
Akan tetapi, meskipun telah dilakukan upaya yang sangat luas oleh para misionaris Kristen di Afrika serta telah digunakannya berbagai fasilitas dan keuangan yang sangat banyak dalam program misionaris itu, kenyataan menunjukkan bahwa kelompok-kelompok penyebaran agama Kristen itu tidak pernah mampu mencapai tujuan-tujuan mereka. Sebuah majalah AS “Life” pernah menulis sebagai berikut.
“Di Afrika meskipun kaum misionaris yang jumlahnya tak terhingga telah melakukan berbagai program penyebaran agama, dan untuk itu telah dikeluarkan dana yang tidak terhingga, mereka hanya mampu mengkristenkan satu berbanding 10 orang Afrika yang masuk Islam. Padahal, Islam hingga kini tidak pernah mengirimkan satupun kelompok penyebar agama secara resmi ke tempat manapun di dunia. Umat Islam juga tidak pernah mendirikan rumah sakit, masjid, dan pusat pendidikan sebagai cara untuk menyebarkan ajaran mereka.”
Bagian Keduabelas
Surat kabar New York Times pernah menulis laporan yang berisi sebagai berikut.
“Organisasi Amerika yang bernama Pendeta-Pendeta Kristen Internasional yang bermarkas di Indianapolis telah mendidik lebih dari 4500 misionaris yang bertujuan untuk mengkristenkan kaum muslimin di berbagai negara dunia. Organisasi ini meningkatkan aktivitasnya setelah kejadian 11 September. Masa penugasan para pendeta misionaris tersebut adalah enam tahun.”
Selama beberapa tahun terakhir, gerakan misionaris telah menghabiskan dana yang sangat besar untuk menyampaikan ajaran mereka demi melawan Islam. Dengan mendirikan berbagai pusat dan yayasan propaganda, mereka berusaha untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran Kristen di berbagai penjuru dunia. Di antara negara-negara dunia, negara-negara Afrika memiliki tempat yang khusus dalam pandangan para misionaris. Kunjungan para pejabat tinggi gereja seperti Paus, ke benua Afrika selama dua dekade terakhir ini membuktikan posisi khusus tersebut.
Untuk menyebarkan ajaran Kristen ke negara-negara dunia, para misionaris melakukan berbagai usaha. Salah di antara metode yang mereka pakaiadalah mengubah pengajaran Kristen dan menyesuaikannya dengan kebudayaan masyarakat pribumi. Metode seperti ini diungkapkan dalam sebuah buku berjudul “Re-thinking Mission” dan dianggap sebagai sesuatu hal yang diperbolehkan dalam penyebaran Kristen. Buku ini diterbitkan pada tahun 1932 oleh sebuah yayasan misionaris. Menurut buku ini, propaganda Kristen harus terus dilakukan, namun metode-metodenya harus diubah agar sesuai dengan perkembangan zaman.
Contoh pelaksanaan metode ini adalah mengenai masalah perkawinan. Sebagian mazhab Kristen di Eropa hanya mengizinkan monogami dan tidak memperbolehkan percraian. Namun, di Afrika, mazhab Kristen tersebut mengubah ajaran mereka dengan mengizinkan kaum pribumi Afrika untuk menikahi lebih dari satu perempuan dan melakukan perceraian.
Lebih jauh lagi, para misionaris bahkan mengubah wajah Isa Al-Masih. Selama ini, Isa Al-Masih di Eropa digambarkan sebagai seorang kulit putih dan berambut pirang panjang. Namun, demi menyesuaikan dengan kebudayaan Afrika, di negara-negara Afrika mereka menggambarkan bahwa Isa Al-Masih seorang Ethiopia berkulit hitam dan berambut keriting.
Para misionaris dengan berbagai alasan, di antaranya ketakutan mendalam atas meluasnya pengaruh Islam di benua Afrika, memiliki dendam yang mendalam terhadap Islam dan kaum muslimin. Rasa dendam itu dimunculkan dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh, mereka menggerakkan pribumi Kristen Afrika untuk memerangi kaum muslimin, sebagaimana terjadi di Uganda, Malawi, dan Tanzania. Dalam majalah dan buku-buku yang mereka terbitkan, mereka menggambarkan Islam dengan buruk demi. Sebagai contoh, majalah Vision edisi Mei 1986, pada halaman pertamanya memasang foto Isa Al-Masih yang berwajah tenang dan melambaikan tangan penuh cinta yang disandingkan dengan foto seorang ruhaniwan muslim yang bertampang marah dan memegang sebilah pedang. Foto-foto yang diberi judul “Isa Al-Masih dan Islam” ini bertujuan untuk menanamkan gambaran dalam pikiran para pembaca bahwa Islam adalah agama yang kasar dan sebaliknya, Krisen adalah agama yang membawa perdamaian.
Nigeria adalah sebuah negara di bagian barat Afrika dan merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak di Afrika. Rakyat Nigeria, setelah berjuang dalam waktu lama untuk melawan para penjajah, akhirnya pada tahun 1960 berhasil meraih kemrdekaannya. Menurut catatan sejarah, Islam masuk ke negara ini sejak abad ke-8 melalui jalan perdagangan dan Islam berkembang pesat di utara negara ini. Pada tahun 1553, penjajah Inggris masuk ke negara ini bersama-sama dengan kelompok misionaris. Para misionaris inilah yang menjadi pelaksana politik Inggris di Nigeria. Lugard, penguasa Inggris di Nigeria, didampingi seorang misionaris bernama Miller merupakan pelaksana utama politik pengajaran kolonialis di negara ini.
Politik pengajaran Inggris di Nigeria memiliki tujuan-tujuan misionaris dan propaganda. Ketua kelompok misionaris Inggris menulis, “Kami sejak saat ini menggunakan Injil sebagai salah satu buku pelajaran. Beberapa bagian di ntaranya yang telah dipilih secara cermat, dijadikan bahan untuk latihan menulis para pelajar. Kami berpikir bahwa ini adalah kesempatan propaganda yang sangat bagus.”
Aktivitas kelompok misionaris di urusan politik juga sangat besar. Ketika rakyat muslim dan pejuang Nigeria berhasil meraih kemerdekaan dari Inggris dan mendirikan pemerintahan, pasukan Inggris dengan pertolongan para misionaris mendalangi kudeta dan membunuh beberapa pemimpin muslim, di antaranya Tafawa Balewe dan Ahmad Bello. Kudeta ini dilakukan oleh lima perwira Kristen dari kabilah Eibo yang diketuai Jenderal Aguiyi Ironsi. Dalam sebuah majalah bulanan terbitan London tahun 1966, ditulis mengenai terbunuhnya para pemimpin muslim Nigeria ini. Menurut majalah tersebut, “Kejadian ini diperlukan agar dapat menghalangi pengaruh kaum muslim di utara yang semakin hari semakin meningkat.”
Dalam buku “Nigeria Tahun 1966” yang diterbitkan di Lagos, ibu kota negara ini, tertulis, “Sejarah masa lalu dengan jelas menunjukkan bahwa ketika Nigeria yang memiliki penduduk mayoritas muslim mendirikan negara federal dengan pemerintahan pusat di Lagos, situasi negara berjalan dengan baik. Tetapi, keinginan orang-orang Eibo Kristen untuk memimpin kaum muslimin dan untuk membalas dendam secara kejam terhadap para pemimpin muslim, membuat kepentingan negara dikorbankan oleh ambisi-ambisi yang tidak pada tempatnya dan nafsu balas dendam kaum minoritas Kristen.”
Setelah terbunuhnya Jenderal Ironsi dalam pelarian, Ojukwu, komandan militer provinsi timur Nigeria yang berpenduduk mayoritas Kristen, mengumumkan kemerdekaan daerah tersebut dan mendirikan negara baru yang bernama Biafra. Tindakan ini, menurut media massa Barat, mendapat perlindungan dari negara-negara Barat dan Vatikan karena keberadaan sumber minyak di provinsi tersebut.
Ketika akhirnya Biafra berhasil dijatuhkan oleh pemerintahan pusat Nigeria, di antara para pemberontak yang tertangkap ditemukan 150 ruhaniwan Kristen. Pemerintahan pusat Nigeria kemudian mengusir keluar para misionaris tersebut yang di antaranya warga negara Selandia Baru.
Bagian Ketigabelas
Pada bagian kali ini, kami akan menukil isi pidato seorang misionaris bernama W.H.T.Gairdner yang kami ambil dari buku “Konferensi Misionaris Dunia, Misi dan Pemerintah” terbitan tahun 1910 yang berisi kumpulan pidato, laporan, diskusi, dan program-program misionaris.
Gairdner dalam Konferensi Misionaris Dunia menyatakan secara terang-terangan bahwa infiltrasi terhadap negara-negara Islam sangat diperlukan untuk mempercepat kristenisasi di sana. Kepada para misionaris yang hadir dalam konferensi itu, Gairdner menyatakan, “Masalah Islam tidak bisa kita abaikan begitu saja. Pertama, karena Islam telah mendekati pintu gerbang kita. Islam dari telah hadir dari Afrika Utara hingga Eropa. Pada dasarnya, bisa dikatakan bahwa Islam bergerak dari dua arah laut Mediterania. Kedua, karena Islam adalah masalah besar bagi kita. Islam bagaikan gunung yang kukuh yang berdiri di tengah-tengah kaum Kristen di Barat dan penyembah berhala di Timur.
Saya ingin mengingatkan bahwa meskipun jika masalah kita di Jepang, Manchuria, China, dan India bisa kita selesaikan dan krisis yang terjadi dengan mereka dewasa ini secara baik bisa kita atasi, tembok penghalang yang tinggi ini, yaitu Islam, masih tetap berdiri dan memisahkan kaum Kristiani di Barat dan Timur. Oleh karena itu, usaha untuk menyingkirkan penghalang ini tidak bisa kita tunda esok hari.
Gardner berkali-kali secara implisit, dengan menyebutkan bahwa Islam adalah musuh, menyatakan bahwa para misionaris harus menggunakan berbagai cara dalam menghadapi Islam. Dalam pidatonya itu, dia juga menyebutkan berbagai negara dan masyarakat muslim, salah satunya adalah Afrika. Menurut Gardner, “ Islam di bagian timur Afrika hingga Kamerun dan bagian barat Afrika hingga Nigeria, telah melakukan kemajuan. Saya berharap semua misionaris di Afrika Barat melakukan usaha maksimal demi mengkristenkan kaum muslimim. Dengan adanya musuh kita, yaitu Islam, kita harus mempersatukan diri. Kita harus membuat satu program bersama yang ...
Dalam upaya pengkristenan dunia, delegasi misionaris Afrika hingga kini melakukan berbagai tipuan agar mampu meraih posisi di antara rakyat pribumi Afrika. Salah satu di antara tipuan para misionaris adalah dengan memperkenalkan orang-orang yang mengaku semula muslim lalu berpindah ke agama Kristen. Beberapa tahun yang lalu, seorang pemuda bernama Buttuwil Mina muncul di televisi Zimbabwe. Dia menyatakan diri sebagai seorang muslim yang berpindah ke agama Kristen. Setelah beberapa lama, terungkap kenyataan bahwa dia tidak pernah menganut Islam, melainkan seorang pendneta yang selama lima tahun belajar agama di Kenya.
Dengan menelaah metode-metode penyebaran ajaran Kristen, terlihat juga bahwa para misionaris menggunakan gadis-gadis untuk menarik pemuda-pemuda muslim. Dalam buku “Mission and Imperialism” tertulis sebagai berikut. “Kaum perempuan dalam pandangan para misionaris memiliki peranan yang sangat besar untuk mencapai tujuan mereka. Sebagian misionaris berkeyakinan bahwa delegasi misionaris harus berusaha menyampaikan ajaran mereka di tengah kaum perempuan muslim karena perempuan adalah alat yang paling penting untuk mengkristenkan sebuah negara muslim dengan segera. Perempuan adalah poros kehidupan sosial. Dengan memanfaatkan mereka, para misionaris bisa melakukan infiltrasi ke berbagai lapisan sosial masyarakat. Oleh karena itu, didirikan pusat-pusat pendidikan misionaris khusus untuk mendidik perempuan sesuai dengan ajaran Kristen.”
Sebagian pusat-pusat pendidikan ini secara langsung mendidik kaum perempuan, termasuk gadis-gadis remaja, untuk menjadi misionaris. Beberapa di antara pusat pendidikan itu berkedok yayasan pendidikan seni dan kerajinan tangan kaum perempuan. Kepada kaum perempuan yang bergabung dengan yayasan tersebut secara tidak langsung diajarkan nilai-nilai Kristiani.
Adanya penanaman modal organisasi-organisai misionaris dalam kegiatan misionaris perempuan juga bisa kita tangkap dari pidato Henry Jesups, seorang misionaris Amerika yang selama ini berupaya mengkristenkan Timur Tengah. Mengenai sebuah lembaga pendidikan kaum perempuan di Beirut, Jesup berkata, “Lembaga pendidikan ini adalah prioritas saya. Lembaga ini kami buka untuk mendidik para perempuan dan dengan ini kami memberikan perhatian kepada dunia misionaris.”
Salah satu di antara negara Afrika yang dijadikan ladang aktivitas para misionaris adalah Guinea. Delegasi misionaris datang ke negara ini pada akhir abad ke-19 dan mendirikan puluhan gereja serta pusat penyebaran ajaran Kristen. Namun, mereka tetap tidak berhasil menarik perhatian rakyat Guinea. Hingga kini, penduduk muslim di Guinea tetap mayoritas, yaitu lebih dari 95 %. Padahal, para misionaris telah melakukan usaha infiltrasi dan memiliki kekuatan yang besar. Mereka juga melakukan aktivitas politik yang luas. Ketika Ahmad Sekou Toure naik sebagai presiden setelah kemerdekaan negara ini pada tanggal 2 Oktober 1958, dia mengusir semua pendeta kulit putih Katolik dan Protestan dari Guinea dan menyatakan, “Mereka dengan berkedok pendeta melakukan operasi mata-mata dan melakukan kerusakan.”
Setelah kematian Sekou Toure pada tahun 1984 yang diikuti oleh kebangkitan militer Guinea, para misionaris kembali melakukan aktivitasnya di negara itu. Dengan melakukan infiltrasi terhadap pemerintah, mereka mengubah sistem pendidikan Guinea dan mengubah Kementerian Urusan Islam yang dibentuk semasa pemerintahan Sekou Toure menjadi Kementrian Urusan Religius. Dengan disahkannya hukum revisi UUD Guinea pada tahun 1991, para misionaris melalui politikus-politiku Kristen berusaha menngambil posisi penting dalam kabinet kementrian. Meskipun 95 persen rakyat Guinea adalah muslim, namun para misionaris bebas melakukan penyebaran ajaran Kriaten melalu radio dan televisi. Mereka umumnya melakukan aktivitas dengan berkedok sebagai organisasi non pemerintah Amerika. Desa-desa merupakan daerah yang terpenting bagi mereka untuk melaksanakan misi penyebaran Kristen di Guinea.
Bagian Keempatbelas
Menyusul keruntuhan Uni Soviet dan kemerdekaan negara-negara Asia Tengah, puluhan kelompok misionaris atas dukungan negara-negara Eropa dan Amerika dikirimkan ke wilayah ini. Pada pertemuan kita kali ini, kami akan membahas kegiatan para misionaris di Azerbaijan. Selamat mengikuti.
Secara umum, metode yang dipakai delegasi misionaris di Azerbaijan sama dengan metode mereka di Afrika. Mereka memanfaatkan situasi sosial-ekonomi yang buruk di negara tempat mereka bertugas dan dengan berbagai cara mereka berusaha melakukan berbagai infiltrasi di tengah masyarakat. Kemiskinan dan kesulitan ekonomi dan sosial di negar-negara yang baru merdeka seperti Azarbaijan merupakan kondisi yang cocok bagi para misionaris untuk melaksanakan misi mereka. Para misionaris itu mendapat dukungan dana yang besar dan perlindungan politik dari negara-negara Barat, seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, dan Belgia.
Misionaris Barat ini berusaha menyembunyikan tujuan politik dan budaya mereka dengan cara mendirikan berbagai organisasi. Mereka menampakkan kepada masyarakat bahwa tujuan mereka adalah menolong kemanusiaan. Namun, karena kebutuhan ekonomi rakyat Azerbaijan, mereka juga melakukan pemaksaan. Misalnya, sebagaimana yang dilakukan oleh sebuah organisasi bantuan kemanusiaan bernama Adra.
Harian Musawat Nawin, terbitan Baku, mengenai organisasi ini menulis, meskipun sudah jelas bahwa organisasi ini adalah sebuah gerakan misionaris yang disponsori Amerika, namun para pejabatnya menyangkal kenyataan tersebut. Ketika pejabat Azerbaijan mengumumkan bahwa organisasi ini adalah sebuah lembaga misionaris Amerika, pemimpinnya, Vaksun malah menyatakan bahwa ada 400 ribu warga Azarbaijan yang mendapat bantuan dari organisasi ini. Dia mengancam, bila tekanan dari para pejabat politik dan media massa Azerbaijan terus berlangsung, organisasi ini akan menghentikan bantuannya tersebut.
Dukungan langsung pemerintahan negara-negara Barat seperti AS atau organisasi keamanan dan kerjasama Eropa (OSCE) terhadap kelompok-kelompok misionaris ini justru semakin membuka tujuan politik mereka. Perlindungan kedutaan besar AS di Azerbaijan terhadap kelompok misionaris dengan alasan melindungi kebebasan aktivitas kelompok agama juga lebih membuktikan kenyataan ini.
Sementara kementrian luar negeri AS mengklaim bahwa agama minoritas di Azerbaijan menghadapi berbagai masalah, kelompok misionaris Barat dengan bebas dan leluasa melakukan aktivitas mereka. Menyusul adanya kesempatan untuk mendaftarkan secara resmi organisasi dan yayasan agama di Republik Azerbaijan, aktivitas misionaris di negara ini semakin meningkat. Di antara organisasi-organisasi yang telah mendaftarkan diri, lebih dari 40 di antaranya adalah organisasi yang terkait dengan kelompok Kristen dan Yahudi. Perlu disebutkan pula bahwa banyak kelompok misionaris lainnya yang tetap melakukan aktivitasnya meskipun belum mendaftarkan diri.
Padahal, pemerintah Azerbaijan sudah menuduh bahwa sebagian organisasi-organsasi misionaris tersebut sebagai mata-mata. Nomik Abasov, menteri keamanan Republik Azerbaijan dalam wawancara dengan televisi negara itu menyatakan, “Agen keamanan negara-negara luar yang berkedok organisasi misionaris memiliki tujuan masing-masing di Azerbaijan yang bertentangan dengan kepentingan negara ini.” Dalam masalah ini, pemerintah Baku bahkan sudah mengusir beberapa misionaris Barat yang terbukti melakukan aktivitas ilegal dan mata-mata. Namun, atas bantuan pejabat AS, mereka bisa kembali lagi ke Azerbaijan dan meneruskan kegiaan mereka.
Di sisi lain, tampak bahwa tindakan pemerintah Baku dalam memberantas aksi mata-mata para misionaris masih bersifat setengah-setengah. Para misionaris di Azerbaijan hingga kini bebas menyebarkan buku-buku dan brosur propaganda Kristen di jalan-jalan dan stasiun-stasiun yang dipenuhi lalu-lalang masyarakat. Sebaliknya, penduduk Azerbaijan yang 90% di antaranya adalah muslim malah menemui banyak kesulitan dalam mengajarkan agama Islam di kalangan mereka sendiri. Sebagai contoh, Menteri Pendidikan dan Pengajaran Azerbaijan, Misir Mardinov, menentang dicantumkannya mata pelajaran agama di sekolah-sekolah. Menurut pandangan pengamat masalah Azerbaijan, tindakan ini menunjukkan adanya upaya dari pihak pemerintah untuk mengurangi peran Islam dalam kehidupan masyarakat di negara ini.
Para misionaris juga sangat memperhatikan penyebaran ajaran Kristen di tengah anak-anak. Alasannya adalah karena anak-anak memiliki hati yang masih bersih dan polos. Ajaran dan pendidikan apapun yang ditanamkan kepada anak-anak akan berpengaruh hingga ketika ia besar nanti. Kepribadian sejati seorang manusia dibentuk sejak ia masih kanak-kanak. John Moot, seorang misionaris terkenal pernah menyatakan, “Kita harus menarik anak-anak ke dalam ajaran Kristen sejak mereka masih kecil.”
Tahun yang 2002 yang lalu, sebuah surat kabar “Echo” terbitan Baku edisi 9 April menulis bahwa gereja Baptist di Azerbaijan telah memanfaatkan kondisi kemiskinan anak-anak untuk menarik mereka ke dalam ajaran Kristen. Anak-anak yang menjadi terget gereja ini adalah mereka yang berusia antara 6 hingga 10 tahun.
Selain itu, para misionaris juga menyusup ke militer Azerbaijan. Sabir Hasanali, sekretaris urusan umat muslimin Kaukasus dan Rektor Universitas Islam Republik Azerbaijan dalam sebuah wawancara dengan televisi INS Azerbaijan, menyatakan, “Anggota misionaris dengan memanfaatkan kesulitan hidup para tentara angkatan bersenjata Azerbaijan, berusaha untuk menjauhkan mereka dari Islam.” Sayyid Mahdi Kaliov peneliti di bidang ilmu keislaman berkeyakinan bahwa sembilan puluh persen aktivitas misionaris di Azerbaijan adalah untuk membawa negeri ini ke dalam perang saudara.
Bagian Kelimabelas
Memburuknya hubungan antara para penganut Kristen dengan gereja di negara-negara Barat selama tahun-tahun terakhir ini, menunjukkan peningkatan. Wartawan United Press dalam laporannya mengenai penurunan jumlah penganut Kristen menulis, “Pada tahun 1975, delapan juta orang di Inggris menjadi anggota gereja. Angka ini pada tahun 1992, menurun hingga 6,7 juta orang. Pada tahun 2005, diramalkan akan menurun hingga 5,7 juta orang. Dari sisi ini, Inggris berada dalam posisi kedua setelah Belanda. Menurut mingguan Spiegel Jerman, jumlah pengikut gereja Katolik dan Protestan juga menurun. Di Italia, harian La Republica yang menukil Franco Garti, sosiolog negara ini menulis, jumlah orang Kristen di Italia telah menurun. Ada sekelompok Kristen namun mereka tidak menjalankan aturan agama atau tidak mengakui akhirat. Mereka ini menyebabkan goncangan iman seseorang dan pada akhirnya mengurangi pemeluk agama.”
Pada saat di dunia Kristen jumlah pengikutnya semakin berkurang, jumlah misionaris yang dikirimkan ke negara-negara Islam malah semakin meningkat. Tujuan politik dan budaya memiliki peran penting dalam kehadiran para misionaris ke negara-negara Islam. Tujuan ini semakin penting bagi mereka karena ketidakberhasilan mereka di negara-negara Barat.
Sebagaimana kita ketahui, periode penyebaran ajaran Kristen oleh Isa Al-Masih relatif pendek. Oleh karena itu, ketika Isa Al-Masih diangkat Allah naik ke langit, pengikutnya tidaklah banyak. Namun, para pengikut Nabi Isa a.s. yang dalam sejarah dikenal sebagai kaum Hawariyun meneruskan penyebaran ajaran-ajaran beliau.
Bertahun-tahun setelah mi’rajnya Nabi Isa Al-Masih, ajaran beliau belum ada yang dibukukan. Kitab suci Injil yang terdiri dari perjanjian baru dan perjanjian lama baru dibukukan secara lengkap pada akhir abad ke-4 Masehi. Oleh karena itu, menurut Robert Hume, penulis buku “Agama-Agama Dunia” , “Dunia Kristen sampai sekarang masih belum sepakat mengenai apa saja yang benar-benar merupakan isi dari kitab suci Kristen.”
Perlu disebutkan pula bahwa kitab suci terdiri dari berbagai risalah yang berbeda dan tidak mengandung keteraturan, urutan, dan keserasian dalam penempatan berbagai risalah tersebut. Wyncken, ilmuwan kontemporer Jerman dan ahli teologi pernah menulis, “ Adalah hal yang menakjubkan bahwa sekumpulan tulisan yang tidak sejenis dalam bentuk satu kesatuan, yang ada di antara masyarakat, dinamakan buku kalam Ilahi.”
Pada abad ke-19, dilakukan penelitian dan penelaahan terhadap kitab Perjanjian Lama dan Baru dan ditemukan berbagai kesalahan ilmiah, sejarah, dan lain-lainnya. Hal ini membuat sebagian penganut Kristen, di antaranya Richard Bush, penulis buku “Dunia Relijius, Agama dalam Masyarakat Dewasa Ini”, menulis, “Dewasa ini, sebagian besar umat Kristiani meyakini bahwa dalam kitab suci mereka terdapat kesalahan kata-kata.” Kitab suci Kristen mengandung nilai-nilai ketuhanan, namun, bukanlah benar-benar kata-kata Tuhan. Oleh karena itu, memiliki berbagai kesalahan yang mengundang keingintahuan dari para realis dan orang-orang yang penuh keingintahuan, yang tidak bisa dijawab.
kini kami akan melanjutkan pembicaraan dengan meninjau aktivitas misionaris di Tajikistan. Tajikistan adalah salah satu negara di Asia Tengah. Setelah keruntuhan Uni Soviet, berbagai delegasi misionaris berdatangan ke Tajikistan dan sebagian besarnya berkedok di balik pelayanan sosial dan kesehatan. Karena kondisi ekonomi dan sosial yang kurang baik di negeri itu, para misionaris berharap bisa menarik perhatian penduduk dengan memberikan bantuan pengobatan. Mereka beranggapan bahwa dokter adalah kedok yang paling baik dipakai untuk melaksanakan aktivitas misionarisnya di Tajikistan. Karena, para dokter bisa berhubungan dengan segala lapisan masyarakat daan dengan demikian dia bisa menyebarkan pemikirannya di tengah-tengah masyarakat. Pada misionaris berkeyakinan bahwa para dokter adalah Injil hidup karena mereka mampu menarik orang-orang sekitarnya untuk memeluk Kristen atau minimalnya memberi pengaruh ajaran Kristiani yang mendalam ke dalam jiwa orang-orang di sekitarnya.
Oleh karena itu, salah satu metode para misionaris adalah mendirikan rumah sakit-rumah sakit, panti asuhan anak yatim, dan pusat-pusat bantuan sosial di berbagai kawasan miskin. Baru-baru ini, gereja di kota Dusyanbe, ibu kota Tajikistan, mengundang penduduk untuk datang agar mendapatkan perawatan gratis. Namun, di sana, para dokter menyebarkan ajaran Kristen dengan cara membacakan doa sebelum memeriksa pasien. Kelompok misionaris yang berkedok dokter ini berkebangsaan Korea namun mendapat perlindungan dari Amerika. Mereka juga menjalankan aktivitas misionaris mereka melalui penerbitan di Tajikistan dengan kedok kemanusiaan.
Penggunaan media massa seperti surat kabar, buku-buku, stasiun televisi dan radio serta pembuatan film sinema, merupakan salah satu cara untuk menyebarkan ajaran Kristiani. Mingguan Tajikistan dalam laporan khususnya mengenai film-film yang menyebarkan ajaran Kristen, menulis, “Tujuan film ini adalah untuk menarik kaum muda muslim Tajikistan ke dalam agama Kristen. “ Mengenai hal ini pula, sebuah majalah misionaris “Religious Broadcasting” pada bulan Januari 1996 menulis mengenai sebuah program besar bernama “Kehidupan Baru di Tahun 2000”. Di antara tujuan program ini adalah mengirimkan sekelompok ke seluruh dunia untuk mengubah keyakinan dan kepercayaan agama masyarakat dan menyebarkan tujuan-tujuan misionaris mereka
Bagian Keenambelas
Tabligh atau penyebaran ajaran kebenaran sebuah agama haruslah dilakukan dengan kejujuran dan menggunakan cara-cara yang benar dan logis. Namun, para misionaris Kristen dalam aktivitas mereka di negara-negara muslim amat jauh dari hal ini. Salah satu dari metode yang mereka pakai dalam menyebarkan akidah mereka adalah dengan melakukan konstekstualisasi pemikiran objek misionaris dengan Injil. Dengan cara ini, mereka menyembunyikan permusuhan mereka terhadap Islam dan sebaliknya mereka berusaha berperilaku sesuai dengan ajaran Islam bahkan ritual agama mereka dilakukan dengan cara Islam. Misalnya, mereka menggunakan pakaian yang serupa dengan pakaian orang Islam dan menghindari makanan-makanan yang diharamkan dalam agama Islam.
Dalam masalah ini, seorang penulis Pakistan bernama Imtiyaz Zafar menulis sebuah makalah berjudul “Pandangan Misionaris Pada Abad ke-20”. Menurutnya, para misionaris menggunakan metode baru yang mengajarkan ajaran Kristen dalam bentuk Islami. Gereja mereka dinamakan sebagai Masjid Isa dan mereka membaca Injil lima kali sehari sebagaimana orang Islam shalat lima kali sehari semalam. Mereka bahkan juga melakukan sujud seperti orang Islam bersujud dalam shalat.
Imtiyaz Zafar dengan mengutip ucapan Phill Marshal, seorang misionaris, menulis bahwa misionaris mengajarkan ayat-ayat Injil yang cocok untuk dibaca dalam shalat. Dengan cara ini, shalat umat Islam akan mengandung nilai Injil. Selain itu, para misionaris juga dianjurkan untuk menjauhi makan daging babi dan minum alkohol.
Beberapa waktu yang lalu, sebuah surat kabar Kirkizistan menulis bahwa para misionaris telah memanfaatkan ketidakwaspadaan dan keluguan masyarakat untuk menyebarkan ajaran yang tidak mereka kenal. Surat kabar Urkintar juga menulis sebagai berikut. “Beberapa hari sebelumnya, seorang warga negara Amerika di provinsi Narin menyebarkan ajaran agama yang menurut para ahli lokal, merupakan campuran dari ajaran Hindu, Kristen, Syimani, dan Islam. Ajarannya ini bisa menyelewengkan seorang muslim yang kurang pengetahuan. Misionaris Amerika yang bernama Richard Hewitt selama tiga bulan melakukan aktivitas misionaris secara sembunyi-sembunyi dan menyebarluaskan pemikirannya dalam tulisan yang mirip seperti buku Salman Rushdi. Setelah diusir dari Uzbekistan, dia lalu datang ke sebuah daerah pegunungan di Kirkizistan.
Dewasa ini, di Amerika ada ratusan lembaga agama yang melakukan ritual yang saling berbeda satu sama lain. Lembaga-lembaga yang sebagiannya mendapatkan dukungan dana yang besar dari pemerintah Barat ini mengirimkan orang-orangnya ke berbagai penjuru dunia untuk menyebarkan akidah mereka. Sekte “Kesaksian Yehovah” adalah salah satu di antara lembaga tersebut yang didirikan di Pensylvania Amerika, pada akhir abad ke-19. Sekte ini menyebarkan orang-orangnya di berbagai negara, terutama di Asia Tengah dan menjalankan aktivitas misionaris di sana. Sekte ini memiliki dana yang sangat besar dan mendapatkan perlindungan politik dari pemerintah Amerika. Bahkan, Kementrian luar negeri AS dalam laporan tahunannya tahun 2001 menekankan masalah penyelesaian masalah yang berhubungan dengan sekte ini.
“Aktivitas mencurigakan dalam kedok agama” merupakan bahaya yang membuat berkali-kali disampaikan oleh para pejabat agama dan politik negara-negara Asia Tengah setelah keruntuhan Uni Soviet. Para pemuda di kawasan ini menjadi sasaran utama gerakan misionaris Barat tersebut. Beberapa waktu yang lalu, mingguan Zaman terbitan Kazakhstan memberitakan tentang meningkatnya aktivitas misionaris di tengah rakyat negara ini. Mingguan ini menulis, “Beberapa kelompok misionaris di kota Almati melakukan aktivitas mereka dengan amat giat, khususnya di tengah-tengah para pemuda.
Metode misionaris untuk menarik perhatian para pemuda sangatlah beragam. Di antaranya adalah dengan mendirikan pusat pendidikan bahasa Barat. Dalam pusat pendidikan ini, para misionaris melalui materi-materi pelajaran menyebarkan kebudayaan Barat dan pemikiran agama mereka. Dalam masalah ini, Shataliah, seorang pendeta Perancis dalam sebuah majalah propaganda agama “Le Monde Musulman” (Dunia Islam) menulis, “Tidak diragukan lagi, para misionaris kita hingga kini masih belum berhasil membuat kaum muslimin berada di bawah pengaruh kita. Untuk mencapai tujuan ini, kita bisa memanfaatkan penyebaran bahasa-bahasa Eropa. Melalui bahasa-bahasa Eropa tersebut, pemikiran Eropa bisa disebarluaskan. Selain itu, dunia Islam bisa berhubungan dengan media massa Eropa dan dengan jalan itulah organisasi-organisasi misionaris bisa mencapai tujuannya untuk merusak pemahaman Islam di kalangan umat muslim.”
Jalan lain yang digunakan untuk menarik kaum muda di Asia Tengah adalah dengan membentuk klub-klub dan pusat-pusat olahraga serta hiburan. Pusat-pusat olahraga dan hiburan ini aktif di bidang budaya dan sosial namun diatur dengan pemikiran misionaris. Pusat-pusat yang sebagiannya berada di bawah nama “Perkumpulan Muda” atau “Organisasi Pemuda” ini melakukan berbagai kegiatan seperti tur atau konferensi mahasiswa dan pertandingan olahraga untuk menarik perhatian kaum muda. Cornelius Botton, penulis buku “Aktivitas Misionaris Gereja” menulis, “Peran perkumpulan-perkumpulan itu dalam memajukan gereja adalah dengan berusaha mempengaruhi para mahasiswa dan pemikir di kota-kota. Perkumpulan ini melalui pengaruhnya dalam kehidupan sosial dan olahraga, bisa mengajak beberapa orang ke dalam ajaran Kristen. Hal ini akan sulit dilakukan oleh para misionaris secara perorangan.
Bagian Ketujuhbelas
Beberapa waktu yang lalu, surat kabar Wall Street Journal menuliskan laporan mengenai aktivitas kelompok-kelompok misionaris yang jumlahnya tak terhitung yang bertujuan untuk mengkristenkan kaum muslimin. Menurut suratkabar ini, gereja-gereja dengan mengirmkan misonaris-misionaris ke sebagian wilayah Afrika dan Asia telah berusaha untuk mengubah akidah umat Islam. Wall Street Journal menulis bahwa para penerbit telah mencetak banyak buku mengenai bagaimana cara menarik kaum muslimin. Buku ini dibuat sesuai perkembangan di kalangan muslim dan setiap babnya diberi nama sesuai dengan nama surat-surat dalam Al-Quran.
Lebih jauh lagi, Wall Street Journal juga melaporkan bahwa para misionaris Amerika mengirimkan anggota-anggota mereka ke berbagai negara muslim dunia dengan berkedok sebagai guru, penerjemah, wakil perdamaian, atau pedagang. Orang-orang ini dengan menggunakan gereja atau lembaga-lembaga Kristen telah menjalin hubungan dengan masyarakat pribumi lalu berusaha membentuk kelompok-kelompok Kristen.
Salah satu negara muslim terpenting yang menjadi sasaran para misionaris adalah Turki. Karena letak geografisnya yang unik, yaitu berada di antara Eropa dan Asia, Turki memiliki posisi yang penting dan sensitif. Aspek geopolotik Turki yang penting itu membuat negara ini selalu menjadi perhatian negara-negara Eropa. Usaha negara-negara Barat untuk menanamkan pengaruh di Turki telah dimulai sejak periode pemerintahan Utsmani dan para misionaris memiliki peran besar dalam usaha ini.
Pada awal abad ke-19, kawasan-kawasan penting dunia seperi Asia Kecil, di antaranya Armenia dan Turki, selat Bosporus dan Dardanela, Timur Tengah, Mediterania, dan Makedonia, dikuasai oleh pemerintahan Utsmani. Di wilayah kekuasaan Utsmani yang amat luas itu, hidup para pengikut berbagai agama dan kondisi ini dimanfaatkan oleh para misionaris. Dengan dalih memberikan pengajaran agama kepada kelompok agama minoritas, para misionaris Barat memasuki wilayah Utsmani. Kemudian, sedikit demi sedikit, para misionaris menjalankan peran sebagai agen perluasan pengaruh negara-negara Barat yang mengirim mereka, di kalangan pemerintah negara muslim tersebut.
Pemerintah Inggris, Perancis, Rusia, dan Amerika adalah di antara negara-negara Barat yang memanfaatkan para misionaris untuk memperluas pengaruh mereka terhadap pemerintahan negara-negara muslim. Di samping mendirikan lembaga-lembaga agama, langkah pertama yang diambil oleh para misionaris ketika memasuki wilayah Utsmani adalah mendirikan yayasan pendidikan. Menjelang Perang Dunia Pertama tahun 1914, lebih dari 1300 yayasan Perancis, Inggris, dan Amerika aktif menjalankan kegiatan mereka di berbagai pelosok wilayah Utsmani. Robert College adalah salah satu sekolah yang didirikan oleh misionaris pada tahun 1863 di kota Istambul. Sekolah ini dikelola oleh para misionaris Amerika. Menurut tulisan Athen Sezar, seorang penulis Turki, yayasan ini memiliki peran yang sangat besar dalam menggerakkan orang-orang Bulgaria untuk memisahkan diri dari kekuasaan Utsmani.
Yayasan-yayasan misionaris berperan untuk menciptakan perasaan kebanggaan etnis dan ras di tengah-tengah masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan pertentangan dan bentrokan di wilayah Utsmani. Dengan meningkatkannya fanatisme kesukuan dan ras, perasaan kesatuan di antara kaum muslimin di wilayah Utsmani kian menurun. Penciptaan perpecahan dan perselisihan serta melenyapkan keutuhan dan persatuan kaum muslimin, selalu menjadi salah satu tujuan para misionaris karena dengan cara inilah mereka bisa mencapai keinginan mereka di bidang politik, budaya, dan sosial.
Seorang pendeta bernama Simon menyatakan bahwa persatuan Islam adalah harapan bangsa-bangsa muslim yang sadar, dan dengan cara itu mereka berusaha keluar dari pengaruh Eropa. Masalah ini hanya bisa dicegah oleh program-program misionaris karena program-program itu menampilkan wajah Eropa dengan menarik dan bisa menghancurkan persatuan kaum muslimin.
Para misionaris dalam pengajaran di sekolah-sekolah mereka berusaha menampilkan wajah Eropa yang menarik ke dalam benak anak-anak muda muslim. Akibatnya, mereka melupakan sejarah bangsa mereka yang penuh kebanggaan. Menurut Kardinal Lavie Garry, “Tanpa diragukan lagi, agama yang paling kuat dan tidak bisa ditaklukkan adalah agama Islam. Oleh karena itulah para misionaris berharap agar seluruh kaum muslimin menjadi Kristen. Meskipun para misionaris juga menyebarkan ajaran mreka di kalangan Budha dan Hindu, namun tujuan asli mereka adalah kaum muslimin.”
Dengan tujuan untuk melemahkan pemerintahan Utsmani, aktivitas misionaris di kawasan ini semakin meningkat. Setiap kali pejabat politk Utsmani berencana untuk membatasi aktivitas misionaris Barat itu, mereka akan berhadapan dengan tekanan poltik pemerintah pelindung misionaris tersebut. Akhirnya mereka pun terpaksa mengambil langkah mundur. Kuat atau lemahnya pemimpin yang berkuasa di wilayah Utsmani akan mempengaruhi besarnya pengaruh misionaris dalam pemrintahan. Sebagai contoh bisa dilihat pada masa kepemimpinan Said Pasha di Mesir yang saat itu berada di bawah kekuasaan Utsmani. Karena kepemimpinannya yang lemah, dia disukai oleh para misionaris. Sebaliknya, ketika Ismail Pasha berkuasa, dia melarang segala aktivitas misionaris. Akibatnya, dia selalu menjadi sasaran celaan para misionaris dan mendapat tekanan dari negara-negara Barat.
Dengan melemahnya pemerintahan Utsmani dan naiknya Kamal Attaturk ke tahta kekuasaan, para misionaris semakin bebas melaksanakan aktivitas mereka. Bahkan, sebagian kebijakan politik Attaturk sejalan dengan tujuan para misionaris. Misalnya, perintah Attaturk untuk mengubah huruf Turki dengan huruf Latin adalah upayanya untuk memotong hubungan kaum muslimin dengan warisan Islam yang kaya. Lebih jauh lagi, Attaturk bahkan menutup semua sekolah Islam di Turki dengan alasan penyeragaman kurikulum pendidikan di negara itu. Sebaliknya, pusat-pusat pendidikan misionaris Barat diizinkan untuk terus beroperasi dan bahkan pada tahun 1930, sekolah-sekolah AS di Turki dibebaskan dari pajak. Sepeninggal Attaturk, kegiatan misionaris ini masih terus berlanjut dan mendapat tentangan keras dari masayarakat muslim Turki.
Bagian Kedelapanbelas
Pada masa pemerintahan Utsmani, para misionaris Barat merupakan salah satu alat untuk menyebarkan pengaruh pemerintahan Barat di wilayah itu. Mereka dengan berbagai metode berusaha untuk meningkatkan fanatisme kesukuan dan ras, serta menyebarkan perpecahan di antara rakyat sehingga memperlemah pemerintahan Utsmani yang merupakan satu-satunya pemerintahan di Eropa yang bermazhab resmi Islam ini.
Setelah runtuhnya pemerintahan Turki Utsmani dan naiknya Kamal Attaturk, para misionaris semakin banyak dan bebas menjalankan aktivitasnya di negara ini. Kebijakan politik Ataturk yang memukul Islam sejalan dengan tujuan para misionaris. Penetapan hari Minggu sebagai hari libur yang mengantikan hari Jumat, mengganti huruf Arab dari bahasa negara ini dan menggantikannya dengan huruf latin, pembatalan penanggalan Hijriah dan menggantinya dengan penanggalan Masehi, adalah di antara langkah-langkah Attaturk dalam menyingkirkan nilai-nilai Islam dari tengah masyarakat Turki. Sebaliknya, Attaturk menyebarluaskan pengaruh kebudayaan Barat di negara itu.
Secara umum, dewasa ini, politik Attaturk yang anti Islam masih dilanjutkan oleh sebagian pejabat negara ini, meskipun mendapatkan penentangan dari rakyat. Dengan kata lain, sebagian pejabat negara ini berusaha melemahkan budaya Islam di tengah masyarakat muslim Turki. Sejalan dengan itu, sebagian pejabat negara memberikan kebebasan kepada para misionaris untuk menjalankan aktivitas mereka. Meluasnya kegiatan misionaris Barat di Turki bahkan membuat dewan keamanan nasional negara ini mengganggapnya sebagai sebuah fenomena yang mengkhawatirkan.
Berdasarkan laporan yang diungkapkan oleh Dewan Keamanan Nasional Turki, para misionaris selama tiga tahun, yaitu sejak tahun 1999 hingga 2001, telah menyebarluaskan tiga juta naskah Injil secara gratis di Tuki. Penyebaran Injil dalam jumlah yang amat besar itu membutuhkan dana yang besar pula. Berdasarkan laporan tersebut, selama satu tahun, di kota Istambul saja sudah 19 gereja yang didirikan. Hal yang menarik di sini adalah bahwa gereja-gereja itu didirikan di daerah-daerah yang tidak ada penduduk Kristennya. Para misionaris membeli atau menyewa unit-unit apartemen dan toko-toko, lalu menggunakannya sebagai tempat peribadatan ataupun gereja. Belum lama berselang, sementara para misionaris dengan bebas mengajarkan ajaran Kristen kepada para pemuda dan remaja di sekolah-sekolah, kelas-kelas pengajaran Quran malah diserang oleh oknum-oknum kepolisian.
Dalam sebuah laporan resmi disebutkan bahwa tujuan utama para misionaris lebih jauh dari sekedar menyebarkan ajaran agama. Tujuan utama mereka adalah memecah-belah Turki. Dalam usahanya ini, salah satu kegiatan para misionaris adalah menciptakan perpecahan antara bangsa Turk dan Kurdi. Para misionaris di tenggara Turki menyebarluaskan Injil dalam bahasa Kurdi dan menggerakkan rakyat Kurdi untuk menuntut agar bahasa Kurdi digunakan dalam pengajaran di sekolah-sekolah dan menyebarluaskan program dalam bahasa Kurdi.
Hubungan Partai Komunis Kurdi (KDK), yang sebelumnya bernama Partai Buruh Kurdi (PKK), dan gerakan separatis Kurdi dengan gereja adalah sebuah fakta yang harus diperhatikan. Sejak tahun 1983, gereja memiliki hubungan erat dengan kelompok-kelompok separatis. Perlu disebutkan pula bahwa gerakan separatis pertama yang terjadi di tenggara Anatolis pada tahun 1962, didalangi oleh para pakar AS yang terkait dengan gereja-gereja Katolik dan Anglikan.
Untuk mencapai tujuan politik dan budayanya, para misionaris Barat di Turki menggunakan metode yang berbeda-beda. Misionaris yang beraktivitas di tengah masyarakat fakir menipu masyarakat dengan tawaran kerja dan janji pemberian uang Sebaliknya, para fakir miskin itu diminta untuk mengenakan pakaian Kristiani.
Majalah Aidin Lik terbitan Turki, beberapa waktu yang lalu menyebutkan tentang adanya sebuah buku terbitan New York yang berisi "metode-metode misionaris Prostestan”. Dalam buku ini, secara jelas dituliskan bahwa lokasi terpenting aktivitas misionaris adalah negara-negara Arab dan Islam. Kepada para misionaris, buku ini menuliskan pesan sebagai berikut. "Peluang terbaik bagi kita adalah di negara-negara yang baru lepas dari perang dan kondisinya diliputi kehancuran, kelaparan, dan standar hidup yang rendah. Daerah terbaik untuk menyebarkan agama adalah di pinggiran kota. Jika diperlukan, orang-orang yang tinggal di daerah-daerah seperti ini bisa dibeli.”
Penggunaan radio, televisi, serta bioskop adalah salah satu metode yang biasa dipakai para misionaris. Berdasarkan sebuah laporan penelitian pada tahun 1993, di antara film-film yang ditayangkan di televisi pemerintah dan swasta di Turki, sebagiannya merupakan propaganda Kristen. Dalam film ini, para pastor atau penyebar ajaran Kristen selalu digambarkan sebagai orang berwajah bersih dan orang yang baik. Sebaliknya, dalam sebagian besar film-film buatan Turki yang selama ini ditayangkan, para ruhaniwan Islam digambarkan sebagai orang yang kepribadiannya tidak simpatik sehingga tidak bisa menarik perhatian para pemuda dan remaja.
Menurut juru bicara pers Patrik Khan Ortodoks, segala organisasi atau lembaga yang dibangun oleh misionaris selalu saja melayani kepentingan para imperialis. Imperialisme menggunakan para misionaris sebagai senjata dan oleh karena itu, misionaris amat berbahaya bagi Turki dan dunia
Bagian Kesembilanbelas
Negara Indonesia yang terletak di Asia Tenggara ini, merupakan , sebuah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Sekitar 200 juta muslim hidup di negara ini. Artinya, sekitar 90 persen dari total populasi negara ini adalah muslim. Jumlah muslim yang amat besar, yang berada di sebuah negara dengan hasil alam yang amat kaya, terutama gas dan minyak, menjadikan Indonesia sebagai sebuah target penting bagi para misionaris.
Indonesia selama lebih dari tiga abad berada di bawah penjajahan negara-negara Barat, seperti Spanyol, Portugis, dan Belanda. Setelah melakukan perjuangan melawan Belanda, akhirnya rakyat Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kehadiran imperialisme Belanda yang memakan waktu hingga 350 tahun menciptakan kesempatan yang sangat luas bagi masuknya delegasi-delegasi misionaris Barat ke Indonesia. Sebagaimana telah kami bahas pada bagian-bagian yang lalu, misionaris selalu menjadi pendukung utama imperialisme. Karena itu, program-program misionaris selalu sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh kaum penjajah. Belanda yang selama tahun-tahun pertama abad ke-17 melancarkan program imperialismenya di Asia Tenggara dan Timur Jauh, juga menggunakan bantuan dari para misionaris.
VOC atau Perusahaan Belanda di Hindia Timur yang dibentuk sejak tahun 1602 yang merupakan wakil imperialisme Belanda di Asia Tenggara, selalu melindungi para misionaris dan rakyat pribumi di Asia Tenggara dipaksa untuk mau menerima ajaran Kristen. Latourette, penulis buku sejarah Kristen yang berjudul “A History of Christianity” , meskipun berusaha mengaburkan adanya hubungan antara misionaris dengan program-program imperialisme, mengakui dalam bukunya itu, bahwa “Prinsip dan kaidah Kristen dalam kebijakan-kebijakan imperialisme Belanda memainkan peranan yang sangat banyak.”
Sementara para penjajah Belanda memaksa rakyat pribumi untuk menerima ajaran Kristen, sebaliknya, jika seorang Belanda masuk Islam, keuangannya akan dihentikan dan orang itu akan ditangkap serta dikeluarkan dari wilayah tersebut. Perlindungan para imperialisme Barat terhadap para misionaris di Asia tenggara, termasuk Indonesia, menyebabkan mereka memiliki posisi penting dalam masyarakat. Hal ini bisa dilihat, ketika Indonesia meraih kemerdekaannya, orang-orang Kristen di negara ini menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan dan memiliki pengaruh yang besar dalam percaturan politik Indonesia. Contoh penting mengenai pengaruh Kristen di Indonesia, adalah dalam proses penyusunan UUD RI. Pada konsep UUD tersebut, disebutkan kelima “Ketuhanan yang Mahaesa dengan menjalankan kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Penulisan konsep ini didasarkan pada kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Namun, karena kuatnya pengaruh Kristen yang jumlahnya hanya 8 persen itu, kalimat tersebut diubah dan hanya ditulis “Ketuhanan Yang Mahaesa”.
Dewasa ini, aktivitas misionaris di Indonesia dilakukan dengan berbagai metode. Di antaranya, dengan berlindung di balik organisasi-organisasi internasional seperti WHO, FAO, UNESCO, dan UNICEF. Para misionaris itu banyak melakukan kegiatannya di daerah-daerah yang penduduknya miskin dan terisolir, seperti di sebagian kawasan Irian Jaya dan Sulawesi. Mereka mengirimkan dokter dan guru-guru ke daerah-daerah itu serta mendirikan yayasan-yasayan sosial, dengan tujuan untuk mendekati dan menarik hati masyarakat pribumi.
Di antara yayasan-yayasan misinaris yang aktif di Indonesia adalah Nehemia Foundation yang sering disebut sebagai CCN. Lembaga ini didirikan pada tahun 1987 oleh Pendeta Suradi dengan tujuan untuk mendidik para pendakwah Kristen. Namun, dengan melihat cara kerja yayasan ini, para tokoh Islam Indonesia berkeyakinan bahwa tujuan yayasan ini adalah untuk menghina Islam. Untuk mecapai tujuan ini, yayasan tersebut melakukan berbagai usaha, di antaranya menciptakan ayat dan hadis-hadis palsu.
Beberapa waktu yang lalu, majalah Moslem Media terbitan London menuliskan laporannya tentang program Dewan Gereja Indonesia yang bertujuan untuk mengkristenkan masyarakat Indonesia. Berdasarkan program ini, Dewan Gereja menyuruh para anggotanya untuk ikut serta dalam aktivitas politik, ekonomi, dan budaya agar bisa meraih puncak kekuasaan dan bisa mengendalikan politik negara itu sesuai dengan kepentingan gereja. Disebutkan pula bahwa Dewan Gereja juga menyuruh agar para anggotanya mendekati orang Indonesia keturunan Cina karena mereka lebih mudah untuk ditarik ke dalam agama Kristen dan posisi mereka di Indonesia bisa menguntungkan Kriten.
Dalam majalah Sabili terbitan Indonesia pada edisi 05 tahun 2003, dituliskan laporan mengenai aktivitas misionaris di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Di masa lalu, Kerajaan Gowa adalah sebuah kerajaan Islam yang gigih berjuang mengusir Belanda dari tanah air Indonesia. Namun kini, Gowa adalah lahan empuk bagi para misionaris. Misalnya, di kelurahan Malino sejak Februari 1974, didirikan Sekolah AlKitab, yang merupakan salah satu dari sekitar 25 sekolah Alkitab Gereja Pantekosta di bawah naungan Belanda. Di kelurahan ini, ada 7 gereja yang aktif. Di desa Sicini, yang penduduknya merupakan masyarakat miskin terbesar di Gowa, para misionaris gencar mengirimkan bantuan-bantuan kepada masyarakat. Mereka mendapatkan dukungan dana dari Vatikan, AS, Kananda, dan Belanda. Di desa-desa lainnya di Gowa pun, situasinya tak jauh berbeda. Para misionaris dengan giat menyalurkan bahan pangan, uang, alat tulis, pakaian bekas. Mereka juga mengadakan pelatihan peternakan dan pertanian kepada masyarakat, bahkan membangun jaringan pipa air bersih. Semua kegiatan ini ditujukan untuk menarik hati masyarakat pribumi dan mengajak mereka untuk memeluk agama Kristen
Bagian Keduapuluh
Sejak abad ke-12 hingga 13, Bangladesh berada di bawah kekuasaan kerajaan Hindu atau Budha. Kemudian, pada abad ke-13, pengaruh Islam masuk ke wilayah ini, sehingga mayoristas penduduknya memeluk agama Islam. Pada tahun 1757, Inggris menjajah anak benua India, termasuk Bangladesh. Ketika Inggris angkat kaki dari kawasan itu, pada tahun 1947 berdirilah negara Islam Pakistan, yang wilayahnya juga meliputi Bangladesh. Namun, pada tahun 1971, Bangladesh memisahkan diri dan menjadi negara yang independen.
Bangladesh memiliki 120 juta penduduk dan merupakan salah satu negara yang terpadat penduduknya di dunia. Sembilan puluh persen populasi Bangladesh beragama Islam, dan sisanya Hindu, Budha, dan Kristen. Kondisi penduduk Bangladesh yang sebagian besarnya miskin dan perekonomian negara yang lemah, membuat negara ini menajdi lahan yang subur bagi perkembangan gerakan misionaris. Sebagaimana yang mereka lalukan di negara-negara lainnya, para misionaris melakukan kegiatannya di Bangladesh dengan berkedok memberi bantuan materi. Dengan mendirikan lembaga-lembaga sosial yang memberikan bantuan kepada masyarakat, mereka berusaha untuk menarik hati para warga pribumi Bangladesh. Para misionaris di Bangladesh umumnya aktif di pedesaan yang padat penduduk.
Masuknya misionaris ke Bangladesh memiliki sejarah yang panjang. Gerakan misionaris pertama datang dari Portugis pada abad ke-16. Hingga tahun 1673, tercatat lebih dari 30.000 orang Bangladesh yang menganut agama Kristen Katolik. Pada tahun 1974, berdirilah gereja Katolik Roma yang ditangani oleh 260 misionaris asing. Gerakan misionaris Protestan yang tertua di Bangladesh adalah British Baptist Misionarries Society, yang mulai berjalan tahun 1793. Sampai tahun 1980, ada 21 kelompok misionaris Protestan yang aktif di Bangladesh dan memiliki 270 pekerja asing. Grup misionaris terbesar bernama Association of Baptist for World Evangelization yang memiliki 40 orang pekerja misionaris asing.
Respon para misonaris terhadap kesulitan yang dihadapi rakyat miskin Bangladesh, seperti bencana alam dan kelaparan, membuat banyak warga pribumi Bangladesh yang menerima ajaran Kristen. Bahkan, gereja-gereja Baptis, Anglikan, dan Katolik menyatakan bahwa mereka menerima permintaan dari seluruh desa dari kasta Namasudra untuk menjadi pemeluk Kristen, tetapi permintaan itu belum bisa terpenuhi karena kurangnya tenaga misionaris yang ada.
Penduduk Bangladesh di daerah pegunungan umumnya bersuku-suku. Para misionaris menyadari bahwa para anggota suku tersebut satu sama lain saling mempengaruhi. Oleh karena itu, mereka melakukan aktivitas misionarisnya secara menyeluruh dalam satu suku, bukan dengan melakukan pendekatan secara perorangan. Seorang atau sekelompok misionaris selama beberapa tahun hidup di sebuah suku dan mengajarkan ajaran Kristen kepada warga suku tersebut. Karena tingkat pendidikan warga pedesaan Bangladesh amat rendah, maka misionaris menyampaikan ajaran mereka melalui dongeng-dongeng.
Mengenai dongeng-dongeng rakyat Bangladesh ini, National News Agency of Bagladesh menulis, “Para misionaris dari Inggris dan Amerika berperan besar dalam pengumpulan dan penerbitan dongeng-dongeng rakyat Bangladesh. Karena tujuan mereka adalah untuk menyebarkan Kristen di tengah masyarakat pribumi, mereka mempelajari adat pribumi dengan tekun. Di antara para misionaris ini, yang paling terkenal adalah William Carey. Dia mengajar di Fort William College dari tahun 1800-1831 dan menerbitkan buku-buku dalam bahasa Bengali serta menggalakkan penerjemahan dongeng dari bahasa Sanskerta yang sebelumnya hanya didengar dari mulut-ke mulut.”
Para misionaris mengetahui bahwa pendidikan dan pengajaran merupakan jalan terbaik untuk mempengaruhi masyarakat. Karena itulah, mereka mendirikan sekolah-sekolah, universitas, bahkan taman kanak-kanak. Di antaranya adalah empat sekolah misionaris, yaitu “Bibble Correspondence School,” yang didirikan di kota Dakka, ibu kota Bangladesh. Seorang misionaris di Bangladesh mengisahkan, “Untuk memisahkan anak-anak dari orangtuanya, kami mendirikan banyak sekolah yang jauh dari lokasi pemukiman masyarakat. Dengan cara ini, hubungan anak-anak dengan orangtuanya terputus dan mereka sepenuhnya bergantung kepada kami.”
Sebagaimana di negara-negara lainnya, para misionaris di Bangladesh menanamkan modal yang besar dalam bidang penerbitan buku-buku Kristiani. Lembaga-lembaga misionaris yang ada aktif menerjemahkan Injil ke bahasa Bengali dan mencetaknya dalam jumlah besar lalu menyebarkannya kepada masyarakatan secara gratis. Menurut catatan sebuah lembaga misionaris “Bangladesh Bible Society, pada tahun 1977 saja, dicetak sebanyak 2,055,757 naskah Injil Perjanjian Baru.
Metode lain yang digunakan para misionaris di Bangladesh adalah dengan menarik perhatian para perempuan. Untuk mencapai tujuan ini, beberapa lembaga didirikan, di antaranya pusat pendidikan Holy Cross yang menyebarluaskan propaganda kebebasan perempuan. Lembaga-lembaga ini bertujuan, kalaupun tidak berhasil mengkristenkan kaum perempuan Bangladesh, minimalnya, mereka bisa menyebarluaskan budaya Barat di tengah kaum perempuan.
Abdul Karim Khan, seorang penulis Bangladesh pernah menulis tentang aktivitas misionaris di negara itu. Dia menyatakan bahwa tujuan para misionaris adalah untuk mengubah Bangladesh menjadi negara seperti Nigeria, yang jumlah muslim dan Kristennya seimbang. Bila komposisi berimbang ini bisa dicapai, para misionaris bisa mempengaruhi percaturan politik Bangladesh. Abdul Karim Khan menulis sebagai berikut, “Pekerjaan para misionaris di Bangladesh sangat membahayakan bangsa. Mereka mengikis habis keimanan kaum muslim yang miskin serta menyebarkan ideologi politik dan kebudayaan Barat di Bangladesh. Tak boleh dilupakan bahwa pelindung para misionaris ini adalah negara-negara Eropa dan Amerika. Oleh karena itu, sebagian besar misionaris cenderung patuh kepada kepentingan negara-negara Barat. Inilah yang menjadi alasan bahwa dimanapun para misionaris melakukan aktivitasnya, maka negara itu pasti akan berada dalam bahaya.”
Bagian Keduapuluhsatu
(terakhir)
Berdasarkan tulisan di salah satu edisi dari majalah Times terbitan Amerika, misionaris yang dikirim ke negara-negara Islam antara tahun 1982 dan 2001, jumlahnya telah meningkat dua kali lipat. Biasanya, negara-negara yang mengalami pergolakan dan ketidakstabilan politik akibat perang internal, menjadi sasaran utama para misionaris tersebut. Afghanistan dan Irak, merupakan di antara negara-negara muslim yang mengalami ketidakstabilan politik dan menjadi lahan subur bagi para misionaris untuk melancarkan aktivitasnya.
Dalam tiga dekade terakhir ini, situasi politik dalam negeri Afghanistan telah memberi peluang kepada para misionaris untuk melancarkan gerakan Kristenisasinya di sana. Sebagaimana yang kita ketahui, selama bertahun-tahun peperangan antara Mujahidin Afghanistan melawan Tentara Merah Soviet, sebagian rakyat Afghanistan mengungsi ke Pakistan. Pada periode tersebut, para misionaris dengan berkedok organisasi pemberi bantuan internasional dari berbagai negara Eropa dan AS, berdatangan ke Pakistan. Mereka berusaha keras agar bisa mempengaruhi rakyat Afganistan dengan memanfaatkan kemiskinan dan ketidakberdayaan mereka. Ribuan naskah Injil dan buku-buku propaganda Kristen lainnya disebarkan di antara para pengungsi Afghanistan agar mereka tertarik kepada ajaran Kristen. Namun, aktivitas para misionaris itu tidak mencapai keberhasilan karena ikatan yang kuat antara rakyat Afghan dengan agama dan keyakinan mereka, serta usaha para ulama dan kelompok Mujahidin Afghanistan untuk memberikan penerangan kepada rakyat tentang tujuan para misionaris itu.
Dimulainya perang internal antara kelompok Mujahidin dengan kelompok Thaliban, yang berhasil menguasai pemerintahan di Afghanistan, menambah penderitaan rakyat. Kelompok Thaliban yang bersikap kasar dan keras sekaligus menerapkan politik yang kaku dan ketat atas nama Islam, telah membuat kehidupan rakyat Afghan sangat tertekan. Kesempatan ini digunakan para misionaris Barat untuk menyebarluaskan ajaran dan budaya Kristen, kembali dengan berkedok organisasi pemberi bantuan internasional. Menyusul adanya serangan dan pendudukan AS di Afghanistan, para misionaris semakin leluasa melakukan aktivitasnya karena mendapatkan perlindungan dari para tentara AS.
Perlu disebutkan pula, organisasi pemberi bantuan AS, biasanya terdiri dari kelompok-kelompok yang beraliran ekstrim Kristen-Zionis. Kelompok ini memiliki pengaruh besar di Gedung Putih dan merupakan pendukung politik konfrontatif AS, di antaranya invasi ke Irak dan Afghanistan. Menyusul invasi AS ke Irak, puluhan organisasi misionaris dengan berlindung di balik nama organisasi pemberi bantuan, telah dikirimkan ke Irak. Beberapa waktu yang lalu, harian "Independent" terbitan London menurunkan sebuah makalah karya Andrew Campbell. Ia menulis, "Delapan ratus orang misionaris Kristen dengan dalih menyebarkan bantuan makanan, telah berangkat ke Irak untuk menyebarluaskan ajaran Kristen. Kelompok ini berencana untuk membagi-bagikan Injil yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Mereka ini datang dari kelompok-kelompok Kristen yang sangat anti Islam."
Dengan kehadiran tentara AS di Irak, bukan hanya para misionaris yang mendapat kesempatan untuk beraktivitas di Irak. Orang-orang Yahudi pun tidak ketinggalan untuk berusaha menarik pendukung dari kalangan orang-orang Irak. Kelompok Yahudi ini berusaha menyebarluaskan pemikiran mereka dengan membagi-bagikan Taurat. Beberapa waktu yang lalu, beberapa media massa Turki melaporkan penahanan sekelompok orang oleh badan keamanan Turki di dekat perbatasan Turki dan Irak. Mereka saat itu tengah berusaha untuk membawa ribuan jilid Taurat ke Irak.
Usaha para misionaris Yahudi untuk menyebarluaskan Taurat di Irak ini bisa kita tinjau dari keyakinan mereka mengenai tanah yang dijanjikan Tuhan bagi orang-orang Yahudi. Dalam keyakinan mereka yang salah tersebut, Irak merupakan bagian dari tanah yang dijanjikan itu. Sebagaimana yang diberitakan, pemerintah AS berencana untuk membagi-bagi kawasan Irak dan mengubah kebudayaan kawasan utara Irak. Oleh karena itu, penyebaran Taurat memiliki peran dalam mencapai tujuan tersebut.
Masuknya para misionaris ke Afghanistan dan Irak, menyusul invasi AS ke kedua negara ini, merupakan sebuah fakta yang perlu dibahas lebih lanjut. Sebagaimana yang ditulis oleh majalah Time, dari tiap dua orang misionaris yang dikirim oleh Barat ke negara-negara muslim, salah satunya adalah warga negara AS. Mereka dengan berbagai cara berusaha untuk menarik perhatian rakyat miskin. Mereka memberikan obat-obatan kepada anak-anak dan menyediakan vaksin untuk hewan ternak. Mereka juga mengajak rakyat miskin itu untuk ikut serta dalam upacara doa Kristiani mereka. Semua itu dalam rangka mengubah kaum muslimin menjadi pemeluk Kristen.
________________________________________
Zionisme dan HAM
Bagian I
Saat ini penghormatan terhadap Hak-hak Asasi Manusia, masuk sebagai pokok-pokok utama yang juga sangat ditekankan didalam Piagam PBB dan Deklarasi Internasional HAM, Hak Kehidupan, Kemerdekaan, Keamanan, Kepemilikan, termasuk dasar-dasar utama Hak Asasi Manusia. Dari sini nampaknya dasar-dasar tersebut seharusnya dinyatakan sebagai fondasi hukum untuk pemeliharaan hak-hak Internasional. Akan tetapi walaupun dasar-dasar utama hak-hak asasi manusia, dan seluruh catatan-catatan politik telah dimuat disana, masih banyak kasus pelanggaran Hak-hak Asasi yang dapat disaksikan dengan jelas, yang terjadi didepan mata para pengaku pembela Hak Asasi Manusia tanpa memberikan reaksi sedikitpun terhadap semua itu.
Saat ini hak-hak rakyat muslim Palestina pendudukan, telah dilanggar dengan cara yang demikian itu. Penyiksaan, pembunuhan, penindasan dan pengusiran kaum muslimin dari kampung halaman mereka, perampasan dan pemanfaatan harta kekayaan dan tanah milik muslimin secara illegal, sejak perang bulan Juni 1967 hingga sekarang merupakan sebagian dari kasus-kasus nyata pelanggaran HAM oleh rezim zionis. Proses ini terutama setelah penandatanganan Perjajian Oslo, pada tanggal 13 September 1993 menjadi semakin memuncak. Menurut perjanjian yang diteken oleh PLO dan Rezim Zionis, masalah-masalah yang berkenaan dengan Baitul Maqdis, telah dilimpahkan keperundingan-perundingan tuntas untuk mencapai penyelesaian.
Akan tetapi pelimpahan masalah ini kepada perundingan-perundingan, ternyata mendatangkan hasil-hasil penting yang menguntungkan pihak zionis dan merugikan warga Palestina. Salah satu hasil penting peristiwa ini ialah bahwa delegasi-delegasi perwakilan politik baru Palestina dan pemerintahan otonomi, serta Dewan Pembentuk undang-undang Palestina, terhalang untuk memiliki segala bentuk perwakilan sehubungan dengan HAM di Baitul Maqdis. Hasil penting lain masalah ini ialah bahwa rezim zionis, dengan menggunakan kesempataan yang ada, melakukan perubahan-perubahan struktur sosial dan bangunan kota Baitul Maqdis ; yaitu dengan menjalani politik-politik yang sudah diatur rapi sebelumnya, rezim zionis berusaha mengusir warga Palestina dari bagian Timur Baitul Maqdis, dan menempatkan warga yahudi sebagai gantinya. Para pemimpin politik zionis pun dalam rangka mendukung rencana tersebut, memberlakukan aksi-aksi penumpasan dengan sangat hebat terhadap warga Palestina Baitul Maqdis. Didalam acara-acara yang akan kami sajikan untuk anda setiap Malam Selasa, kami akan sampaikan informasi-informasi yang lebih lengkap untuk anda, untuk itu langsung saja marilah kita ikuti sajian pertama kami ini .
Sebagaimana yang anda ketahui Hak-hak Asasi Manusia yang paling jelas dan yang paling alami, ialah bahwa setiap orang dapat hidup bebas dinegaranya sendiri, mereka bekerja, berusaha, sampai meninggal dengan tenang ditempatnya sendiri. Akan tetapi hari ini sudah hampir 50 tahun, dengan segala kekejaman Rezim Zionis telah merampas hak yang paling mendasar ini dari rakyat Palestina. Dengan merampas tanah air muslimin, dan menempatkan kaum yahudi ditanah tersebut, maka secara nyata rezim zionis telah melanggar ketetapan Jenewa, yang sudah dikenal sebagai salah satu dari dasar-dasar Hak-hak Asasi Manusia.
Didalam materi 49 ketetapan ke 4 Jenewa bulan Agustus 1949 disebutkan : kekuatan penjajah tidak berhak memindahkan sebagian dari warganya sendiri ketanah-tanah yang ia jajah, dan menempatkan mereka disana. Padahal langkah-langkah rezim zionis menunjukkan bahwa setelah Perang 6 hari pada tahun 1967, rezim zionis selalu melakukan perampasan-perampasan tanah muslimin dan mendirikan kawasan-kawasan pemukiman ditanah-tanah pendudukan secara terus menerus. Berdasarkan catatan yang ada dalam hal ini, sejak perang enam hari hingga sekarang, 60 % tanah-tanah ditepi barat sungai yordan, 30 % tanah-tanah dijalur Gaza, dan sebagian Baitul Maqdis Timur serta kawasan sekitarnya, telah dirampas oleh rezim zionis untuk mendirikan kawasan-kawasan pemukiman yahudi.
Politik semacam ini, dilaksanakan oleh rezim zionis dengan lebih serius lagi sejak penanda tanganan Perjanjian Oslo tanggal 13 September 1993. Dari situasi yang muncul di Baitul Maqdis, dapat kita simpulkan bahwa dikawasan dunia ini aksi-aksi pembersihan etnis sedang berlangsung. Hal ini merupakan sebuah penekanan lain akan adanya politik Resialisme Rezim Zionis, suatu politik yang merupakan dasar bagi seluruh kebijaksanaan dan penyusunan program rezim zionis. Akan tetapi sebagaimana yang disaksikan oleh penduduk dunia seluruhnya, Amerika dan Badan-badan yang selama ini mengaku sebagai pembela Hak-hak Asasi Manusia, menutup mata mereka rapat-rapat didepan pelanggaran-pelanggaran nyata, yang dilakukan dengan cara yang amat kejam terhadap Hak-hak Rakyat Muslim Palestina
Bagian II
Pendudukan Baitul Maqdis Timur oleh rezim Zionis adalah salah satu contoh nyata pelanggaran rezim ini terhadap hukum internasional. Rezim ini sejak lebih dari 50 tahun lalu, dengan cara yang sangat kejam berusaha mencaplok seluruh Baitul Maqdis Timur yang merupakan kawasan suci bagi ummat muslimin sedunia. Pada tahun 1967, rezim Zionis meratifikasi undang-undang penggabungan bagian timur Baitul Maqdis dengan beberapa kawasan di Tepi Barat kepada Israel.
Walikota Zionis di Baitul Maqdis memperoleh ijin untuk memperluas batas-batas kekuasaannya lebih besar daripada batas-batas yang telah ditentukan sebelumnya. Sebuah sumber Palestina menjelaskan, langkah-langkah rezim Zionis dalam hal ini sebagai berikut: Sejak tahun 1967 hingga sekarang, rezim Zionis telah merampas lebih luas dari 24 kilometer persegi, jadi sepertiga dari tanah Baitul Maqdis Timur, dan menjadikannya sebagai kawasan khusus untuk tempat tinggal warga yahudi. Padahal sebelumnya lebih dari 80 % kawasan ini adalah milik warga muslim Palestina.
Tentunya, rezim Zionis sedang berusaha agar di masa depan, akan dapat menguasai seluruh Baitul Maqdis. Perampasan tanah, penghancuran rumah-rumah, pembatalan surat-surat identitas dan berbagai cara lainnya yang telah diprogram, merupakan bagian dari aksi rezim Zionis yang mereka berlakukan terhadap penduduk bagian timur Baitul Maqdis. Dengan menerapkan politik-politik seperti ini, rezim Zionis sedang berusaha memperkuat cengkeraman warga Yahudi terhadap Baitul Maqdis, dan mencegah perkembangan jumlah penduduk muslimin dan nasrani. Dengan cara ini pula mereka akan memandulkan tuntutan-tuntutan masa depan warga Palestina berkenaan dengan bagian timur Baitul Maqdis.
Bukti-bukti tercatat mendukung pernyataan ini dengan sangat baik. Sesuai dengan data yang telah diumumkan, sejak tahun 1967 sampai 1993 penduduk warga Palestina menurun 144 % sementara jumlah penduduk warga Yahudi naik 105 %. Politik rasialisme rezim Zionis merupakan faktor utama pengusiran dan pengungsian sejumlah besar warga Palestina dari rumah-rumah dan kota-kota mereka. Salah satu politik rezim Zionis berkenaan dengan ini ialah pemaksaan terhadap warga Palestina untuk pindah dari Tepi Barat Baitul Maqdis ke kawasan-kawasan lain.
Dalam hal ini para pejabat rezim Zionis, menerapkan hukuman-hukuman berat kepada warga Palestina yang tidak memiliki ijin resmi tinggal di Baitul Maqdis. Berdasarkan aturan ini, keluarga Palestina yang sebagian anggota keluarganya berada di luar Baitul Maqdis, maka mereka samasekali tidak akan dapat bergabung untuk hidup bersama-sama di Baitul Maqdis. Jika mereka masih tetap ingin hidup bersama, maka mereka yang sebelumnya hidup di Baitul Maqdis harus keluar dan bergabung dengan anggota keluarganya yang lain. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 1993, jumlah warga Palestina yang terpaksa keluar meninggalkan rumah-rumah mereka, ialah sebagai berikut : sekitar 17 ribu warga Palestina penduduk bagian timur Baitul Maqdis telah keluar dari Palestina pendudukan. Sekitar 12 ribu warga Palestina terpaksa tinggal di luar kawasan Baitul Maqdis Timur. Dan sekitar 13 ribu orang terpaksa tinggal di luar kawasan Baitul Maqdis, yaitu di bagian utara ujung kota ini tanpa memperoleh fasilitas hidup yang paling mendasar sekalipun.
Selain itu untuk meningkatkan jumlah warga Zionis di Baitul Maqdis Timur, sebelum dimulainya perundingan-perundingan antara Israel dan PLO, sejumlah besar warga Palestina mereka paksa menerima kartu identitas Israel. Warga Palestina yang bersedia menerima kewarganegaraan Israel, akan menerima berbagai fasilitas hidup yang menyenangkan, seperti jaminan keamanan, kebebasan pulang pergi, bantuan kauangan, jaminan sosial, kesehatan, asuransi dan sebagainya. Akan tetapi sebagian besar warga Palestina menolak menerima kartu identitas sebagai warga Yahudi itu. Karena menerima hal itu berarti menyatakan kesetiaan terhadap rezim Zionis
Deklarasi HAM ayat 13:
setiap orang untuk bebas bergerak dan bertempat tinggal di dalam batas-batas negaranya sendiri.
Bukti-bukti historis menunjukkan bahwa dari segi sosial, budaya, dan geografis, Tepi Barat Sungai Jordan dan bagian timur Baitul Maqdis adalah sebuah kawasan yang satu. Akan tetapi bertentangan dengan undang-undang internasional, sekarang kawasan ini telah dibagi-bagi menjadi daerah-daerah yang lebih kecil oleh rezim Zionis. Dengan mendirikan banyak pos militer yang memeriksa setiap warga Palestina yang keluar-masuk di kota Baitul Maqdis, kebebasan bangsa Palestina di negerinya sendiri telah terampas. Sementara warga Zionis dengan sangat bebas dan tanpa pemeriksaan apapun, keluar-masuk dari Baitul Maqdis Timur ke segala pelosok Palestina. Tekanan seperti ini membuat jumlah warga Palestina di Baitul Maqdis Timur menjadi menurun drastis dan hal ini bertentangan dengan hukum-hukum internasional.
Selain itu peraturan-peraturan rezim Zionis yang mereka terapkan bagi keluarga-keluarga Palestina, juga merupakan contoh lain dari sikap-sikap tak manusiawinya rezim Zionis, yang dilaksanakan dengan tujuan mengurangi jumlah penduduk Palestina di Baitul Maqdis. Berdasarkan peraturan rezim ini, jika sepasang suami-istri Palestina ingin hidup di Baitul Maqdis Timur setelah pernikahan mereka, maka mereka harus mengajukan permohonan terlebih dahulu ke Kementerian Dalam Negeri rezim Zionis. Setelah mendapat persetujuan dari sana, maka barulah mereka dapat memulai kehidupan berkeluarga mereka di kota tersebut. Permohonan ijin tinggal di Baitul Maqdis ini harus diajukan oleh orang yang telah memiliki hak tinggal di Baitul Maqdis disertai dengan uang sebesar 150 dollar sebagai pajak.
Tentu saja peraturan yang demikian ini berlaku hanya bagi warga non-Yahudi, karena warga Zionis sendiri boleh bebas keluar pergi, di Baitul Maqdis. Dan jika ada warga Zionis yang ingin tinggal di kota ini, maka mereka akan segera memperoleh hak-hak lengkap sebagai penduduk kota tersebut. Komisi pengacara Inggris untuk membela hak-hak asasi warga Palestina di kota suci Baitul Maqdis, dan beberapa organisasi lain yang aktif di bidang hak-hak asasi bangsa Palestina, memperkirakan bahwa 10.000 keluarga Yahudi tengah menunggu ijin supaya dapat bergabung dengan keluarga mereka di kota Baitul Maqdis.
Saat ini, jumlah anak-anak Palestina yang masih belum terdaftar di Kementerian Dalam Negeri rezim Zionis, diperkirakan mencapai lebih dari 100.000. Artinya, lebih dari 100.000 anak Palestina sama sekali tidak mungkin dapat mendaftarkan diri di sekolah-sekolah kota Baitul Maqdis. Persoalan ini mengakibatkan banyak orang tua mengirimkan anak-anak mereka keluar dari Baitul Maqdis untuk bersekolah. Akan tetapi, anak-anak ini juga tidak berhak memperoleh pelayanan kesehatan di rumah-rumah sakit di Baitul Maqdis.
Oleh karena itu, jika seorang dari anak-anak itu sakit, maka orang tua mereka terpaksa mengirimkannya keluar kota untuk memperoleh pengobatan. Padahal seringkali terjadi, sebelum sempat di bawah ke rumah sakit di luar kota, atau di tengah jalan, anak-anak ini telah meninggal.
Politik dan kebijaksanaan rezim Zionis berkenaan dengan masalah keluarga Palestina ini, minimalnya bertentangan dengan undang-undang Internasional di dalam dua hal pokok ; pertama, rezim Zionis menganggap Baitul Maqdis sebagai bagian dari tanah negara mereka, padahal undang-undang Internasional menyatakannya sebagai tanah pendudukan, yang berarti masih berstatus milik warga Palestina sebagai bangsa yang terjajah. Kedua, dengan melaksanakan politik-politik yang tak berprikemanusiaannya rezim Zionis telah melanggar tiga hak asli berkenaan dengan keluarga Palestina, yaitu hak memperoleh perlindungan, hak keluar masuk ke mana saja yang mereka inginkan, dan hak anak memperoleh kartu identitas, dan hidup bersama kedua orang tuanya yang merupakan hak terpenting bagi seorang anak, yang ternyata juga telah dilanggar secara terang-terangan oleh rezim zionis
Deklarasi HAM ayat 26 :
setiap orang berhak untuk mendapatkan pendidikan
Salah satu di antara pelanggaran HAM yang dilakukan rezim Zionis di tanah pendudukan Palestina adalah menghalangi anak-anak Palestina untuk mendapatkan pendidikan. Para guru terpaksa datang setiap hari ke Baitul Maqdis dari kawasan-kawasan di luar kota ini untuk belajar dan mengajar. Tentu saja untuk masuk ke Baitul Maqdis, mereka terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari rezim Zionis dan setiap tiga bulan mereka harus mengajukan permohonan baru untuk memperoleh izin ini. Waktu sebagian besar para guru ini tersita hanya untuk memperoleh izin-izin yang dikeluarkan setelah proses yang rumit dan berbelit-belit ini.
Selain itu, setiap kali para pejabat keamanan rezim Zionis menyatakan sebuah kawasan sebagai kawasan tertutup militer, maka seluruh izin masuk tersebut menjadi gugur dengan sendirinya, dan untuk keluar masuk Baitul Maqdis, maka para guru tersebut harus mengajukan permohonan baru untuk memperoleh izin lagi. Hal ini menyebabkan banyak sekali sekolah-sekolah di Baitul Maqdis mengalami kekurangan tenaga pengajar, dan sama sekali tidak mampu mencetak kader di bidang ini. Bahkan beberapa sekolah terpaksa menutup pintu-pintunya dan menyatakan libur untuk selama-lamanya.
Salah satu contoh dalam hal ini ialah ketika sekolah San George yang terletak di sebuah kawasan di Baitul Maqdis, yang sejak kawasan tersebut dinyatakan sebagai kawasan tertutup, sekarang hanya 19 orang dari 40 tenaga pengajarnya yang masih mampu melanjutkan tugas mereka mengajar di sekolah ini.
Mahasiswa-mahasiswa Palestina juga menghadapi kesulitan-kesulitan yang sama. Sebagai contoh, Universitas Baitul Maqdis, walaupun tanah tempat berdirinya bangunan universitas ini berada di kawasan milik warga Palestina, akan tetapi hanya sepertiga dari 3.000 mahasiswa yang belajar di sana yang memiliki surat-surat identitas dan surat izin masuk ke kota ini. Sementara itu, dua pertiga mahasiswa lainnya datang dari kawasan-kawasan pendudukan yang lain. Mahasiswa yang ingin melanjutkan kuliahnya ke universitas ini harus memiliki surat-surat izin untuk belajar di Baitul Maqdis
Taktik lain yang dilakukan Zionis adalah dengan meminta kepada Dr.Sari Nasibeh, direktur Universitas Al-Quds agar bergabung dengan Dewan Pendidikan Tinggi Zionis, dengan iming-iming bahwa manajemen Universitas Al-Quds akan berada di bawah naungan manajemen rezim Zionis. Padahal, bila hal itu terjadi, maka praktis bagian timur Baitul Maqdis lokasi universitas ini, akan jatuh sepenuhnya ke tangan rezim zionis. Atau dengan kata lain, hal itu berarti pengakuan resmi terhadap penjajahan Zionis.
Akan tetapi, tawaran tersebut ditolak dan Universitas Al-Quds masih tetap di bawah manajemen Dewan Pendidikan Tinggi Palestina. Hal ini membuat para pejabat rezim Zionis melancarkan serangkaian aksi-aksi balas dendam terhadap Universitas ini. Di antara aksi-aksi tersebut, adalah penutupan halaman-halaman universitas ini dan tekanan-tekanan ekonomi. Dr. Nasibeh direktur Universitas Al-Quds berbicara tentang sebagian kesulitan ekonomi yang mengancam universitas ini, dengan mengatakan, “Lebih dari 26 % dari seluruh pendapatan warga Palestina pendudukan Baitul Maqdis diambil oleh pemerintah daerah, sementara hanya 5 % dari pelayanan umum yang masuk ke kawasan ini dapat dinikmati oleh warga Palestina.”
Ketika menjelaskan politik-politik rasialis rezim zionis Dr. Nasibeh mengatakan, “Perbedaan yang sangat mencolok dapat dilihat di bidang-bidang pelayanan umum yang diberikan kepada Universitas di Al-Khalil atau Hebron dan Universitas Al-Quds. Karena Universitas Al-Khalil memperoleh dukungan dan bantuan-bantuan yang sangat besar dari para pejabat rezim Zionis. Sementara, seluruh bangunan milik Universitas Al-Quds, demikian pula gedung-gedung asramanya, sudah sangat lama dan hampir roboh. Pemerintah daerah sama sekali tak pernah membantu yayasan pendidikan tinggi ini. Sedangkan universitas ini samasekali tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perbaikan-perbaikan bahkan melalui modal-modal yang ditanamkan oleh pihak-pihak swasta sekalipun. Karena sesuai dengan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh rezim Zionis, renovasi, pembangunan dan perluasan gedung adalah hal yang tak terlarang bagi warga Palestina.
Tak diragukan lagi, tujuan para pejabat rezim Zionis dengan langkah-langkah mereka terhadap yayasan pendidikan Palestina, ialah untuk menutupnya selama-lamanya, atau memaksa mereka untuk memilih satu di antara jalan-jalan penyelesaian yang ada, yaitu meninggalkan sepenuhnya kota Baitul Maqdis atau memasukkan diri ke bawah naungan rezim Zionis. Keinginan Zionis ini jelas bertentangan dengan seluruh peraturan dan hukum-hukum internasional, serta dasar-dasar hak asasi manusia.
Bagian V
Zionis juga melanggar hak-hak asasi manusia di Palestina yang berkenaan dengan hak untuk mencari pekerjaan dan penghasilan. Pada tahun 1967, rezim Zionis meratifikasi undang-undang penggabungan bagian timur Baitul Maqdis dan sebagian kawasan Tepi Barat ke dalam wilayah kekuasaan Israel. Hingga tahun 1991, rezim ini mengizinkan warga Palestina penduduk Tepi Barat dan Jalur Gaza untuk lalu-lalang di kawasan-kawasan mereka dan seluruh kawasan Palestina pendudukan. Tetapi sejak tahun tersebut, Israel memberlakukan sistem yang rumit dan sulit untuk memperoleh izin lalu-lintas sehingga kebebasan tersebut berakhir. Warga Palestina kini dilarang masuk ke bagian timur Baitul Maqdis tanpa memiliki surat izin masuk dari Kementerian Dalam Negeri Zionis.
Pemberlakuan sistem semacam ini oleh rezim Zionis memberikan pukulan berat bagi perekonomian Palestina dan menyebabkan terhentinya transportasi barang dan tenaga kerja. Akibatnya, terjadi kelumpuhan perdagangan dan stagnasi produksi di kawasan-kawasan Palestina. Ribuan kesempatan kerja bagi warga Palestina juga hilang.
Undang-undang yang mengharuskan warga Palestina memperoleh surat-surat izin untuk berdagang dan lalu-lalang, juga berlaku bagi para pemandu pariwisata warga Palestina. Mereka yang bekerja di Baitul Maqdis Timur dan sekitarnya, berkewajiban mendapatkan surat-surat izin dari Kementerian Pariwisata rezim Zionis, terutama di kota Al-Khalil yang juga disebut Hebron. Para pemandu pariwisata ini selain harus memiliki bukti sehat jiwa, juga harus menunjukkan surat yang membuktikan tak pernah terlibat aksi-aksi kerusuhan.
Di dalam pertemuan penelitian yang akhir-akhir ini diadakan oleh komisi para Advokat Inggris untuk hak-hak asasi manusia warga Palestina di Al-Quds dan Asosiasi para pemilik hotel Arab, diketahui bahwa jumlah pemandu pariwisata warga Palestina di Baitul Maqdis hanya empat orang. Padahal pengembangan industri parawisata, merupakan salah satu tujuan yang paling utama dalam politik rezim Zionis. Memperhatikan masalah ini dan dengan memperhatikan pernyataan-pernyataan Mosye Dayan mantan perdana menteri rezim Zionis, yang mengatakan, “Saya bersedia menempatkan seorang warga Palestina sebagai pilot pesawat-pesawat Panthom Israel, akan tetapi mereka tidak boleh aktif di dalam industri pariwisata Baitul Maqdis”, kita yakin bahwa sedikitnya jumlah pemandu wisata warga Palestina, bukanlah persoalan yang muncul secara kebetulan, melainkan sesuatu yang sudah diperhitungkan dengan teliti.
Dalam hal ini, salah seorang pemilik hotel warga Palestina berkata, “Jika seorang wisatawan memilih tinggal di hotel milik orang Zionis, maka ia akan ditakuti-takuti agar jangan sekali-kali mempertaruhkan jiwanya dengan pergi ke daerah-daerah tempat warga Arab.”
Semua fakta yang telah kami uraikan dari bagian pertama hingga kelima ini, masih tidak termasuk pelanggaran HAM yang berkaitan dengan hak untuk hidup. Hingga kini, jutaan rakyat Palestina terbunuh atau terusir dari tanah kelahiran mereka. Setiap hari tentara Zionis menembaki warga Palestina dan menghancurkan rumah-rumah mereka. Sementara itu, warga Palestina melawan kekejaman rezim itu hanya berbekalkan batu karena akses mereka untuk memperoleh senjata telah ditutup. Semua perilaku keji bangsa Zionis jelas bertentangan dengan deklarasi HAM menyebutkan:
Ayat 1: semua umat manusia terlahir dalam keadaan bebas dan setara dalam kehormatan dan hak-hak. ….Mereka harus bertindak terhadap sesama manusia dalam semangat persaudaraan.
Ayat 3: semua orang berhak untuk hidup, merdeka, dan aman.
Ayat 5: Tidak ada orang yang boleh disiksa atau diperlakukann secara tidak berperikemanusiaan.
Ayat 9: Tidak ada orang yang boleh menjadi subjek penangkapan secara arbitrer, penahanan, atau pembuangan.
________________________________________
Mitos Zionisme
Bagian I
Istilah opini umum memiliki beberapa definisi tersendiri namun secara keseluruhan, opini umum adalah penilaian-penilaian kolektif yang dimiliki oleh individu-individu sebuah masyarakat mengenai suatu topik ataupun fenomena tertentu. Namun dewasa ini, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi adanya opini umum. Sebagai contoh, opini umum masyarakat dapat diubah atau dihancurkan dengan memanfaatkan berbagai sarana seperti, media massa. Cara pemutarbalikan opini umum sedemikian canggihnya, sehingga sebagian masyarakat tidak menyadari, apa yang telah terjadi pada diri mereka.
Di antara contoh-contoh gamblang dari pengelabuan opini umum melalui propaganda adalah gambaran-gambaran yang diberikan oleh orang-orang Zionis serta pendukung mereka, tentang masa silam kaum Yahudi. Dalam opini umum, bangsa Yahudi adalah sebuah bangsa yang terusir dari semua tempat, tertindas, dan tidak memiliki perlindungan dan tanah air. Israel adalah satu-satunya tempat berlindung bagi kaum Yahudi dan zionisme dikenalkan sebagai satu ideologi yang mau tidak mau harus diterima oleh orang-orang Yahudi.
Gambaran seperti ini telah sedemikian jauh mempengaruh masyarakat dunia, khususnya, opini umum masyarakat Eropa, sampai-sampai dalam undang-undang resmi negara seperti Prancis yang dikenal sebagai anti rasialisme, membuat satu pasal khusus bagi membela orang-orang Yahudi. Penisbatan kesatuan ras kepada orang-orang Yahudi yang hidup terpencar dan terpisah-pisah di antara berbagai bangsa, dan pemisahan mereka dengan ras-ras yang lain, adalah buah hasil propaganda-propaganda rasialis yang dilakukan oleh para pendiri Zionisme dari satu sisi, dan dari arah lain oleh sebagian orang yang anti Semit dengan tujuan memisahkan orang-orang Yahudi dengan bangsa-bangsa lain.
Berlandaskan atas pemikiran inilah, Theodore Hirtzl pada tahun 1896 menulis Buku “Negara Yahudi”, dan membuat dasar-dasar umum pembentukan Rezim Zionis agar terlahir sebuah negara khusus untuk orang-orang Yahudi. Akan tetapi, sewaktu ide dan inisiatif Theodore Hirtzl ini dikemukakan, sampai saat itu orang-orang Zionis belum mengincar wilayah tertentu guna mendirikan tanah air atau Father Land bagi kaum Yahudi. Dan bahkan Binsker, seorang penulis Yahudi asal Rusia, dalam bukunya menginisiatifkan pendirian Negara Yahudi di Amerika atau Afrika Selatan.
Hancurnya Imperium Ustmaniah pasca Perang Dunia Pertama dan diserahkannya pengaturan wilayah Palestina kepada Inggris, telah menyebabkan negara penjajah ini mengekalkan dominasi di wilayah strategi Timur Tengah dan negara-negara Islam. Inggris kemudian menjadikan pembentukan negara merdeka Yahudi di bumi Palestina sebagai agenda utama politik luar negerinya. Namun dalam tahap pertama, dikarenakan orang-orang Yahudi dunia menolak pemikiran Zionisme dan penarikan orang-orang Yahudi dari tengah-tengah Bangsa lain, keinginan Inggris itu tidak terlaksana.
Namun kekejian-kekejian Hitler terhadap ummat manusia, termasuk terhadap orang-orang Yahudi dan kebenciannya terhadap ras selain rasnya sendiri, yaitu ras Arya, memberi alasan terbaik bagi para tokoh Zionis dalam pendirian sebuah pemerintahan Yahudi. Dalam hal ini, agen-agen propaganda profesional yang beraliansi dengan Zionisme memulai usaha luas, untuk membesar-besarkan angka orang-orang Yahudi yang menjadi korban Hitler.
Dengan cara melipat gandakan, entah beberapa ratus kali, jumlah orang-orang Yahudi yang menjadi korban keganasan tentara Nazi, dan menampilkan orang-orang Yahudi sebagai kaum yang tertindas, mereka berupaya merealisasikan sebagian besar dari mimpi-mimpi mereka yaitu mengumpulkan orang-orang Yahudi yang terpencar-pencar diberbagai negara ke Bumi Palestina. Sampai dewasa inipun, Rezim Zionis menggunakan masalah ketertindasan orang-orang Yahudi dalam Perang Dunia II, sebagai alat untuk mendapatkan ganti rugi. Dan masalah inipun juga digunakan sebagai senjata untuk menyangkal siapa saja yang menentang garis kebijaksanaan Rezim Zionis.
Disebabkan oleh hiruk-pikuk propaganda mengenai orang-orang Yahudi yang terbunuh, dewasa ini jutaan korban Perang Dunia Kedua, yang terdiri dari berbagai ras, bangsa, dan negara telah disepelekan atau dilupakan, padahal rezim Zionis dengan alasan pembantaian massal terhadap bangsa mereka dan terlantarnya orang-orang Yahudi, masih tetap melakukan tekanan-tekanan terhadap negara-negara Barat dan Amerika serta meminta ganti-rugi dari mereka.
Sementara kajian-kajian yang dilakukan oleh para peneliti independen di tahun-tahun belakangan ini, membuktikan ketidak-benaran klaim-klaim orang-orang Zionis tentang jumlah orang Yahudi yang menjadi korban dalam PD II. Frederick Toben, seorang sejarawan Australia, dan direktur yayasan penelitian Adelaide adalah di antara para peneliti yang meragukan tentang kebenaran jumlah korban Yahudi di penjara Auschwitz oleh Nazi di Jerman. Yayasan yang dipimpin oleh Toben dalam situs jaringan internetnya, mempertanyakan kebenaran klaim pembantaian massal terhadap orang-orang Yahudi dan penangkapan 6 juta lebih orang Yahudi oleh pasukan Nazi pada tahun-tahun 1941 – 1945. Lantaran pengumuman atas hasil-hasil penelitiannya itu, sekembalinya dari penjara Auschwitz, Toben ditangkap dan dipenjarakan oleh pejabat tinggi kehakiman Jerman.
Ludwick Buch, pengacara Toben dalam wawancara dengan IRIB mengatakan, “Pemerintah Jerman menangkap Ferdrick Toben dikarenakan ia mengungkapkan fakta-fakta berkaitan dengan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi pada PD II dan juga dengan alasan bahwa Toben telah melakukan tindakan-tindakan provokatif dan penyelewengan.” Pengacara Toben sambil menyatakan bahwa di Jerman segala bentuk pendapat dan pandangan yang bertentangan dengan pembantaian massal tentara Nazi terhadap orang-orang Yahudi, akan ditindak secara hukum. Ia menambahkan, “Pembantaian tersebut, dan sebesar mana jumlah orang Yahudi yang terbunuh, mendapat perhatian para sejarawan dan ahli penelitian dunia dan dewasa ini terdapat banyak fakta yang membuktikan kebohongan adanya 6 juta orang yahudi yang terbunuh.”
Fakta lainnya menunjukkan bahwa para pakar kimia menemukan bahwa tempat-tempat yang digembar-gemborkan kepada masyarakat sebagai tungku pembakaran manusia, dengan menggunakan gas di era Hitler samasekali tidak dapat digunakan sebagai tungku pemanggangan manusia, karena berbagai percobaan dan ujian yang telah dilakukan terhadap contoh-contoh yang telah diambil tidak menunjukkan kebenaran hal tersebut.
Pengacara Ferdrick Toben dalam lanjutan pernyataannya mengatakan, “Adanya larangan-larangan dan alasan yang dibuat-buat, yang diberlakukan terhadap para peneliti agar tidak mengungkap fakta-fakta sejarah tentang kebohongan pembantaian massal terhadap kaum Yahudi, merupakan sebuah gerakan yang dilakukan oleh orang-orang Zionis.”
Bagian II
Roger Garaudy dalam bukunya The Founding Myths of Israeli Politics juga menuliskan fakta serupa, yaitu bahwa segala kisah tentang pembunuhan kaum Yahudi oleh Nazi dalam jumlah besar, yaitu enam juta orang, adalah isapan jempol belaka dan bahkan Yahudi dan Nazi bekerja sama untuk menciptakan kisah tragedi bangsa Yahudi untuk menarik simpati dunia agar menyetujui dibentuknya negara Israel.
Namun, sebagai catatan di sini, Roger Garaudy tidak menolak dan membantah bahwa memang ada orang-orang Yahudi terbunuh, dengan terlebih dahulu mengalami penyiksaan. Dengan berpijak kepada dokumen-dokumen dan hasil berbagai kajian dan riset, Garaudy sampai pada kesimpulan bahwa jumlah orang-orang Yahudi yang terbunuh jauh lebih sedikit daripada jumlah yang diumumkan oleh rezim Zionis.
Garaudy dalam pidatonya yang belum lama ini disampaikan di kantor pengkajian politik internasional Kementerian Luar Negeri Iran, mengatakan, “Dalam buku saya, dengan berlandaskan pada tulisan-tulisan sejumlah besar cendikiawan dunia, termasuk penulis Rusia dan bahkan Yahudi, saya berhasil membuktikan bahwa jumlah orang Yahudi yang terbunuh dalam Perang Dunia II oleh tentara Nazi, kira-kira satu setengah hingga dua juta orang. Sedang pernyataan bahwa enam juta yang terbunuh, adalah tidak lebih dari membesar-besarkan saja, malahan boleh disebut sebagai tindakan Apartheid atau rasialis.”
Di sepanjang sejarah Perang Dunia II, puluhan juta orang terbunuh di seantero dunia, namun dewasa ini yang dibicarakan hanyalah korban Yahudi, itupun dengan membesar-besarkan jumlah mereka. Cendekiawan Prancis ini memandang penulisan sejarah yang berlebihan dan jauh dari kebenaran, berkaitan dengan kekejian Hitler terhadap orang-orang Yahudi semata-mata untuk melegitimasi pendirian rezim Zionis.
Atas bukunya itu, Garaudy dipenjara dan dijatuhi denda 40.000 dolar oleh pengadilan Paris. Roger Garaudy diadili berdasarkan undang-undang “Gayssot-Fabius Law” yang melindungi orang-orang Yahudi. Berdasarkan undang-undang ini, setiap tindakan yang mengecilkan kekejian tentara Nazi Jerman terhadap kaum Yahudi, dikatagorikan sebagai kekejian anti kemanusiaan.
Jelas sekali, peran orang-orang Zionis dalam lahirnya UU semacam ini di negara Prancis tak dapat dipungkiri. Furisun (?), seorang dosen Universitas Prancis dalam wawancara dengan IRIB berkenaan dengan UU ini mengatakan, “Fabius adalah Ketua Parlemen Rakyat Prancis yang merupakan pencetus pengesahan undang-undang “Gayssot-Fabius”. Peraturan ini akan menekan orang-orang yang berusaha meragukan jumlah orang Yahudi yang terkorbankan dalam Perang Dunia II. Lantaran dukungannya terhadap orang-orang Zionis, Fabius terkenal dan menjadi tokoh kenamaan. Dan kendati ada larangan bagi kegiatan kelompok-kelompok bersenjata di Prancis, akan tetapi pasukan bersenjata zionis yang dijuluki kelompok Tabar, memperoleh ijin melakukan kegiatan. Saya sendiri pada tahun 1998 menyaksikan kegiatan kelompok ini di sidang pengadilan Roger Gharudi. Orang-orang Zionis dalam sidang ini, melakukan kekerasan berupa pemukulan terhadap orang-orang Iran.”
Di Perancis, selain Roger Garaudy, Jean Marie Le Pen, Ketua Partai Nasionalis Perancis juga merupakan di antara orang-orang yang menjadi korban lobi Zionis dalam birokrasi pengadilan negara ini. Le Pen dalam sebuah pidatonya di kota Munich, menyatakan bahwa kisah mengenai kamar-kamar gas di era pemerintahan Nazi yang menyebabkan terbunuhnya hampir 6 juta orang Yahudi hanyalah sebuah bagian kecil dalam sejarah Perang Dunia Kedua. Akibat pernyataannya ini, Le Pen dijatuhi hukuman oleh pengadilan Munich dengan tuduhan melakukan provokasi rasialis dan dikenakan hukuman berupa denda sebesar satu setengah juta Frank. Sebelum itu, Le Pen juga pernah dijatuhi hukuman karena mengeluarkan pendapat tentang masyarakat Yahudi di Perancis.
Tindakan keras yang ditunjukkan oleh Zionis itu menunjukkan betapa dalamnya kekhawatiran mereka atas terungkapnya hasil-hasil kajian mengenai tragedi pembantaian orang-orang Yahudi dalam PD II. Dengan berbagai upaya yang luas di berbagai negara, mereka berusaha untuk menghalangi dan mencegah terungkapnya kenyataan yang sesungguhnya mengenai pembantaian enam juta orang Yahudi di kamar-kamar gas Nazi. Bila tidak demikian, kemungkinan akan semakin banyak lagi kebohongan Zionis yang akan terungkap dan opini umum masyarakat dunia akan lebih keras mengutuk kekejian anti kemanusiaan yang dilakukan rezim ini di Bumi Pendudukan Palestina.
Bagian III
Dalam Perang Dunia II ada sekitar 60 juta korban yang jatuh di seluruh dunia, dari berbagai bangsa dan ras. Namun, dengan kelihaian politik propagandanya, Rezim Zionis berhasil mengalihkan opini umum kepada kisah pembantaian massal orang-orang Yahudi saja. Orang-orang Zionis bahkan tak henti-hentinya menekan negara-negara Barat untuk meminta ganti rugi dari mereka. Dikabarkan, pada dekade 1960-an, dari Jerman saja, Zionis sudah mengeruk uang ganti rugi sebesar 11 milyar dollar. Padahal, dewasa ini banyak sekali bukti yang menunjukkan bahwa klain 6 juta Yahudi terbunuh oleh Nazi adalah bohong belaka.
Andrew Shellen seorang pengkaji dan ahli sejarah Prancis, merupakan di antara cendekiawan yang berhasil membuktikan kebohongan rezim Zionis mengenai pembantaian massal yang dilakukan oleh pasukan Nazi yang terkenal dengan nama Holocaust, melalui kajian-kajiannya. Dalam sebuah wawancara dengan IRIB, ia mengatakan, “Jumlah 6 juta orang Yahudi terbunuh di dalam Perang Dunia II merupakan satu jumlah yang emosional. Mayoritas ahli sejarah, termasuk Jean Claude Pressac –salah satu bukunya berjudul “The Crematories of Auschwitz”—menilai bahwa orang Yahudi yang terbunuh dalam PD II tidak lebih dari satu juta orang. Dewasa ini, jumlah yang dikemukakan oleh para penulis mengenai korban Holocaust adalah antara 350 hingga 700 ribu orang.
Shellen dalam lanjutan wawancaranya mengatakan, “Banyak sekali orang yang terbunuh dalam Perang Dunia II ini dan banyak sekali orang-orang yang tak berdosa diasingkan. Sebagai contoh, orang-orang Jepang, Jerman, dan Italia telah dikeluarkan dan diusir dari Amerika. Warga Jerman yang hidup di sekitar sungai Volga diasingkan dalam kondisi yang sangat parah oleh Rusia. Lalu orang-orang Jerman juga mengasingkan semua orang Yahudi. Mereka memang mengalami nasib yang sangat buruk, namun tak dapat dikatakan bahwa hanya orang-orang Yahudi saja yang menjadi korban dalam perang ini.
Sementara orang-orang Zionis berbicara mengenai kezaliman-kezaliman yang dilakukan oleh tentara Nazi terhadap mereka, bukti-bukti sejarah justru menunjukkan bahwa orang-orang Zionis memiliki banyak keserupaan dan persamaan visi. Di antaranya, orang-orang Zionis juga menyimpan mimpi di kepala mereka untuk mewujudkaan sebuah dunia rasialis. Menurut Andrew Shellen, di era Nazi, surat kabar-surat kabar Zionis memandang baik perluasan rasialisme oleh orang-orang Nazi karena dari segi undang-undang, orang-orang Yahudi Jerman dirangsang untuk pindah ke Palestina. Orang-orang Nazi juga mendukung Zionis dalam segi militer. Sebelum meletusnya perang, mereka mengirim persenjataan ke Palestina dan memberi bantuan melalui jalur-jalur lainnya, hingga tahun 1942. Agen-agen intelejen Inggris juga pernah merekam percakapan tokoh Zionis dan Nazi yang membuktikan adanya perundingan di antara orang-orang Nazi dan Zionis.
Hakekat ini juga dikonfirmasikan oleh David Smith, seorang pengamat dari Australia. Dalam wawancaranya dengan IRIB, ia mengatakan, “Dewasa ini telah diinstruksikan kepada kedutaan-kedutaan besar Jerman, agar tidak memberi data dan jumlah orang-orang yang telah ditangkap dan dituduh telah melakukan propaganda anti Yahudi kepada siapapun. Kendati para sejarahwan Eropa mengetahui kebohongan-kebohongan Zionis, namun mereka tidak diijinkan untuk mengeksposnya karena ada kemungkinan mereka dipenjarakan. Bahkan orang-orang Zionis berupaya memanfaatkan komisi HAM untuk kepentingan mereka.”
Zionis dengan membesar-besarkan tragedy Holocaust berusaha mencari simpati opini umum agar mereka dapat mencapai tujuan-tujuan mereka, termasuk di antaranya bantuan keuangan dari negara-negara Barat. Informasi-informasi yang tersebar menunjukkan realita ini dengan jelas. Sebagai contoh, jumlah bantuan luar negeri untuk Israel dari Amerika Serikat saja, mencapai 750 dolar per kepala, artinya dua kali lipat dari jumlah bantuan AS untuk negara-negara Afrika per kapita. Dengan demikian jelas sekali bahwa, kendati ada bukti-bukti yang menunjukkan kebohongan klaim orang-orang Zionis, upaya propaganda mereka mengenai mitos-mitos pembantaian terhadap bangsa Yahudi masih terus berlangsung dan masih mencapai sasaran
________________________________________
Infiltrasi Zionisme di AS
Bagian I
Sudah sejak lama dunia menyaksikan konsolidasi AS dan Rezim Zionis, serta dukungan Gedung Putih kepada Zionisme dalam memperkuat kekuasaan Israel di kawasan Timur Tengah. Pembunuhan warga Palestina, instabilitas di Suriah dan Lebanon, perluasaan gudang senjata nuklir Israel, dan masalah-masalah lainnya adalah hasil persekongkolan Washington-Tel Aviv yang membahayakan situasi di kawasan.
Zionisme yang merupakan sebuah gerakan politik itu, mengumumkan eksistensinya pada tahun 1897. Bersamaan dengan dimulainya perang dunia pertama, keterkaitan kepentingan kekuatan-kekuatan besar dunia dengan gerakan Zionisme menjadi pemicu penandatangan deklarasi Balfour yang berujung dengan terbentuknya rezim ilegal Zionis di tanah Palestina. Tepatnya tanggal 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris yang waktu dijabat oleh Arthur James Balfour, mengeluarkan pernyataan yang berisi keterangan mengenai pembentukan “tanah air bangsa Yahudi” di Palestina. Kebanyakan para pemimpin Zionis saat itu adalah orang-orang liberal yang tidak mempercayai agama Yahudi. Mereka pada awalnya tidak memandang Palestina sebagai negeri yang akan menjadi milik orang-orang Yahudi.
Untuk pertama kalinya masalah pembentukan negara Zionis diketengahkan oleh negara-negara kolonialis Eropa. Pembentukan negara Zionis di tanah Palestina itu dimaksudkan untuk menjaga kepentingan negara-negara Eropa di kawasan strategis Timur Tengah. Palestina yang terletak di pusat pemerintahan Ottoman serata dekat dengan Mediteranian dan terusan Suez, merupakan kawasan penting untuk Eropa. Dalam hal ini seorang kritikus besar Yahudi anti Zionis, Moshe Manuhin mengatakan, “Hingga abad 19 tidak ada yang namanya Zionisme. Kesombongan Eropa-lah yang menciptakan politik nasionalisme pembawa bencana dan kekonyolan untuk orang-orang Yahudi, dengan nama Zionisme. Seandainya Zionisme tidak ada, pemerintah Inggris pasti akan menciptakan gerakan seperti ini.”
Ada beberapa faktor yang mendorong Zionisme menyatakan eksistensinya di dunia. Faktor tersebut adalah runtuhnya pemerintahan Ottoman di Turki, pecahnya perang dunia pertama, serta pro dan kontra kepentingan Eropa. Di awal abad 20 pemerintah Inggris sudah menyiapkan pembentukan negara Zionis di tanah air bangsa Palestina. Jelas bahwa Inggris tidak dapat menerima kehadiran kekuatan lain di kawasan Timur Tegah yang berada di bawah kekuasaanya. Inggris berpikir untuk tetap menjaga kepentingannya di kawasan. Dengan alasan inilah, Inggris mengijinkan orang-orang Yahudi untuk berimigrasi dan tinggal di Palestina, yang untuk selanjutnya dimanfaatkan membentuk negara Yahudi di sana. Dengan demikian, Inggris berharap bisa memperkuat kekuasaannya di dunia Arab.
Setelah tiga dekade berlalu dari pendudukan Inggris atas Palestina, seluruh infrastuktur Palestina dihancurkan oleh gerakan Zionis dan diubah menjadi pusat-pusat perekonomian, budaya, dan politik Zionis. Setelah 30 tahun berlalu, masa keemasan hubungan Zionis dan pemerintah Inggris berakhir bersamaan dengan dimulainya perang dunia kedua serta kebangkitan rakyat Palestina melawan Zionisme dan Inggris. London yang merasa kepentingannya terancam mengambil kebijakan yang berbeda dengan gerakan Zionis dengan tujuan untuk menjaga hubungan dengan dunia Arab. Hasilnya adalah, gerakan Zionisme harus berhadapan dengan Inggris.
Yang menarik adalah, orang-orang Eropa pendukung Zionisme sendiri menyadari bahwa dalam sejarah tidak ada bukti-bukti hak kepemilikan kaum Yahudi atas negeri Palestina. Pada tahun 1920, para bangsawan Inggris yang bergelar Lord terlibat pembahasan sengit menyangkut penguasaan Inggris atas Palestina dan deklarasi Balfour. Salah seorang bangsawan Inggris bernama Lord Sydenham mengatakan, “Palestina bukan negeri orang-orang Yahudi. Akan tetapi orang-orang Yahudi merampasnya setelah sebelumnya melakukan pembunuhan terhadap warga Palestina. Jika orang-orang Yahudi dapat memiliki Palestina, orang-orang Romawi juga bisa mengklaim kepemilikan mereka atas Inggris”.
Namun dengan pecahnya perang dunia kedua, AS muncul sebagai kekuatan baru di kancah politik dunia internasional dan kawasan Timteng. Dari satu sisi, kekuatan militer dan keuangan AS, dan dari sisi lain, pengaruh orang-orang Zionis dalam pemerintahan AS merupakan dua faktor yang mendorong gerakan Zionisme bernaung di bawah payung AS dan melawan Inggris. Hal ini ditambah lagi dengan ketamakan imperialis AS yang akhirnya menjadikan gerakan Zionisme sebagai sekutunya di kawasan Timur Tengah. Khususnya pada tahun 1930 saat Washington mengincar sumber-sumber minyak di Arab Saudi dan Teluk Persia. Saat itulah AS menandatangani berbagai kontrak penting dengan para pemimpin negara-negara Arab untuk mengeksploitasi minyak di kawasan. Di sisi lain, AS juga memandang kawasan Timur Tengah khususnya negara-negara Arab sebagai pasar yang sangat menjanjikan untuk konsumsi barang-barang produksi AS. Beranjak dari sini, ketika diadakan konferensi Zionis di hotel Bilt More, New York, pada tahun 1942, pemerintah Washington menyatakan dukungannya kepada pembentukan negara Yahudi di Palestina.
Kekuatan Inggris pada saat itu sudah sangat lemah akibat perang dunia kedua. Inggris tidak lagi mampu menyatukan sekutu-sekutunya untuk menghadapi tekanan Amerika Serikat. Untuk itu, pada tahun 1948, pemerintah Inggris secara resmi mengakhiri masa pendudukannya selama 30 tahun atas negeri Palestina. Selanjutnya, masalah Palestina dilimpahkan kepada Perserikatan Bangsa-bangsa yang saat itu masih seumur jagung. Sayangnya, PBB yang banyak dipengaruhi oleg kekuatan-kekuatan imperialis dunia semisal AS mengeluarkan keputusan yang bertolak belakang dengan tuntutan dan kemauan rakyat Palestina dan bangsa Arab, dengan membagi negeri Palestina menjadi dua bagian, Palestina dan Yahudi pada tanggal 29 November 1947.
Keputusan yang disahkan oleh Majleis Umum PBB itu ditindaklanjuti oleh orang-orang Zionis untuk mengumumkan pembentukan rezim dengan nama Israel pada tanggal 14 Mei tahun 1948. Pembentukan rezim tak legal dengan dukungan AS ini, diumumkan hanya selang beberapa jam setelah Inggris secara resmi keluar dari Palestina. Sejak itulah, kaum Zionis mengusai sebagian besar wilayah negeri Palestina.
Bagian II
Infiltrasi dan kekuasaan zionisme di berbagai struktur pemerintahan AS, termasuk di jantung gedung putih, adalah masalah yang berkali-kali dibicarakan di lembaga-lembaga politik dunia. Kekuasaan atas media massa, struktur politik, militer dan sosial di AS, dan pada akhirnya infiltrasi serta kekuasaan zionisme di dalam sistem perekonomian AS, adalah sesuatu yang selalu muncul di dunia sebagai faktor saling pengaruh-mempengaruhi antara AS dan rezim zionis. David Luchins, wakil ketua Asosiasi Kerjasama Yahudi Ortodoks AS, dalam hal ini berkata, “Kami bukan sebagai kelompok minoritas, tetapi bagian dari mayoritas dimana segala sesuatu yang kami inginkan, pasti akan berlaku.”
Oleh sebab itulah, dengan mempelajari sejarah 55 tahun pendudukan Palestina dan deklarasi keberadaan ilegal rezim zionis, kita lihat bahwa semua presiden AS tanpa terkecuali, pasti melakukan pertemuan dan dialog dengan para pemimpin Yahudi dan pemimpin Israel. Dokumen-dokumen terpercaya juga menunjukkan bahwa pertahunnya 1/5 dari seluruh bantuan luar negeri AS diberikan kepada rezim zionis. Selain itu, berbagai kedutaan dam konsulat luar negeri AS selalu memiliki diplomat-diplomat yang bertugas mempelajari berbagai jalan perluasan hubungan dengan warga Yahudi Amerika, dalam rangka menjaga interes negara mereka. Di kalangan para diplomat asing, beredar pemeo terkenal sebagai berikut; “Jika Anda ingin memperoleh mediator yang handal di AS untuk menyelesaikan kesulitan-kesulitan negara Anda, maka Anda dapat memanfaatkan pengaruh warga Yahudi Amerika.”
Akan tetapi siapakah tokoh-tokoh Yahudi dan bagaimana sejarah kehadiran mereka di dalam berbagai struktur pemerintahan AS? Jawabannya ialah sebagaimana tercatat dalam sejarah sebagai berikut:
Di awal abad ke-20 di tahun 1916, Loise de Brandis, diutus oleh kader kepemimpinan zionisme di Eropa untuk menarik dukungan warga Yahudi Amerika. Idenya untuk memperkenalkan zionisme bukan sebagai sebuah gerakan nasionalis, akan tetapi sebagai gerakan pencari jalan keluar untuk menyelamatkan bangsa Yahudi, membuat para pendukung zionisme di AS melonjak dari 12 ribu orang menjadi 150 ribu orang. Brandis sendiri berkata :
“Dukungan kepada zionisme bukan berarti hijrahnya seorang Yahudi atau perolehan kewaraganegaraan asing. Tetapi, untuk menciptakan Amerika yang lebih baik, kita harus menjadi Yahudi yang baik, dan untuk menjadi Yahudi yang baik, kita harus menjadi seorang zionis.”
Efektifitas slogan seperti itu dalam menarik keanggotaan dari masyarakat Yahudi Amerika, telah membuka peluang yang amat luas bagi terbentuk dan terlembaganya masyarakat Yahudi Amerika. Dengan demikian, setelah berabad-abad, melalui warga Yahudi imigran dan dengan bantuan zionis Eropa, terbentuklah masyarakat Yahudi AS; dan Amerika pun dipilih sebagai tempat yang dianggap paling sesuai untuk pusat aktifitas mereka.
Jelas sekali bahwa terlepas dari kepentingan-kepentingan berbagai kekuatan imperialis, borjuisme baru kemunculan Yahudi Eropa di abad ke-20, adalah para pendukung dan pendiri gerakan zionisme dan keberadaan Yahudi di AS dan Israel. Sesungguhnya, borjuisme Yahudi di paruh kedua abad ke-19, bahu-membahu dengan imperialisme Eropa, memiliki peran utama dalam menciptakan gerakan zionisme dan rancangan penempatan Yahudi di Palestina.
Karena, melihat kondisi perekonomian dan sosial abad ke-19 serta munculnya aliran-aliran baru di tengah masyarakat Yahudi Eropa dengan tujuan beraktifitas di negara-negara tuan rumah, berbagai kepentingan borjuisme Yahudi dan para pemimpin agama Yahudi benar-benar menghadapi bahaya. Berbareng dengan munculnya kapitalisme, kepungan-kepungan di sekeliling warga Yahudi hancur dan masyarakat Yahudi secara perlahan mulai di terima dan melebur ke dalam bangsa-bangsa Eropa.
Dari sisi ini, warga Yahudi yang telah merdeka di Barat tidak lagi memandang diri mereka sebagai warga terkucil, tetapi sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa Eropa. Bahkan pada saat itu mereka telah disebut sebagai Yahudi Inggris, Perancis dan negara-negara Eropa lainnya. Perubahan di abad ke-20 ini menimpakan pukulan berat pada Judaisme yang selama itu merupakan sandaran utama para bankir, pemilik pabrik dan kalangan bisnis Yahudi.
Perbedaan kelas dan perselisihan ras di dalam masyarakat Yahudi dan upaya kalangan elit kaya Yahudi untuk keluar dari kontrol para pemimpin agama, membuat mereka berusaha merebut kendali masyarakat Yahudi dari para pemuka agama, dengan tujuan menegakkan dan menguatkan Judaisme terpusat. Kepemimpinan ini juga harus berputar di sekitar poros gerakan zionisme.
Sebagai sebuah gerakan murni politik dan dengan memanfaatkan atau lebih tepatnya menyalahgunakan, agama Yahudi, zionisme mampu bekerja sebagai sumber kekuatan borjuisme Yahudi. Tak diragukan, bahwa zionisme diciptakan oleh para kapitalis Yahudi dengan tujuan menegakkan kembali kekuasaan dan kekuatan yang hilang, juga untuk mencegah meleburnya warga Yahudi di negara-negara Eropa serta menarik kekayaan Yahudi di Barat ke sebuah pusat tertentu.
Oleh karena itulah lembaga-lembaga keuangan dan politik Yahudi serta organisasi-organisasi internasional zionisme didirikan oleh para kapitalis Yahudi Eropa dan dengan berada di AS kemudian Palestina, mereka menjalin ikatan diantara keduanya. Di abad ke-21 ini, salah satu pemimpin organisasi Yahudi Amerika, berkata,
“Hari ini, kita masyarakat Yahudi Amerika, telah berhasil, baik di tingkat internal dan nasional, maupun di tingkat internasional, merealisasikan sesuatu yang tidak pernah diimpikan oleh nenek moyang kita. Melanjutkan perjuangan mereka, kini putra-putra mereka telah berhasil memperoleh kekuatan yang sedemikian besar di Amerika. Ini semua adalah berkat kerjasama lembaga-lembaga Yahudi zionis di AS.”
Dari sisilah maka saat ini, setelah lewat beberapa dekade, kita menyaksikan bahwa kaum zionis berhasil memperoleh berbagai jabatan di dalam struktur politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan AS; dan dengan leluasa mereka mengendalikan kebijakan AS kemana pun mereka kehendaki. Sementara itu, dukungan-dukungan penuh lembaga-lembaga eksekutif dan selain eksekutif AS kepada Israel, juga infiltrasi rezim zionis di dalam struktur diplomasi Washington, terutama dalam pengambilan kebijakan AS di Timur Tengah, sangat kentara menunjukkan adanya pengaruh lobi zionis di AS
Bagian III
Imigrasi Yahudi ke AS, sebagaimana yang disebutkan di dalam sejarah, dimulai pada tahun 1492 dan abad kelima Masehi. Pada tahun itu, Christofer Colombus, bersama 300 orang Yahudi memasuki benua Amerika. 300 orang Yahudi ini adalah mereka yang setelah akhir pemerintahan Arab, terusir dari Spanyol. Setelah peristiwa ini, yang dianggap sebagai awal mula migrasi Yahudi ke benua Amerika, di awal abad ke-19 (tahun 1815) 6000 Yahudi datang ke Amerika yang mereka ini kemudian dikenal dengan nama “Yahudi timur”. Mayoritas warga Yahudi imigran di Amerika ini berasal dari Spanyol, Afrika Utara, negara-negara Arab dan Asia, terutama India. Setelah itu gelombang ketiga migrasi Yahudi ke benua Amerika dimulai bersamaan dengan masa revolusi dan kebangkitan di Eropa, antara tahun 1815 hingga 1884.
Di tahun-tahun ini, warga Yahudi yang datang ke Ameriak dari Jerman saja, sebanyak 100.000 (seratus ribu). Diantara tahun 1880 hingga 1930, perpindahan Yahudi Rusia dan eropa Timur ke Amerika meningkat tajam. Dengan demikian jumlah warga Yahudi di Amerika telah melewati angka 200.000 (dua ratus ribu). Akan tetapi, saat ini dan di abad ke 21 ini, jumlah Yahudi di AS telah melewati angka 6 juta jiwa. Angka ini menempati 3 persen dari keseluruhan jumlah penduduk AS. Diantara para imigran lain yang memasuki benua Amerika, warga Yahudi lebih sukses dalam menyusupkan diri ke tangah masyarakat Amerika.
Saat ini warga Yahudi Amerika memegang peran penting dan kunci di dalam struktur politik, ekonomi, dan sosial negara ini. Selain itu lembaga-lembaga Yahudi Amerika juga meletakkan rezim zionis di bawah payung perlindingan dan dukungan mereka, bahkan mereka membantu anggaran belanja negara rezim zionis tiap tahunnya. Tambahan lagi, lobi-lobi zionis juga merupakan alat penekan yang sangat aktif terhadap pemerintah AS, yang selalu bergerak untuk mendukung politik ekspansif rezim zionis di Timur Tengah. Lobi atau lembaga politik, dalam kamus politik digunakan untuk menyebut sebuah kelompok yang memiliki tujuan-tujuan dan kemaslahatan bersama dengan sebuah negara tertentu, dan dengan menyusup ke dalam sistim politik negara ketiga, termasuk ke dalam parlemen, mereka mengarahkan kebijakan politik negara ketiga ini ke arah yang menguntungkan mereka, bahkan jika perlu mereka akan melakukan perubahan-perubahan pemerintahan di negara tersebut.
Biasanya, lobi-lobi ini melakukan berbagai aktifitas untuk mencpaai tujuan-tujuan mereka. Aktifitas-aktifitas itu mencakup wawancara dan dialog-dialog dengan para pemegang jabatan politik, penyiapan laporan, penyampaian pidato, analisa dan perumusan hukum-hukum, bahkan bila perlu penyusunan rancangan hukum dan menyodorkannya kepada parlemen negara yang mereka susupi. Seusai peran dunia kedua, lobi zionis di bidang politik AS muncul sebagai sebuah lembaga yang sangat kuat. Usaha Louis D. Bransid, utusan kader kepemimpinan zionisme Eropa ke AS pada tahun 1914 dengan tujuan memberikan dukungan kepada warga Yahudi AS, memberikan hasil lumayan, dengan membangkitkan emosi mereka lewat paparan “Penyelamatan Yahudi Dari Kekejaman Kekuatan Asing”, dan muncul sebagai pembuka bagi pembentukan dan pengorganisasian masyarakat Yahudi AS.
Setelah perang dunia kedua muncullah jaringan luas dari organisasi-organisasi Yahudi Amerika, dan secara perlahan menguasasi segenap lembaga dan struktur politik, ekonomi dan sosial AS. Dalam catatan terbaru yang tertsebar di AS, jumlah lembaga Yahudi AS mencapai 348, ditambah lagi dengan 500 sinagog Yahudi di negara ini. Sinagog atau gereja Yahudi di AS, dewasa ini, tampil sebagai lembaga-lembaga sosial moderen, bukan sekedar tempat beribadah, tetapi juga merupakan pusat-pusat penyusunan program bagi semua warga Yahudi, yang semuanya berusaha melakukan aktifitas-aktifitas sosial, kebudayaan, bahkan politik. Di dalam masyarakat Yahudi AS, berlaku peribahasa yang sangat dikenal, yang selain mengandung satire di dalamnya, juga menunjukkan cara berpikir warga Yahudi dan pandangan mereka terhadap lembaga-lembaga tersebut. Peribahasa tersebut ialah, “Menjadi seorang Yahudi berarti menjadi anggota salah satu lembaga Yahudi”.
Martin Best, dan Irk Robb, dalam buku “Yahudi Amerika dan Pandangan Baru Kepada Struktur Sosial Amerika” memaparkan data-data infiltrasi Yahudi di dalam berbagai struktur AS, menulis sebagai berikut: “26 persen wartawan, analis, pejabat lembaga-lembaga politik sosial, termasuk di dalam pemerintahan AS dipegang oleh Yahudi. 59 persen dari para penulis dan para ahli hukum terbaik di New York adalah orang Yahudi.13 persen dari mereka, di bawah usia 40 tahun, memegang jabatan-jabatan penting di AS. 40 persen dari mereka juga hadir di dalam kongres AS. 7 dari 11 orang anggota Dewan Keamanan Nasional AS adalah Yahudi.
Dengan demikian, selain jabatan presiden, orang Yahudi memegang semua jabatan dan pos-pos sensitif pemerintahan AS.” Yang menarik ialah sekitar 38 persen pegawai pemerintahan AS juga dipegang oleh orang Yahudi, dimana sejumlah besar dari mereka, berada di departemen luar negeri, pertahanan, keuangan dan kehakiman AS, dengan jabatan-jabatan penting, dan mereka pulalah yang memegang rahasia-rahasia pemerintahan dan militer AS. Saat ini hampir 3 juta Yahudi hidup di New York, dan selainnya menyebar di negara-negara bagian yang dikenal penting dan memegang peran kunci di AS. California, Chichago,, Boston, Newjersey, Florida, dan Ohio, adalah negara-negara bagian AS dimana jabatan-jabatan kuncinya di bidang politik dan ekonomi, berada di tangan warga Yahudi Amerika.
Infiltrasi lobi Yahudi di gedung putih termasuk diantara masalah yang tak pernah dapat disembunyikan. Herry Truman, presiden AS di tahun 50-an, menulis di dalam catatan hariannya tentang pengaruh Yahudi di gedung putih sebagai berikut: “Selama tinggal di gedung putih, saya tak pernah melihat tekanan dan propaganda yang sedemikian kuat.” Sementara itu, meskipun masyarakat Yahudi AS menghadapi perselisihan internal, namun satu hal yang selalu menjadi kesepakatan mereka ialah dukungan terhadap rezim Israel. Idiologi dukungan terhadap Israel merupakan ide yang menguasai semua lembaga dan organisasi Yahudi di AS. Seluruh yayasan sosial, baik pusat maupun lokal, menjadikan bantuan kepada Israel seagai program utama dan pertama mereka. Akar ide seperti ini kembali kepada tahun 1897, yaitu saat deklarasi keberadaan zionisme. Para pemimpin zionisme, sejak saat itu, berniat mendirikan sebuah pusat dengan tujuan mencapai kekuatan yang kompak di dunia.
Dari sisi ini, sejak awal abad ke-20, organisasi dan lembaga-lembaga zionis di Eropa dan AS memulai aktifitas mereka. Dan pada saat penyelenggaraan konferensi kedua zionisme pada tahun 1913, gerakan ini berhasil melebarkan pusat-pusat aktifitas mereka dari Eropa ke AS, Asia dan Afrika. Diantara pusat terpenting aktifitas zionisme, ialah “Perwakilan Yahudi” yang saat ini menguasasi lembaga-lembaga zionis di 60 negara. Investasi lembaga-lembaga ini dipenuhi dari berbagai income “Perwakilan Yahudi” ini dan lembaga-lembaga zionis lain, bantuan-bantuan keuangan dari para investor Yahudi, juga dari pajak-pajak wajib. Berdasarkan perkiraan terbaru, saat ini 1/6 (seperenam) dari seluruh masyarakat Yahudi AS merupakan anggota sebuah lembaga resmi Yahudi dinegara ini. Lembaga-lembaga zionis di AS disebut sebagai lembaga Yahudi, dimana tujuan utama mereka ialah pelaksanaan “Program Yerusalem”. Program Yerusalem di susun pada tahun 1968 oleh Persatuan Zionis AS dan Konferensi Dunia Zionisme di AS. Program Yerusalem, menganggap seluruh lembaga Yahudi berkomitmen untuk menyukseskan tujuan-tujuan zionisme.
Sudah barang tentu peran dan kedudukan penting kelompok-kelompok Yahudi di AS selalu dalam proses perubahan. Pada awalnya, tujuan-tujuan itu mencakup dukungan-dukungan keuangan dan iuran-iuran yang sepenuhnya materiil. Akan tetapi dengan berlalunya waktu dan sesuai dengan berbagai keperluan Israel, lobi zionis bekerja dalam menentukan kebijakan politik AS dalam mendukung rezim ini. Dalam hal ini Gold Berg, seorang penulis AS berkata,
“Dalam melakukan balas dendam terhadap siapa saja atau lembaga mana saja, yang menghadang di depan mereka atau rezim Israel, warga Yahudi memiliki cara yang tak ada taranya. Siapa pun yang mergaukan hal ini dapat meneliti cerita-cerita tentang beberapa presiden AS yang membangkang terhadap kepentingan Israel.”